Penulis : Abdillah As’ad
Seringkali kita temuai perbedaan para ulama tentang pengertian tasawuf. Hal itu juga akan ditemukan di dektat kuliah Al-Azhar usuluddin tingkat satu, memang, mendefinisan tasawuf bukanlah pekerjaan yang mudah Apalagi definisi tersebut disaratkan dengan katagori ilmiah dan rasional. Kenapa perbedaan itu terjadi, karena kadang pengertian itu dihasilkan dari seseorang yang sama sekali tidak pernah menggeluti langsung dalam dunia tasawuf secara rutin dan intensif. Sehingga pengertian yang mereka hasilakan kurang tepat dan terkesan tidak realistis. Dalam hal ini kita harus bisa membedakan antara pelaku tasawuf dan pengkaji tasawuf. Tuntunya akan sangat tepat bila definisi tasawuf langsung kita peroleh dari pelakunya. Karena tasawuf itu ibarat madu yang kelezatanya hanya bisa di rasakan bukan semata untuk di kaji.
Shahib al-Samahah (Maulana Syekh Mukhtar Ali Muhammad Al Dasuqi ra.) syekh thoriqot dasuqiyah muhammadiyah yang berpusat di Mesir adalah merupakan titik tolak dalam mendefinisikan tasawuf. Beliau menyimpulkan,
bahwa: التعريف هو: إبراز المعنى المستقر عند أهل الإختصاص
definisi adalah memunculkan arti dengan tepat oleh seorang yang benar-benar memiliki spesialis dalam bidangnya.
Permasalahanya sekarang fenomena yang terjadi timbulnya presepsi seseorang tentang sesuatu yang seolah-olah benar, padahal pada dasarnya kesimpulan tersebut baru merupakan dugaan yang tidak menutup kemungkinan berubah dan masih bersifat perabaan. Dari beberapa definisi tasawuf yang di sampaikan oleh para pengamat tasawuf dari berbagai macam disiplin ilmu ada kesamaan yang bisa disimpulan bahwa tasawuf adalah merupakan pengalaman spiritual seseorang dalam bermunazat kepada Tuhanya. Tapi mereka juga berbeda dalam memaknai kata tasawuf sendiri yang kadang terkesan kurang tepat.
Dari perbedaan itu akan kita temukan kelompok Pertama, mengatakan kata sufi diambil dari bahasa Yunani Shopia, yang artinya bijaksana. kelompok kedua berpendapat bahwa kata sufi berasal dari shuf yang artinya bulu domba atau wool kemudian dinisbatkan kepada sekelompok orang yang menge-nakan bulu domba / wol (shuf). Kelompok Ketiga, mengambil kata sufi dengan penisbatan kepada ahlushuffah (para sahabat yang selalu dibarisan pertama sholat bersama baginda Rosulullah saw), dan masih banyak lagi definisi yang dapat digali dalam pelbagai literatur tasawuf, cukup dengan ketiga definisi ini kita sudah bisa mendekati dengan pendekatan yang rasional.
Dari beberapa pengertian diatas menyisakan beberapa pertanyaan. Pertama, apakah memang kata sufi berasal dari bahasa Yunani? benarkah nilai-nilai tasawuf merupakan probdak kebudayaan Yunani kuno? Semenentara tasawuf berada di arab yang notebene masyarakat muslim, ibarat kita mengatakan nasi tempong berasal dari nergara arab padahal nasi tempong adalah makanan has banyuwangi yang tidak kita temukan di negara arab, jelas ini tidak bisa diterima oleh akal sehat manapun. Sementara kata sufi banyak sekali kita temukan dalam al-Qur`an. Jika demikian halnya, apakah memang al-Qur`an banyak mengambil kata-kata dari Yunani? Heeeem Tentunya tidak. Kedua, jika sufi dinisbatkan kepada kelompok yang berbajukan wool, maka domba akan lebih berhak untuk menyandang predikat sufi dari seorang sufi itu sendiri, Karena domba adalah sumber dari wool, Ketiga, apabila sufi merupakan penisbatan terhadap sahabat baginda Rasul saw. (ahlusshuffah) yang selama hidupnya berdiam diri di masjid, lantas haruskah sufi sekarang berperilaku layaknya para sahabat? apakah prilaku sekelompok orang-orang yang berdiam diri di masjid pada masa kini bisa dibilang sama persis dengan apa yang ada di zaman baginda Rasul saw? Tentunya tidak demikian.
Lalu bagaimana arti sufi sebenarnya? Mari kita mencoba mengemukakan sebuah definisi yang mungkin lebih pas dan rasional oleh Shahib al-Samahah, Beliau mengemukakan, kata sufi bukanlah kata benda (ism), melainkan bentuk fi'il madli mabni majhul (kata kerja pasif). Sebagaimana kata ufiya (disem-buhkan) dan nudiya (dipanggil), maka kata shufiya berarti disucikan. Dan akar kata tersebut disaripatikan dari akar kata shafa dan mushafah. Dari kata tersebut, dapat ditarik sebuah kesimpulan definisi yang diperkuat oleh salah satu ayat al-Qur`an :
" يا مريم إن الله اصطفاك وطهرك واصطفاك على نساء العالمين "
Artinya: "Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah membeningkan kamu, mensucikankamu dan melebihkan kamu atas segala wanita semesta alam (yang semasa dengan kamu). (QS: Ali Imran: 42).
