Selasa, 24 Mei 2011

INSTITUSIONALISASI PENDIDIKAN DI KALANGAN SUFI


Penulis : Syamsun Niam

Abstract: In history of Islamic education, we know that institution of Islamic education was emerge and expand along with growth at that time by itself. Here we recognize term of pesantren, school and madrasah, what we consider to be institution of Islamic education. Perhaps also we need to know that in world of sufistic also there is education institusionalization. And this matter also experience of growth along with growth of epoch. In world of sufistic, recognized by the existence of considered to be terms is semy formal education institute, for example zwiya, khanqh, rib, and tarekat. Here is also arranged by a curriculum, syillaby, target of, education items, and soon, as going into effect in education world in general. This handing out will try to discuss about education institutions which emerge and expand among all sufi, with relevant things

Pendahuluan
Berbicara tentang institusi pendidikan sufi yang berfungsi sebagai transformasi ilmu pengetahuan akan mengajak kita menengok kembali sejarah yang terjadi di masa lalu khususnya yang berkaitan dengan perkembangan kelembagaan pendidikan tasawuf di kalangan para sufi. Terjadi perbedaan pendapat di kalangan sejarahwan, mengenai kapan munculnya istilah tasawuf (Ali, 1987: 5-6). Walaupun begitu, masih ditemukan adanya kesepakatan bahwa secara esensial tasawuf itu telah ada sejak masa Rasulullah saw. Di samping itu, juga terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai definisi tasawuf (at-Taftazani, 1983: 21). Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, institusi pendidikan yang berkembang di kalangan para sufi telah ditemukan dinamika tersendiri, seiring dengan perkembangan waktu.

Bila dilihat dari institusi pendidikan para sufi, sebenarnya telah ditemukan semacam madrasah-madrasah yang berkembang di masa-masa awal abad Islam. Hal ini terbukti dengan ditemukannya madrasah Hasan al-Ba?ri di Ba?rah. Di bawah asuhan Hasan al-Ba?ri yang lahir pada tahun 21 H/632 M inilah, kemudian muncul pula madrasah Tasawwuf di Madinah di bawah asuhan Said bin Musayyab (13-94 H). Lalu di Kufah muncul madrasah Sufyan al-Thaury (97-161 H). Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya institusi pendidikan sufi telah ada sejak masa sesudah sahabat dan pertengahan masa tabiin. Pada masa-masa berikutnya muncul pula tokoh-tokoh sufi ternama misalnya, Sari al-Saqaty (w.253 H), Maruf al-Karkhi (w.201 H), Harith al-Muhasibi (w 243 H), Dzun Nun al-Mi?ry (w.240 H), Abu Yazid al-Bustami (w.261 H) dan lain sebagainya. Tasawwuf pada akhir periode ini sudah mulai mengembangkan sayapnya ke luar tanah Arab, seperti ke Iran, India, Afrika dan lain sebagainya yang pada akhirnya mengakibatkan munculnya institusi pendidikan sufi serta berbagai macam tarekat. Dalam makalah ini penulis hendak mendeskripsikan sejarah perkembangan institusi pendidikan sufi yang bernama rib, zwiya, khnaqh, tekke, dan arqah

Sekilas Sejarah Munculnya Sufisme.
Di kalangan ahli sejarah, nampaknya ada kesepakatan, bahwa kemunculan Sufisme sebagai bentuk perlawanan terhadap semakin merajalelanya penyimpangan dan representasi ajaran-ajaran Islam secara liar, khususnya yang dilakukan oleh para pemimpin zaman tersebut. Tepatnya, tasawuf muncul dan berkembang adalah akibat dari kondisi sosio kultur dan politik pada masa regim pemerintahan kaum Umawi di Damaskus. Secara umum mereka dianggap kurang religius dalam praktik kehidupannya. Dalam kondisi seperti inilah tasawuf muncul sebagaimana dikatakan Nurcholish Madjid (2000: 256)-- sebagai gerakan oposisi politik untuk merespons perilaku kaum Umawi. Tokoh oposan yang paling berpengaruh saat itu adalah Hasan dari Barah, yang didukung para ulama Sunni, dan orang-orang Muslim dengan kecenderungan hidup zuhud (asketik). Walaupun dalam perkembangan selanjutnya tasawuf bukan lagi sebagai gerakan oposisi politik. Akan tetapi merupakan gerakan personal yang timbul dari kesadaran hati itu sendiri yang sangat alamiah, dan inilah yang sebenarnya merupakan intisari dari ajaran sufisme.

Menurut catatan sejarah, gerakan sufisme dalam Islam menggema bersamaan dengan gerakan-gerakan sejenis dalam agama-agama besar lain, semisal Cabbalisme dalam agama Yahudi, Gnostisisme atau Unitarianisme dalam agama Kristen (Jaoudi, 1998) dan termasuk pula munculnya agama Budha yang terkait dengan agama sebelumnya, Hindu (Haeri, 2000: ix). Begitu juga munculnya gerakan-gerakan spiritualitas di dalam agama-agama di dunia

Pada prinsipnya tujuan hakiki dari tasawuf adalah ingin tersingkapnya hijab dari yang lahir menuju yang batin. Karena pada dasarnya Allah swt itu adalah sebagai yang Lahir (al-Dhahir) dan yang Batin (al-Batin) (QS. Al-Hadid, 57: 3). Sayyid Husein Nasr (2000: xvi) menjelaskan bahwa dunia ini dan seluruh isinya merupakan pancaran dan alamat dari Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan, maka semua realitas dari dunia ini juga memiliki aspek lahir dan batin.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengamalan ajran-ajaran sufisme tidak lagi bersifat personal ataupun individual lagi, namun sudah mengalami perubahan dalam praktek-prakteknya yang mengambil bentuk-bentuk semacam halaqah atau majlis-majlis talim, di mana anggota-angoota dari pengajiannya tidak lagi terdiri dari satu, dua orang saja, namun sudah menjadi sebuah perkumpulan yang diisi dengan pengajian-pengajian, atau wejangan-wejangan dari seorang guru yang dianggap berkompeten. Di situlah terjadi assimilasi dan akulturasi ajaran-ajaran sufi, yang kemudian menjelma menjadi sebuah institusi-institusi yang semi formal, kemudian berkembang menjadi intitusi formal. Perkembangan institusi-institusi pendidikan di kalangan sufi, ini selanjutnya bisa mengambil bentuk khnaqh, rib, zwiya, dan arqah.

Tahap khnaqh adalah tahap ketika pemimpin sufi yang disebut shaikh mempunyai sejumlah murid yang hidup bersama-sama dengan peraturan yang tidak ketat. Shaikh menjadi murshid (pembimbing spiritual yang dipatuhi). Di sini kontemplasi dan latihan-latihan spiritual dilakukan secara individual maupun kolektif. Kebiasaan menimbulkan pusat-pusat tasawuf yang belum mempunyai spesialisasi pada abad kesepuluh masehi. Gerakan ini mempunyai bentuk aristokratis. Masa khnaqh merupakan masa keemasan tasawuf.
Tahap arqah bermula pada abad ke-13 M. Di sini sudah terbentuk ajaran-ajaran, peraturan, dan metode tasawuf. Pada tahap inilah muncul pusat-pusat tasawuf yang mengajarkan ajaran tertentu dalam tasawuf, dengan menyertakan silsilah masing-masing ajaran. Pada tahap ini telah berkembang metode-metode kolektif baru untuk mencapai kedekatan diri kepada Tuhan (Nasution, 1998: 366-367).

Sejarah Institusionalisasi Pendidikan di kalangan sufi
Pada masa awal Islam, sufisme bukanlah merupakan gerakan yang terorganisasi dalam kelompok atau aliran tertentu. Yang jelas, selang beberapa waktu berlalu, ajaran serta teladan hidup sufi secara personal mulai menarik perhatian banyak kalangan di masyarakat. Dengan tersebarnya praktek tasawuf dari individu ke-individu lainnya maka semakin banyaklah jumlah orang yang disebut kaum sufi. Sufi-sufi individual ini kemudian bergabung untuk mengamalkan tasawuf di tempat-tempat tertentu yang menjadi tempat pertemuan mereka. Sehingga antara abad ke-9 sampai abad ke-11 Masehi, banyak dijumpai berbagai aliran sufi.