Ada tiga tahapan seseorang yang dibeningkan, lalu disucikan dan kemudian dipilih atau dilebihkan atas hamba Allah yang lain. Dari ayat tersebut Shahib al-Samahah menarik sebuah definisi:
أولى مراحل الوصول إلى الصفاء الذي ينم عن المصافاة
Sebuah tahapan awal dari sebuah pembeningan hati menuju tahap penyucian selanjutnya mukasyafah. (membuka hijab hubungan antara hamba dengan Allah) Mengacu pada ayat tersebut, berarti Allah swt membersihkan, mensucikan dan memilih Sayidah Maryam ra menjadi orang pilihan melalui mukasyafah. Dari ayat diatas juga bisa diambil kata tasawuf yang juga berasal dari akar kata shafa yang diikutkan wazan iftaala dengan melalui proses ilal menjadi isthafa.
Dalam kesempatan lain Shahib al-Samahah juga mendefinisikan tasawuf menjadi :
العلاقة الطبيعية الخاصة بين العبد والرب
Sebuah hubungan murni, khusus antara hamba dengan Tuhannya dengan melalui Proses menuju sebuah pembersihan hati dengan mengikuti jejak sang sufi (manusia terpilih) yang telah disucikan oleh Allah.
Contoh yang sama juga pernah disinyalir oleh shabib al-shamahah dalam sebuah ayat al-Qur`an yang menerangkan tentang manusia-manusia pilihan dari yang lain :
" إن الله اصطفى آدم و نوحا وآل إبراهيم وآل عمران على العالمين "
Artinya: Yang artinya:" Sesungguhnya Allah telah mensucikan (baca: melebihkan) Nabi Adam, Nabi Nuh, keluarga Nabi Ibrahim dan keluarga 'Imran melebihi mahluk semesta alam (di masa mereka masing-masing)". (QS: Ali Imran: 33). I
Secara umum nilai-nilai ajaran tasawuf memiliki hubungan kuat yang tidak bisa dipisahkan dengan ajaran agama Islam. Namun dilain sisi, tindakan dan usaha yang ditempuh oleh seorang mutashawwif (pelaku tasawuf) untuk selalu mengikuti sufi (wali mursyid) adalah sebuah tindakan yang dapat kita saripatikan dalam tiga hal yang merupakan penyempurnaan syariat. Tiga hal tersebut adalah :
a. Dzikir
shahib al shamahah disamping memberikan pengertian bahwa dzikir sebagai intisari amaliyah syahadat beliau juga mengibaratkan air yang selalu ada dalam setiap makanan dan minuman. Walaupun setiap makanan mengandung unsur air, akan tetapi minum juga merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Dengan kata lain meski kelima rukun Islam tidak dapat dipisahkan dari dzikir. Namun di sisi lain, dzikir juga merupakan ibadah sendiri yang harus diamalkan secara intensif. sesuai dengan petunjuk sang sufi (Syekh / Wali Mursyid).
b. Shalawat atas Rasul saw.
Shalawat adalah amaliyah yang tak dapat dipisahkan dari seorang muslim. Sebab shalawat merupakan intisari kesaksian kepada baginda Rasul saw dan apresiasi cinta seorang muslim atas sosok penghubung utama antara sang hamba dengan Tuhannya.
c. Cinta kepada Ahlul-Bait
ada kesalahan dalam memaknai ahl al-bait. Banyak yang beranggapan bahwa ahl al-bait adalah keturunan baginda Rasul saw saja. Padahal sebenarnya ada tiga yang berhubungan dengan istilah ahl al-bait, pertama dzurriyyah, kedua itrah dan ketiga al-ahli. Dzurriyyah yang berarti keturunan baginda Rosul saw secara biologis mereka belum tentu dikategorikan sebagai ahlul-bait. Itrah adalah keturunan biologis yang juga mewarisi keilmuan serta budipekerti baginda Rosul saw akan tetapi statusnya berada di bawah ahl al-bait. Sedangkan ahl al-bait sendiri adalah seseorang yang mewarisi samudera ilmu dan ahlak, budipekerti baginda Rasul saw. Dan ahlul-bait bersifat lebih umum, meliputi dzurriyyah atau tidak, seperti baginda Salman al-Farisi ra, baginda Bilal ra, dan para pengikut setia baginda Rosul saw yang lain. Jadi cinta kepada dzurriyyah belum tentu dikategorikan sebagai cinta kepada ahlul-bait. Sedangkan cinta kepada ahlul-bait adalah sebuah perasaan cinta yang ditujukan kepaga baginda Rosul saw karena mereka adalah para pewarisnya.
ketiga hal tersebut merupakan esensi ajaran tasawuf. Shahib al shamahah mengajarkan menjadi seorang Sufi bukanlah tujuan utama dari tasawuf itu sendiri, tapi dzikir, shalawat dan cinta ahlul-bait merupakan upaya yang harus ditempuh oleh seseorang yang ingin bertasawuf, melalui bimbingan dan petunjuk seorang Wali Mursyid yang benar-benar memiliki ilmu lahir batin layaknya pewaris para nabi dan rasul.
Rujukan utama: pengajian tasawuf malam selalasa oleh syekh sofwat el-qodli.
*Penulis adalah Mahasiswa pada Universitas al-Azhar. Fak. Ushuludin. Salik di Tarekat al-Dasukiah Muhammadiyah, Asuhan Maulana Syeikh Mukhtar al-Dasuki.
Selasa, 24 Mei 2011
MENCARI AKAR MAKNA TASAWUF
07.58
darussholah
No comments
0 komentar:
Posting Komentar