Pusat kegiatan sufi pada masa itu biasa disebut dengan khnaqh atau zwiya. Sementara itu, orang turki menyebutnya dengan tekke. Di Afrika Utara, pusat kegiatan sufi disebut rib sedangkan di India disebut dengan jamaah khna atau khnegh (Haeri, 2000: 38). Trimingham (1971: 5) menyebutkan bahwa rib adalah pusat latihan yang berasal dari daerah Arab. Sedangkan di Khurasan disebut khnaqh. Dengan kata lain, bahwa istilah kata rib dan yang lainnya. Tempat ini merupakan pusat kegiatan kaum sufi maupun tempat pembinaan dan penggemblengan para calon sufi yang diisi dengan kegiatan pendidikan, pelatihan, pengkajian agama, dan ibadah kepada Allah SWT.
Pada mulanya rib digunakan untuk benteng pertahanan kaum muslimin terhadap serangan musuh. rib banyak di bangun di perbatasan dan dilengkapi dengan menara pengawas. Di dalam rib tentara muslim melakukan latihan-latihan militer di samping ibadah keagamaan, sehingga rib mempunyai dua fungsi yaitu sebagai tempat ibadah dan markas tentara (Schacht, 1995: 495). Oleh karena itu, istilah rib dihubungkan dengan jihad di jalan Allah SWT atau perang suci, yang dalam prakteknya untuk mempertahankan wilayah Islam dari serangan musuh serta memperluas wilayah kekuasaan Islam.

Dalam perkembangan selanjutnya, istilah rib lebih banyak digunakan sama dengan pengertian zwiy atau khnaqh. Rib tidak banyak digunakan untuk latihan militer, tetapi lebih banyak diarahkan kepada latihan spiritual dari aliran tarekat. Kalau pada mulanya rib berfungsi sebagai tempat ibadah, latihan militer dan markas tentara Islam dalam perkembangan berikutnya rib lebih merupakan tempat pendidikan calon sufi.
Sebuah rib yang sangat kuno ditemukan di Teluk Persia, yang cikal bakalnya adalah seorang sufi bernama Abdul Wahid ibn Zayd (w. 177 H/793 M). Rib ini masih tetap ada sepeninggalnya, bahkan menjadi terkenal. Rib-rib lain di bangun selama penyerangan ke Byzantium dan juga Afrika Utara. Sentra-sentra peribadatan juga disebut-sebut orang di Damaskus sekitar 150 H/767 M. Di Ramlah, ibukota Palestina, yang di bangun oleh seorang pangeran Kristen sebelum tahun 800 M (Trimingham, 1971: 5)

Konstruksi bangunan rib biasanya dilengkapi dengan mihrb untuk mengerjakan salat berjamaah dan tempat untuk membaca al-Quran serta mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Namun kontruksi bangunan seperti ini terkadang terpisah walaupun lebih sering memiliki hubungan dengan masjid, dapur luas yang digunakan bersama-sama oleh para murid dan juga tamu dan terkadang juga sekolahan. Kuburan pendiri biasanya berada di tempat yang sama (Schimmel, 1975: 232). Shaikh itu sendiri akan tinggal bersama keluarganya di seperempat bagian kompleks dan menemui murid-muridnya pada jam-jam tertentu untuk membimbing kemajuan rohaninya dan mengimami salat lima waktu para jamaahnya. Misalnya yang terjadi di khnaqh Mevlana Muzesi di Konya. Ada juga beberapa khnaqh yang hanya memiliki satu ruangan besar tempat darwisnya tinggal, belajar dan bekerja

Anggota dari sebuah rib ini tersusun atas dua kelompok, murid dan pengikut yang tinggal dalam rib dan memusatkan perhatian pada ibadat, serta pengikut awam yang tinggal di luar serta tetap bekerja dalam pekerjaan mereka sehari-hari, tetapi pada waktu-waktu tertentu berkumpul di rib untuk mengadakan latihan spiritual (Nasution, 1974: 89-90).
Para murid diberi tugas yang berbeda-beda di dalam khnaqh sesuai dengan kemajuan rohaninya. Murid yang paling tulus hatinya dapat mencapai jajaran Khalifa, pengganti. Dia dapat tinggal di dalam pesantren untuk menggantikan shaikh kalau beliau meninggal atau dikirim ke luar negeri untuk memperluas dan mengajarkan tarekat. Tentu hal ini dilakukan setelah ia dilantik oleh sang guru dan dipakaikan khirqa atau jubah sufi dengan disertai pemberian ijazah kepadanya dan tidak semua materi bisa diajarkan olehnya tanpa perintah sang pembimbing (Schimmel, 1975: 235-236; Shah, 1964: 398

Menurut Makdisi bahwa pada masanya telah ada kelompok-kelompok sufi. Di Syiraz, misalnya banyak sekali kaum sufi. Mereka melakukan dzikir di banyak masjid setelah shalat Jumat dan membaca salawat kepada Nabi dari atas mimbar. Sebagai gerakan yang terorganisasi, dia menunjukkan bahwa Karramiyah pada masanya (dia menulis sekitar 975 M) lebih efektif. Mereka memiliki khnaqh-khnaqh di seluruh kawasan Asia yang beragama Islam.

Mengenai kegiatan-kegiatan sufi di khnaqh yang didatanginya, maqdisi menyebutkan bahwa dirinya pernah melibatkan diri dalam suatu kegiatan menyanyikan puji-pujian, di kesempatan lain juga ikut berdzikir keras-keras bersama mereka dan juga ikut membacakan puisi kepada mereka (Trimingham, 1971: 6-7). Dari sini kita bisa mengetahui bahwa untuk memperoleh pengetahuan yang memadai seluk beluk kesufian, orang perlu masuk menjadi anggota kelompok sufi.
Menurut Abu Bakar Aceh (1993: 74), di dalam rib pada masa itu diajarkan berbagai macam kitab yang khusus yang dipergunakan di kalangannya sendiri baik mengenai ilmu fiqh dan ilmu tasawuf, mempunyai dzikir dan doa serta wirid yang khusus pula. Di samping itu, juga ada perjanjian-perjanjian tertentu dari murid terhadap gurunya yang biasa disebut bayat. Sumber biaya untuk sebuah rib juga bermacam-macam. Ada rib yang mendapat bantuan tetap dari pemerintah atau dermawan tertentu, tetapi ada pula rib yang hidup dari futuh, yaitu tanpa bantuan ataupun tunjangan dari siapa pun (Schimmel, 1975: 232). Trimingham (1971: 7) menyebutkan bahwa sebagian rib atau khnaqh memperoleh biaya hidup yang diperolehnya dari penghasilan waqaf. Oleh karena itu, bagi mereka yang hidup dari futuh, mereka akan melakukan segenap aktivitasnya dengan biaya mereka sendiri.Sejak Abad ke-11 Masehi, zwiya-zwiya dan khnaqh-khnaqh yang menyediakan tempat-tempat peristirahatan sementara bagi sufi yang berkelana telah menyebarkan kehidupan di seluruh wilayah pedesaan dan memainkan peran menentukan dalam pengislaman daerah perbatasan dan wilayah-wilayah non-Arab di Asia Tengah dan Afrika Utara (Trimingham, 1971: 9).

Karakteristik Pendidikan di Kalangan persaudaraan sufi
Perkembangan selanjutnya dalam kelembagaan tasawuf terjadi dengan perantaraan guru-guru sufi, yang terkadang tinggal di tempat pertapaan yang jauh dari kehidupan khnaqh terkadang di zwiy-nya di kota besar, atau lebih seringnya oleh seorang sufi pengembara yang mengembara bersama serombongan muridnya (Trimingham, 1971: 10).
Kumpulan guru sufi bersama murid-muridnya inilah yang kemudian membentuk pusat-pusat yang dikenal dengan istilah Tarekat. Tahap tarekat terjadi pada abad ke-6 Hijriyah, atau menurut sumber lain pada abad ke-13 Masehi (al-Barsani, 2001: 73). Mulai Abad ke-6 Hijriyah, tasawuf telah menjadi lembaga yang memiliki aturan-aturan, prinsip dan sistem khusus, setelah sebelumnya ia hanya dipraktekkan sebagai kegiatan pribadi-pribadi di sana sini tanpa adanya suatu ikatan tertentu. Pada tahap ini pula muncul pusat-pusat tasawuf yang mengajarkan ajaran-ajaran tertentu dalam tasawuf dengan menyertakan silsilah masing-masing ajaran. Periode ini sejumlah pribadi sufi bergabung dengan seorang guru dan tunduk di bawah aturan-aturan terinci di jalan rohani . Mereka hidup di berbagai sentra zwiya, rib dan khnaqh atau berkumpul secara teratur dalam acara-acara tertentu dan mengadakan pertemuan ilmiah serta rohaniah yang teratur.

Ada tiga jalur yang dapat ditunjukkkan guru sufi kepada calon pengikut. Dalam sistem pengajaran sufi pada umumnya, pertama, pemula menjalani suatu masa percobaan selama 1001 hari, dalam rangka menilai dan meningkatkan kemampuannya menyerap instruksi. Kedua, guru sufi menerima langsung calon murid tanpa menyuruhnya menghadiri majelis-majelis umum di kelompok atau lingkaran (halaqah) sufi, dan memberinya latihan-latihan khusus yang dijalankan bersamanya dan secara mandiri. Ketiga, Setelah menilai kemampuan-kemampuan murid, guru sufi menerimanya secara formal namun mengirimkan ke guru lain yang secara lebih langsung bermanfaat baginya (Shah, 1964: 7).
Sejak abad ke-12 M sampai awal abad ke-13 M sentra-sentra sufi tertentu berubah menjadi sebuah institusi-institusi tarekat yang dimaksudkan untuk melestarikan namanya, gaya pengajarannya, latihan-latihan mistiknya, serta aturan kehidupan yang digariskannya. Kepemimpinan dalam sentra tersebut diwariskan melalui mata rantai silsilah atau isnad sufi. Misalnya, Tarekat Suhrawardiyah yang dikembangkan oleh Shaikh Dhiyauddin Ab Najb al-Suhrawardi (w.1168 M), Tarekat Qadiriyah oleh Shaikh Abdul Qadir al-Jailani (w.1166 M), tarekat Rifaiyah oleh Shaikh Ahmad bin al-RifaI (w.1182 M), dan sebagainya.

Tarekat-tarekat tersebut tampak jelas sebagai institusionalisasi dari ajaran tasawuf yang dikembangkan dalam ajaran praktis-sufistik kepada murid-murid tarekat. Dalam ilmu tasawwuf, meliputi segala aspek ajaran Islam seperti: ajaran salat, puasa, zakat, haji, jihad dan sebagainya. Akan tetapi, semua itu terikat dengan tuntutan dan bimbingan seorang shaikh sesuai dengan pengamalan dan pengalaman shaikh tarekat masing-masing.

Tahap perkembangan berikutnya dalam kelembagaan sufi adalah tahap aifah. Tahap ini terjadi pada abad ke-15 Masehi. Dalam tahap ini terjadi transmisi ajaran dan peraturan kepada pengikut. Pada tahap ini muncul organisasi-organisasi tasawuf yang mempunyai cabang-cabang di tempat lain. Pemujaan kepada shaikh sudah menjadi kebiasaan . Di sini pula tasawuf telah mengambil bentuk kerakyatan. Pada tahap aifah inilah arqah mengandung arti lain yaitu organisasi sufi yang melestarikan ajaran shaikh tertentu dan terdapatlah tarekat-tarekat, seperti tarekat Qadiriyah, tarekat Naqshabandiyah, tarekat Shadhiliyah dan lain sebagainya.
Dari uraian di atas bisa kita ketahui bahwa munculnya institusionalisasi tasawuf dalam bentuk tarekat, membawa arah pengembangan intelektual yang berbeda. Perkembangan tasawuf yang masih bersifat personal lebih berdampak positif bagi pengembangan intelektual keislaman, sementara institusionalisasi dalam bentuk tarekat cenderung menjadikan keharusan bertaklid di kalangan murid kepada teori dan formulasi tertentu yang bersifat doktrinal oleh para shaikh tarekat.
Tersebarnya para alumnus dari masing-masing institusi tarekat yang mendapatkan ijazah untuk meninggalkan rib gurunya dan mendirikan rib tersendiri di daerah lain, menjadikan banyak cabang rib-rib baru berdiri di berbagai daerah. Dan ini menyebabkan tidak adanya kreasi baru oleh masing-masing pemimpin rib (murshid). Formulasi ajaran tasawuf yang dikemas oleh shaikhnya masing-masing akan diamalkan apa adanya secara ketat tanpa adanya penambahan keilmuan sedikit pun. Karena penambahan atau pengurangan akan dianggap sebagai sebuah kedurhakaan, dan ini akan berakibat fatal menyebabkan ilmu yang didapatnya tidak bermanfaat.
Dengan kata lain, pesatnya pengembangan dan perluasan jaringa institusi tarekat hanyalah dari segi kuantitas. Sedangkan segi kualitas keilmuannya nyaris tak beranjak sedikit pun. Nuansa taklid guru semakin kuat dan terlestarikan sedemikian ketat. Berbeda halnya dengan perkembangan tasawuf yang masih bersifat personal. Di sana arah pengembangan intelektual muslim lebih mengedepan. Sementara institusionalisasi tasawuf dalam bentuk tarekat justru menjadikan stagnasi intelektual dan budaya taklid kian menguat.

Peran dan Fungsi Guru Sufi/Syaikh dalam Persaudaran Sufi
Di kalangan sufi, seorang guru, syaikh, mursyid, murad, atau pir sebagaimana dikenal dalam bahasa Persia, adalah hal yang sangat tidak bisa ditinggalkan. Peran dan fungsi seorang guru sufi adalah sangat besar. Seorang salik (penempuh rohani) tidak akan bisa mencapai tingkat sipiritualitas pada tingkatan yang lebih atas atau lebih tinggi, tanpa adanya bimbingan dan tuntunan seorang guru sufi (syaikh, mursyid, murad, atau pir).
Dalam kaitan inilah, Sayyid Husein Nasr mengatakan, bahwa guru sufi adalah wakil dari peranan esoterik Nabi Islam (Schimmel, 1986: 104) dan dengan cap yang sama, ia adalah alamat dari Rahmat Tuhan yang menyediakan diri kepada mereka yang ingin berpaling kepada-Nya. Ia adalah yang membuat kelahiran kembali rohani dan perubahan ini.

Menjadikan diri tertalikan melalui rantai pentahbisan (silsilah) dengan Nabi dan dengan fungsi pentahbisan itu yang tak terpisahkan di dalam dakwah kenabian sendiri. Nasr melanjutkan, guru sufi mampu membebaskan manusia dari pembatasan-pembatasan dunia kebendaan yang sempit ke ruang kehidupan rohani yang terang tak terbatas. Melaluinya, yang bertindak sebagai wakil Nabi, kematian dan kelahiran kembali rohani terjadi karena bantuan barakah yang ia bawa di dalam dirinya (Nasr, 2000: 63). Karena itu, barangkali benar jika dikatakan bahwa seorang guru sufi pada hakekatnya tidak pernah mengalami ke-tua-an, akan tetapi selalu menampilkan ke-muda-an dari sisi rohaninya secara batin.

Walaupun begitu, seorang guru atau syaikh harus memiliki kaitan jelas dan lazim dengan rantai pentahbisan (silsilah) dan pelaksanaan kebenaran-kebenaran dari jalan itu. Di samping itu, ia harus menjadi guru yang memiliki persyaratan cukup untuk memberi petunjuk kepada seorang murid tertentu. Tidak seorang syaikh adalah guru bagi setiap murid. Murid harus mencari dan mendapatkan guru yang bisa menundukkan jiwanya dan menguasainya sebagai elang atau rajawali mencengkeram seekor burung gereja di angkasa (Nasr, 2000: 69). Di sinilah pentingnya silsilah.
Silsilah dalam dunia tasawuf (khususnya tarekat) adalah hal sangat penting. Jika ada yang ingin menggabungkan diri kepada suatu tarekat, hendaklah mengetahui sungguh-sungguh nisbah atau hubungan guru-gurunya itu sambung-menyambung antara satu sama lain sampai kepada Nabi. Karena yang demikian itu dianggap sangat penting, sebab dengan bantuan kerohanian yang diambil dari guru-gurunya itu haruslah benar, dan jika sungguh tidak berhubungan sampai kepada Nabi, maka bantuan itu dianggap terputus dan tidak merupakan warisan dari para Nabi. Murid tarekat hanya membuat baiat, sumpah setia atau janji, dan tidak menerima ijazah atau khirqa, tanda kesanggupan, kecuali kepada guru/mursyid yang mempunyai silsilah yang baik (Aceh, 1962: 255).

Di sini, hubungan komunikasi antara guru dengan murid harus selalu dibangun dan dilestarikan secara baik. Sebab guru adalah pembimbing dan penuntun spiritualnya. Apapun yang menjadi titah gurunya adalah hal yang harus ditaati dan tidak boleh dilanggar. Sebab apabila titah, perintah atau anjuran gurunya dilanggar atau diabaikan, akan membawa malapetaka bagi murid. Begitu juga sebaliknya, jika murid saman wa thaatan kepada sang guru, maka murid akan mendapatkan sebagian berkah, yaitu kekuatan mistik-magis sang guru (Schimmel, 1986: 105). Di sinilah dituntut adanya saling hubungan yang erat antar keduanya.

Akan tetapi, yang perlu dicermati dan diwaspadai adalah munculnya gerakan-gerakan tarekat belakangan ini, karena banyak tarekat yang keluar dari syariat Islam. Bahkan ditengarai bercampurnya aliran tarekat dengan aliran-aliran lain yang berbau sinkretis. Misalnya, aliran-aliran kebatinan, kepercayaan, dan sebagainya, yang menumpang pada ajaran tarekat tertentu (Simuh, 1996; Hamka, 1993). Oleh karena itu, ini menjadi tanggung jawab bersama untuk mengembalikan tarekat sebagai manifestasi dari praktek tasawuf dalam Islam kepada sumber induknya.

Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, kiranya dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Gerakan sufisme muncul bukan tanpa alasan. Sufisme muncul sebagai reaksi dan respon atas kejahatan dan kebobrokan moral yang muncul pada saat itu, yaitu ketika masa pemerintahan Umawy di Damaskus. Dengan kata lain, sufisme muncul akibat dari kondisi sosio-politik yang terjadi saat itu. Sehingga memunculkan gerakan oposisi yang dipelopori oleh Hasan al-Basri, dengan membawa konsep moral yang tinggi, yang kemudian disebut dengan gerakan sufistik.
2. Pada awalnya gerakan sufi dilaksanakan secara personal atau individual. Namun dalam perkembangan selanjutnya, gerakan sufi telah mengalami perubahan dari gerakan individual menjadi gerakan yang terorganisasi. Organisasi-organisasi tersebut mengambil bentuk yang berbeda-beda, misalnya dalam bentuk intitusi semacam khnaqh, rib, zwiya, ifah, dan tarekat. Gerakan dan aliran ini muncul pada abad ke-9
3. Dalam perkembangan selanjutnya, bentuk-bentuk Institusi tersebut telah menjelma menjadi institusi semi-formal, dengan mengajarkan berbagai ajaran yang sesuai dengan aturan dan tata cara, atau dengan kata lain, sesuai dengan kurikulum dan silabi yang tetapkan oleh kelompoknya. Inilah yang kemudian disebut dengan gerakan tarekat. Tarekat muncul pada abad ke-6 M. dan masing-masing tarekat mempunyai silabi dan kurikulum yang berbeda dari satu di antara yang lain.
4. Di dalam dunia tasawuf (khususnya tarekat), peran dan fungsi seorang guru, syaikh, mursyid, murad, atau pir adalah sangat penting. Guru adalah pembimbing dan penuntun rohani untuk meraih tingkat spiritualitas yang lebih tinggi atau lebih atas. Akan tetapi, pernsyaratan sebagai guru tidaklah mudah. Guru sufi harus mempunyai silsilah yang jelas dan lazim dalam menemukan kebenaran-kebenaran. Begitu juga murid, harus senantiasa taat dan setia kepada gurunya.
BIBLIOGRAPHY


Aceh, Abu Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat. Solo: Ramadhani, 1993.

----------. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf. Jakarta: Tjibantar, 1962.

Al-Barsany, Noer Iskandar. Tasawuf Tarekat dan Para Sufi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Ali, Yunasril. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987.

At-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. Madkhal ila at-Tasawuf al-Islami. Kairo: Dar at-Tsaqafah, 1983.

Haeri, Fadhlalla. Jenjang-jenjang Sufisme. ter. Ibnu Burdah dan Shohifullah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Hamka. Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993.

J. Schacht. Ribat, The Ecyclopaedia of Islam, vol. 8, ed. C.E. Bosworth, et. al. Leiden: E. J. Brill, 1995.

Jaoudi, Maria. Christian Mysticism East and West: What the Mastres Teach Us. New York: Paulist Press, 1998.

Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 2000.

Nasr, Sayyid Husein. Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hadi WM. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

Nasution, Harun. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1998.

Schimmel, Annemarie. Mystical Dimensions of Islam. Chapell Hill: The University of North Caroline Press, 1975.

Shah, Idries. The Sufis. New York: Doubleday & Company, 1964.

Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Syukur, Amin. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1999.

Trimingham, J. Spencer. The Sufi Orders in Islam. London: Oxford University Press,1971.



Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates