APLIKASI METODE DISCOVERY LEARNING
DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMECAHKAN MASALAH, MOTIVASI BELAJAR DAN DAYA INGAT SISWA
By. HM. Syamsudini, M.Ag
A. Tinjauan Umum tentang Metode Discovery Learning
1. Definisi Metode Discovery Learning
Metode secara harfiah berarti “cara”. Dalam pemakaian yang umum, metode diartikan sebagai cara melakukan sesuatu kegiatan atau cara melakukan pekerjaan dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep secara sistematis (Syah, 2004:201). Sedangkan menurut Tafsir (1996:9) memberikan pengertian bahwa: metode ialah istilah yang digunakan untuk mengungkapkan pengertian “cara yang paling tepat dan cepat dalam melakukan sesuatu”. Lebih lanjut Tafsir menjelaskan bahwa: ungkapan “paling tepat dan cepat” itulah yang membedakan method dengan way (yang berarti cara) dalam bahasa Inggris. Selain pengertian tersebut, metode bukan hanya sebatas cara melakukan sesuatu akan tetapi metode diartikan sebagai cara untuk mencapai sesuatu sebagaimana pendapat Gulo (2002:3) yang menjelaskan bahwa: metode ialah “a way in achieving some thing” cara untuk mencapai sesuatu.
Metode Discovery Learning sebagai sebuah teori belajar dapat didefinisikan sebagai belajar yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan untuk mengorganisasi sendiri. Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be defined as the learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final form, but rather is required to organize it him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103). Yang menjadikan dasar ide Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan secara aktif didalam belajar di kelas. Untuk itu Bruner memakai metode yang disebutnya Discovery Learning, yaitu dimana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir (Dalyono, 1996:41). Metode Discovery Learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005:43). Discovery terjadi bila indifidu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalaui proses mental, yakni, observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219).
Lebih lanjut, sebagai sebuah strategi belajar Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri, yang menuntut usaha menemukan seperti itu. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru. Sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui proses penelitian, sedangkan Problem Solving lebih memberi tekanan pada kemampuan menyelesaikan masalah (Gulo, 2004:84).
Akan tetapi prinsip belajar yang nampak jelas dalam Discovery Learning adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai peserta didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorgansasi atau membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk akhir. Sebagaimana pemikiran Bruner bahwa: perolehan pengetahuan adalah proses aktif. Indifidu secara aktif merekontruksi pengalamannya dengan menghubungkan pengetahuan baru dengan internal modal atau struktur kognitif yang telah dimilikinya (Syaodih, 84:2001).
Dengan demikian dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning dalam sebuah bahan ajar pada suatu bidang studi tertentu maka tidak semua materi pelajaran yang harus dipelajari siswa dipresentasikan dalam bentuk final, beberapa bagian harus dicari diidentifikasikan oleh pelajar sendiri. Pelajar mencari informasi sendiri (Slameto, 2003:24). Sebagaimana pendapat Ausubel, bahwa dalam metode Discovery Learning si pelajar menemukan sendiri materi yang harus dipelajarinya. Ia tidak hanya menyerap saja, tetapi mangorganisir dan mengintegrasikan materi-materi yang dipelajarinya ke dalam struktur kognitifnya. Sehingga dengan mengaplikasikan metode Discovery Learning secara berulang-ulang dapat meningkatkan kemampuan penemuan dari indifidu yang bersangkutan (Sarwono, 2003:92). Penggunaan metode Discovery Learning, ingin merubah kondisi belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran yang teacher oriented ke student oriented. Merubah modus Ekspository siswa hanya menerima informasi secara keseluruhan dari guru ke modus Discovery siswa menemukan informasi sendiri.
2. Konsep Belajar dalam Metode Discovery Learning
a. Teori Kategorisasi dalam Metode Discovery Learning.
Dihubungkan antara teori generalisasi dalam metode Discovery Learning, menunjukkan bahwa sesungguhnya dalam metode Discovery Learning merupakan pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang nampak dalam Discovery, bahwa sebenarnya Discovery adalah pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan kategori-kategori dan sistem-sistem coding dirumuskan demikian dalam artian relasi-relasi (similaritas & differenc) yang terjadi diantara obyek-obyek dan kejadian-kejadian (event) (Lefancois dalam Emetembun, 1986:104).
Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi memiliki lima unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua unsur dari konsep itu, meliputi:
1) Nama.
2) Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif.
3) Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak.
4) Rentangan karakteristik.
5) Kaidah (Budiningsih, 2005:43).
Bruner menjelaskan bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berfikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan menggunakan dasar kriteria tertentu. Dalam pemahaman konsep, konsep-konsep sudah ada sebelumnya. Sedangkan dalam pembentukan konsep adalah sebaliknya, yaitu tindakan untuk membentuk kategori-kategori baru. Jadi merupakan tindakan penemuan konsep (Budiningsih, 2005:42).
Dalam pembentukan suatu konsep ada empat dasar untuk mendefinisikan perkataan yang menunjukkan konsep, yaitu berdasarkan:
1) Sifat sifat yang dapat diukur atau dapat diamati.
2) Sinonim, antonim dan makna semantik lain.
3) Hubungan-hubungan logis dan aksioma/definisi dari sudut ini tidak secara langsung menunjuk sifat-sifat tertentu.
4) Manfaat atau gunanya (Slameto, 2003:140).
b. Metode Discovery Learning dan Pembentukan Code-Code Generic
Diatas telah dideskripsikan relasi diantara belajar Discovery dan pembentukan kode-kode generic (general/umum). Bahwa discovery mencakup pembentukan system-sistem coding (pengkodean) termasuk kondisi- kondisi, yang paling memungkinkan terbentuknya kode-kode generic, juga yang paling memungkinkan Discovery yang menyenangkan.
Bruner mendeskripsikan 4 kondisi-kondisi yang memungkinkan pembentukan kode-kode generic, ialah: a) Set ; b) Need state; c) Mastery of specifies; dan d) Diversity of training.
a) Set, menyangkut predisposisi yang dimiliki seorang individu untuk bereaksi dengan cara-cara tertentu.
Seorang yang berorientasi discovery (discovered oriented) ialah orang yang kebiasaan pendekatannya terhadap suatu problema mengandung mencari relasi-relasi diantara item-item informasi yang ia miliki. Jelaslah, salah satu cara mempengaruhi set ialah melalui penggunaan instruksi-instruksi. Misalnya merangsang seorang murid mengingat bahan pelajaran yang telah diajarkan dengan disuruh menyebutkan informasi-informasi yang terbatasi. Efek yang sama dapat diprodukasi dengan testing hanya terhadap pengetahuannya mengenai informasi-informasi yang terbatasi. Disamping itu, murid tersebut dapat diarangsang melihat relasi-relasi diantara item-item informasi baik melalui instruksi-instruksi untuk dilakukan maupun dengan mengatakan pengertianya terhadap relasi-relasi itu.
b) Need state, menyangkut tingkat arousal (bangkitnya) pelajar excitation atau alertness (tersentak atau terjaga). Bruner menyatakan bahwa tingkat arousal yang moderat lebih kondusif bagi pembentukan kode-kode generic dari pada tingkat arousal yang amat tinggi atau sangat rendah. Untuk menunjang pandangan ini, Bruner menunjuk eksperimen tikus-tikus lapar dalam maze-transfer kendatipun masih dipertanyakan similarity antara maze-transfer pada tikus-tikus dan pembentukan kode-kode generic pada manusia.
c) Tingkat Mastery of Specifics, menyangkut sejauhmana pengetahuan pelajar mengenai informasi relevan yang specifik. Bruner menyetujui bahwa discovery (dalam artian pembentukan kode-kode generic) bukanlah suatu even yang fortuitorus (mendadak). Hal itu dapat terjadi bila individu dipersiapkan dengan baik. Makin luas informasi yang dimiliki seorang pelajar, makin lebih mampu ia menemukan relasi-relasi di dalam informasi itu. Variable ke 4 berkaitan dengan hal ini.
d) Diversity of Training, Variable ini berkaitan dengan kemampuan pelajar menemukan relasi-relasi di dalam informasi-informasi yang dimiliki. Maka seorang pelajar yang doekspos terhadap informasi dalam beraneka keadaan dapat lebih mengembangkan kode-kode untuk mengorganisasi informasi itu. Menurut pengarang (Lefrancois), bahwa “…..learning which is not discovery oriented….must be…meaningless, passive rate learning” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:106-108)
c. Lingkungan Belajar dalam Metode Discovery Learning
Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning Environment, ialah lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui (Slameto, 2003:11). Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif.
Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat berkembangan kognitif siswa, sebagaimana pendapat Bruner, bahwa:
Bruner almost always begins with a focus on the production and manipulating of materials. He describe the child as moving through three levels or representation. The first levels is the enactive level, where the child manipulates materials directly. He then progresses to the iconic levels, where he deals with mental images of objects but does not manipulate them directly. Finally he moves to the symbolic level, where he is strictly manipulating symbols and no longer mental images of objects (Allyn dan Bocon, 1974:193).
Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berfikir (merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya. Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lebih tepatnya menggambarkan lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic.
a) Tahap enaktive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya.
b) Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).
c) Tahap symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Meskipun begitu tidak berarti ia tidak menggunakan sistem enaktif dan ikonik. Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bukti masih diperlukannya sistem enaktif dan ikonik dalam proses belajar (Budiningsih, 2005:41-42).
Secara sederhana teori perkembangan dalam fase enactive, iconic dan symbolic adalah anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase symbolic (Syaodih, 85:2001).
d. Interaksi Guru dan Siswa dalam Metode Discovery Learning
Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented. Hal yang menarik dalam pendapat Bruner yang menyebutkan: hendaknya guru harus memberikan kesempatan muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientis, historin, atau ahli matematika. Dalam metode Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan (Syaodih, 107:2001). Hal tersebut memungkinkan murid-murid menemukan arti bagi diri mereka sendiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang dimengerti mereka (Dalyono, 1996:42). Dengan demikian seorang guru dalam aplikasi metode Discovery Learning harus dapat menempatkan siswa pada kesempatan-kesempatan dalam belajar lebih mandiri. Bruner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41). Pada akhirnya yang menjadi tujuan dalam metode Discovery Learning menurut Bruner adalah hendaklah guru memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientist, historin, atau ahli matematika (Soemanto, 1998:135). Dan melalui kegiatan tersebut siswa akan menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya.
Karakteristik yang paling jelas mengenai Discovery sebagai metode mengajar ialah bahwa sesudah tingkat-tingkat inisial (pemulaan) mengajar, bimbingan guru hendaklah lebih berkurang dari pada metode-metode mengajar lainnya. Hal ini tak berarti bahwa guru menghentikan untuk memberikan suatu bimbingan setelah problema disajikan kepada pelajar. Tetapi bimbingan yang diberikan tidak hanya dikurangi direktifnya melainkan pula pelajar itu diberi responsibilitas yang lebih besar untuk belajar sendiri (Lefancois dalam Emetembun, 1986:104).
e. Desain Kurikulum Discovery Learning
Menurut Bruner, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menyusun materi pelajaran dan menyajikannya sesuai tahap perkembangan orang tersebut. Selain itu untuk memfasilitasi pembentukan konsep, kode-kode generic maka perlulah suatu kurikulum yang koheren dengan metode Discovery Learning.
Gagasan Bruner tentang bentuk suatu kurikulum yang sejalan dengan pendekatan Discovery Learning adalah mengenai kurikulum spiral (a spiral curriculum) sebagai suatu cara mengorganisasikan materi pelajaran tingkat makro, menunjukkan cara mengurutkan materi pelajaran mulai dari mengajarkan materi secara umum, kemudian secara berkala kembali mengajarkan materi yang sama dalam cakupan yang lebih rinci (Budiningsih, 2005:42). Kurikulum spiral dipandang dari pola desain kurikulum, berdasarkan pada pengorganisasian bahan ajar (subject matter) maka termasuk subject centered design, suatu desain kurikulum yang berpusat pada bahan ajar (Syaodih, 113:2001).
Dimana karakteristik kurikulum Bruner adalah, bahwa: kurikulum dari suatu mata pelajaran harus ditentukan oleh pengertian yang sangat fundamental bahwa hal itu dapat dicapai berdasarkan prinsip-prinsip yang memberikan struktur bagian mata pelajaran itu (Dalyono, 2001:42). Menurut pengertian tersebut kurikulum spiral juga dapat dikategorikan sebagai kurikulum diciplin design yang menekankan agar siswa memahami logika atau struktur dasar suatu disiplin, memahami konsep-konsep, ide-ide dan prinsip-prinsip penting, juga di dorong untuk memahami cara mencari dan menemukannya (models of inquiry and discovery) (Syaodih, 116:2001). Sehingga siswa dapat memahami bahan pelajaran dengan tidak mengalami kebingungan karena materi yang diberikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan daya tangkap siswa, sesuai dengan tahap enaktif, ikonik dan simbolik.
3. Aplikasi Metode Discovery Learning di Kelas
a. Tahap Persiapan dalam Aplikasi Metode Discovery Learning
Seorang guru bidang studi, dalam mengaplikasikan metode discovery learning di kelas harus melakukan beberapa persiapan. Berikut ini tahap perencanaan menurut Bruner, yaitu:
a. Menentukan tujuan pembelajaran.
b. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya).
c. Memilih materi pelajaran.
d. Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh generalisasi).
e. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
f. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik.
g. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa (Suciati & Prasetya Irawan dalam Budiningsih, 2005:50).
b. Prosedur Aplikasi Metode Discovery Learning
Adapun menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning di kelas tahapan atau prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum adalah sebagai berikut:
a) Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan).
b) Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah).
c) Data collection (pengumpulan data).
d) Data processing (pengolahan data).
e) Verification (pentahkikan/pembuktian).
f) Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)
a) Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan).
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri (Taba dalam Affan, 1990:198). Disamping itu guru dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah Syah (2004:244). Sebagaimana pendapat Djamarah (2002:22) bahwa: tahap ini Guru bertanya dengan mengajukan persoalan, atau menyuruh anak didik membaca atau mendengarkan uraian yang memuat permasalahan.
Stimulation pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini Bruner memberikan stimulation dengan menggunakan teknik bertanya yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghadapkan siswa pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi. Teacher can provide the condition in which discovery learning is nourished and will grow. One way they can do this is to guess at answers and let the class know they are guessing. (Norman dan Richard Sprinthall, 1990:248). Dengan demikian seorang Guru harus menguasai teknik-teknik dalam memberi stimulus kepada siswa agar tujuan mengaktifkan siswa untuk mengeksplorasi dapat tercapai.
b) Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah).
Setelah dilakukan stimulation langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004:244). Sedangkan menurut (Djamarah, 2002:22) permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan (statement) sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan.
Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisa permasasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah. Sebagaimna pendapat Bruner bahwa: The students can then analyze the teacher’s answer. This help prove to them that exploration can be both rewarding and safe. And it is thus a valuable technique for building life long discovery habits in the student (Norman dan Richard Sprinthall, 1990:248).
c) Data collection (pengumpulan data).
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidak hipotesis, dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literature, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya (Djamarah, 2002:22). Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
d) Data processing (pengolahan data).
Menurut Syah (2004:244) data processing merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informai hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002:22). Data processing disebut juga dengan pengkodean coding/ kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan penegetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.
e) Verification (pentahkikan/pembuktian).
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41). Sehingga setelah mencapai tujuan tersebut atau berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak (Djamarah, 2002:22).
f) Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)
Tahap generalitation/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Atau tahap dimana berdasarkan hasil verifikasi tadi, anak didik belajar menarik kesimpulan atau generalisasi tertentu (Djamarah, 2002:22). Akhirnya dirumuskannya dengan kata-kata prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi (Junimar Affan, 1990:198).
Yang perlu diperhatikan siswa setelah menarik kesimpulan adalah proses generalisasi menekankan pentingnya penguasaan pelajar atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu (Slameto, 2003:119). Yaitu dengan menangkap ciri-ciri atau sifat sifat umum yang terdapat dalam sejumlah hal yang khusus (Djamarah, 2002:191).
Selama kegiatan belajar mengajar berlangsung dengan mengaplikasikan metode discovery learning, Bruner dalam Syaodih (86:2001) memberikan beberapa saran, yaitu:
1. Memberikan pengalaman agar siswa belajar bagaimana cara belajar, bagaimana cara memecahkan masalah.
2. Menstruktur pengetahuan, mengusahakan agar siswa memahami struktur pelajaran. Memahami berarti dapat menghubungkannya dengan berbagai hal lain. Kita tak dapat mengajarkan segala sesuatu, namun kita dapat mengajarkan prinsip-prinsipnya yang pokok, yang disebutkan strukturnya.
3. Urutan penyajian bahan dapat dilakukan dari yang sederhana sampai yang lebih abstrak.
4. Motivasi belajar. Bruner menganjurkan untuk mengurangi motivasi ekstrinsik, sering berupa pujian, hadiah, angka baik, dan lain-lain dan mengutamakan motivasi intrinsik. Motivasi intrinsik ialah bila siswa menguasai pelajaran, sanggup memecahkan masalah yang sulit, menaruh minat, merasa turut terlibat, merasa diri kompeten.
5. Pemecahan masalah dilakukan dengan merumuskan hipotesis yang dicec kebenarannya berdasarkan data yang relevan. Pemecahan masalah dapat juga tercapai dengan menggunakan intuisi, yaitu proses berfikir yang tidak dapat di verbalisasi. Diharapkan siswa dididik agar dapat menemukan jawaban atas masalah dengan usaha sendiri. Apa yang ditemukan sendiri lebih mantab dan mempunyai nilai transfer tinggi.
4. Kelebihan dan Kelemahan Metode Discovery Learning
a. Kelebihan Metode Discovery Learning
Dalam belajar Discovery siswa dikondisikan pada lingkungan belajar yang direfleksikan dalam pembentukan kode-kode generic (general) serta pembentukan sistem-sistem coding secara inheren. Dengan penerapan pendekatan Discovery Learning dalam belajar memiliki keuntungan-keuntungan. Bruner memandang, bahwa pendekatan Discovery mempunyai empat keuntungan yaitu: (1) Kode-kode generic (general) memfasilitasi transfer dan retensi. Konsisten pula dengan hal ini ialah bahwa (2) Discovery memfasilitasi transfer dan memory (ingatan). Transferabilitas yang telah berkembang menampak dalam apa yang disebut oleh Bruner sebagai intellectual potency. Dua keuntungan lainnya berkaitan dengan (3) Abilitas problem solving (pemecahan masalah) dan (4) Motivasi. Bruner menandaskan bahwa makin sering digunakan metode-metode Discovery makin membawa seorang pelajar untuk menguasai keterampilan dalam pemecahan masalah (problem solving) menurut terminology Bruner, pelajar menguasai Heuristic of Discovery. Mengenai Motivasi, Bruner yakin bahwa Discovery menghantarkan pelajar kepada suatu penggiliran dari reliansi pada extrinsic reward kereliansi instrinsic reinforcement. Kalau perbuatan Discovery sendiri menyenangkan, suatu external reward kiranya tidak perlu (Lefancois dalam Emetembun, 1986:105).
Dalam artikel The Act of Discovery, Bruner menyebutkan ada beberapa keuntungan jika suatu bahan dari suatu mata pelajaran disampaikan dengan menerapkan pendekatan-pendekatan yang berorientasi pada Discovery Learning, yaitu:
a) Adanya suatu kenaikan dalam potensi intelektual.
b) Ganjaran intrinsik lebih ditekankan dari pada ekstrinsik.
c) Murid yang mempelajari bagaimana menemukan berarti murid itu menguasai metode discovery learning.
d) Murid lebih senang mengingat-ingat materi (Dalyono, 1996:43).
Selain keuntungan yang dijelaskan Bruner tersebut Ausubel & Robinson (1969) mengemukakan keuntungan-keuntungan dari penerapan metode Discovery, sebagai berikut:
a) Discovery mempunyai keuntungan dapat mantransmisikan suatu konten mata pelajaran pada tahap operasi-operasi konkrit. Terwujudnya hal ini bila pelajar mempunyai segudang informasi sehingga ia dapat secara mudah menghubungkan konten baru yang disajikan dalam bentuk expository.
b) Discovery dapat dipergunakan untuk mentest meaningfulness (keberartian) belajar. Test yang dimaksudkan hendaklah mengandung pertanyaan kepada pelajar untuk menggenerasi hal-hal (misalnya konsep-konsep) untuk diaplikasikannya.
c) Belajar discovery perlu dalam pemecahan problema jika diharapkan murid-murid mendemonstrasikan apakah mereka telah memahami metode-metode pemecahan problema yang telah mereka pelajari.
d) Ausubel juga mengakui bahwa transwer dapat ditingkatkan bila generalisasi-generalisasi telah ditemukan oleh pelajar dari pada bila diberikan kepadanya dalam bentuk final.
e) Penggunaan discovery mungkin mempunyai efek-efek superior dalam menciptakan motivasi bagi pelajar. Hal ini dikarenakan belajar discovery sangat dihargai oleh masyarakat kontemporer, juga karena apa yang dimaksudkan self learned secara instrinsik memuaskan (Lefancois dalam Emetembun, 1986:120).
b. Kelemahan Metode Discovery Learning
Kendatipun Ausubel menerima kemungkinan superioritas dari pendekatan discovery terhadap hal-hal yang sudah berlangsung, ia tetap kuat membela penekanan yang lebih besar pada prosedur-prosedur instruksional yang lebih didaktik. Pada kenyataanya ia mempertahankan tidak hanya bahwa kebanyakan belajar adalah dari berbagai reception, tetapi juga bahwa setiap alternatif tak akan efektif dalam artian waktu, biaya, dan keuntungan-keuntungan bagi pelajar. Sesungguhnya hanya sedikit sekolah-sekolah yang mengembangkan belajar discovery pada murid, bukan hanya karena membutuhkan waktu lama, melainkan pula karena murid-murid jarang kapabel dalam discovery yang justru membutuhkan penguasaan informasi yang lebih cepat, dan tidak diberikan dalam bentuk final. Ausubel menandaskan bahwa sesudah umur 11 atau 12 tahun, pelajar memiliki cukup latar belakang informasi untuk mampu memahami banyak konsep-konsep baru yang sangat jelas jika diperjelas kepada mereka. Pada usia ini, bila seorang murid diminta menemukan (to discover) suatu konsep banyak waktu terbuang (Lefancois dalam Emetembun, 1986:121).
5. Implikasi Metode Discovery Learning
Bruner memberikan sejumlah saran yang spesifik bagi praktek edukasional dalam aplikasi metode yang discovery oriented, Saran- saran tersebut meliputi:
a. “Kurikulum suatu obyek hendaklah ditentukan oleh pemahaman yang paling fundamental bahwa hal itu dapat dicapai dengan prinsip-prinsip dasar yang memberikan struktur pada subyek itu”. Pengetahuan mengenai prinsip-prinsip dasar dan struktur auatu subyek dapat memfasilitasi pembentukan system-sistem coding yang generic jika didasarkan pada prinsip-prinsip pengorganisasian. Dikemukakan oleh Bruner, bahwa jika kurikulum tidak terorganisasi guna memungkinkan pembentukan struktur (system-sistem coding) maka bahan yang dipelajari akan sulit tak membawanya pada transfer, dan akan sulit diingat.
b. “…tiap subyek dapat diajarkan kepada seseorang anak dalam bentuk yang jujur (honest form)”. Lawan-lawan Bruner segera menyatakan bahwa tak satupun subyek dapat diajarkan pada tiap usia. Umpamanya propotion mungkin tak dapat dipahami oleh seorang anak umur 4 tahun. Jawaban Bruner ialah statement itu perlu direintrepetasi dan dikaji dalam artian kemungkinan mengenai aspek-aspek mengajar suatu subyek pada suatu tingkat usia. Mungkin beberapa aspek propotion dapat dijarkan kepada anak usia 4 tahun. Pertanyaan yang penting ialah: bagaimana mengajarkan dapat dibuat efektif bagi anak-anak yang sangat muda usia? Jawaban Bruner, bahwa bentuknya dapat disimplifikasikan, misalnya representasi motorik atau sensorik (enactive) kerepresentasi dalam bentuk yang relative concrete images (iconic) sampai akhirnya representase secara abstrak (symbolic) merupakan sekuensi dalam mengajar. Dengan perkataan lain, suatu subyek dapat disajikan sedemikian rupa sehingga anak pertama-tama dapat mengalaminya, kemudian beranjak ke presentasi secara kongkrit, dan akhirnya mensimbolisasikannya sebagai sekuensi instruksional yang paling baik.
c. Suatu kurikulum spiral yang mengembangkan dan mengembangkan kembali (redevelops) topik-topik pada tingkat-tingkat yang berbeda merupakan kurikulum ideal bagi penguasaan kode-kode generic. Bruner menyetujui bahwa kurikulum spiral rupanya ideal bagi pengembangan system-sistem coding. Ulangan (repetition) tidak hanya perlu, tetapi juga perlu organisasi bahan pelajaran secara saksama dalam artian prinsip-prinsip dan progesi karakteristik dan pemecahan yang paling simple ke pemahaman yang paling kompleks, pararel dengan perkembangan ideal dari suatu system coding. Mulai dengan pelajar diekspos pada konsep-konsep itu, ia secara progresif diekspose pada tingkat yang lebih tinggi, pada konsep-konsep yang lebih general. Secara teoritik hasilnya merupakan pembentukan struktur, yaitu yang kondusif bagi: a) Transwer; b) Recall; dan c) Discovery.
d. “… murid harus diberikan suatu latihan dalam rekognisi plausibility of guesses” (menebak yang kemungkinannya benar). Dalam hubungan ini Bruner berbicara tentang intuitive leap (dadakan intuitif) suatu tebakan pintar (educated guess) yang lebih didasarkan pada prediksi-prediksi berdasarkan apa yang diketahui tentang hal-hal yang similar. Suatu intuitive leap tebakan mandadak janganlah dihalangi. Menurut Bruner, tebakan yang dihalangi (discourage guissing) sama dengan mematikan proses discovery.
e. Alat-alat Bantu mengajar (audiovisual, dll) haruslah diusahakan. Alasan untuk mendukung rekomendasi ini ialah bahwa alat-alat bantu audiovisual (audiovisual aids) memberikan murid-murid pengalaman langsung atau pengalaman-pengalaman vicarious (pengganti), dank arena itu memfasilitasi pembentukan konsep-konsep. Hal ini secara langsung berhubungan dengan saran Bruner bahwa sekuensi instruksional paling baik adalah sekuensi yang berproses seperti apa yang dipelajari anak untuk merepresentasikan dunianya yaitu dari enactive ke iconic, dan akhirnya ke symbolic (Lefancois dalam Emetembun, 1986:108-112).
B. Tinjauan Umum tentang Kemampuan Memecahkan Masalah
1. Pengertian Kemampuan Memecahkan Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari manusia dihadapkan pada masalah-masalah yang menuntut untuk memecahkannya. Dalam memecahkan suatu masalah tidak dapat dipisahkan dari aktifitas berpikir untuk menemukan suatu solusi. Suatu masalah pada umumnya tidak dapat dipecahkan tanpa berfikir, dan banyak masalah memerlukan pemecahan yang baru bagi orang-orang atau kelompok. (Slameto, 2003:142). Oleh karena itu siswa sebagai seorang manusia pada akhirnya turut juga berkecimpung dalam kehidupan sehari-hari harus terbiasa berfikir kritis guna menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian penggunaan metode Discovery Learning diharapkan dapat menghasilkan siswa yang memiliki kemampuan memecahkan masalah. Kemampuan dan kecakapan kognitif untuk memecahkan masalah secara rasional, lugas, dan tuntas (Dalyono, 1996:226).
Dalam memecahkan masalah siswa tidak lepas dari proses berfikir. Berfikir adalah sebuah proses yang melibatkan mental dengan abstraksi sampai kepada pemecahan masalah, sebagaimana pendapat Solso (1991:405) bahwa: Thinking is a process by which a new mental representation is formed through the tansformation of information by complecs interaction of the mental attributes of judging, abstracting, reasoning, imagining and problem solving. Selain itu berfikir adalah 1) proses yang melibatkan operasi mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi dan penalaran. 2) Berfikir adalah proses secara simbolik menyatakan (melalui bahasa) obyek nyata dan kejadian-kejadian dan penggunaan pernyataan simbolik itu untuk menemukan prinsip-prinsip esensial tentang objek dan kejadian itu. Pernyataan simbolik (abstrak) seperti biasanya berbeda dengan operasi mental yang didasarkan pada tingkat kongkret dari fakta dan kasus-kasus. 3) berfikir adalah kemampuan untuk menganalisis, mengkritik dan mencapai kesimpulan berdasar pada inferensi atau pertimbangan yang saksama (Nurhadi, 2004:58).
Sedangkan Mayer dalam Solso (1991:405) memberikan tiga ide pokok pemikiran tentang berfikir, yaitu:
1) Thingking is cognitive, that’s is, it occurs “internally”, in the mind, but is inferred from behavior. The chess player exhibits her thinkink in her move. 2) Thinkink is a process that involves some manipulation of knowledge of the situation. 3) Thinkink is directed and result in behavior that “solve” a problem or is directed toward a solution. The next chess move is, in the mind of the player, directed toward winning the gane. Not all actions are successful, but generally, in yhe mind of the player, they are directed toward a solution.
Adapun pemecahan masalah atau Problem Solving dalam bahasa Inggris, pada dasarnya adalah belajar menggunakan metode-metode ilmiah atau berfikir secara sistematis, logis, teratur, dan teliti. (Dalyono, 1996:226).
Dengan demikian pemecahan masalah adalah berfikir untuk mencari kemungkinan-kemungkinan solusi dari masalah-masalah dengan cara yang selektif. Problem solving is thinking that is directed toward the solving of a specific problem that involves both the formation of responses and the selection among possible responses (Solso, 1991:440). Siswa dalam mencari solusi-solusi yang digunakan untuk pemecahan masalah harus mempunyai beberapa kemampuan dalam berfikir.
Dalam pemecahan masalah dalam diri siswa diupayakan untuk terampil berfikir kritis dan kreatif. Adapun pendapat J. Dewey yang memberikan konsep berfikir (Complete Art of Reflective Activity) yang menjadi dasar untuk pemecahan masalah adalah sebagai berikut: a) Adanya kesulitan yang dirasakan atau kesadaran akan adanya masalah; b) Masalah itu diperjelas dan dibatasi; c) Mencari informasi atau data dan kemudian data itu diorganisasikan; d) Mencari hubungan-hubungan untuk merumuskan hipotesis-hipotesis, kemudian hipotesis-hipotesis itu dianalisis, diuji agar dapat ditentukan untuk diterima atau ditolak; e) Penerapan pemecahan terhadap masalah yang dihadapi sekaligus berlaku sebagai pengujian kebenaran pemecahan tersebut untuk dapat sampai pada kesimpulan (Slameto, 2003:143).
Sedangkan menurut Bayer dalam Nurhadi (2004:74) memberikan 10 keterampilan berfikir kritis yang harus dapat digunakan siswa dalam mempertimbangkan validitas (keabsahan) tuntutan atau argument, memahami periklanan dan sebagainya, yaitu:
1. Membedakan fakta-fakta yang dapat diverifikasi dan tuntutan nilai-nilai yang sulit diverifikasi (diuji kebenarannya).
2. Membedakan antara informasi, tuntutan atau alasan yang relevan dengan yang tidak relevan.
3. Menentukan kecermatan factual (kebenaran) dari suatu pernyataan.
4. Menentukan kredibilitas (dapat dipercaya) dari suatu sumber.
5. Mengidentifikasi tuntutan atau argument yang mendua.
6. Mengidentifikasi asumsi yang tidak dinyatakan.
7. Mendeteksi bias (menemukan penyimpangan).
8. Mengidentifikasi kekeliruan-kekeliruan logika.
9. Mengenali ketidak konsistenan logika dalam suatu penalaran.
10. Menentukan kekuatan suatu argument atau tuntutan.
Osborn dalam Slameto (2003:155-156) memperkenalkan 10 tahap pemecahan masalah yang kreatif. Yaitu:
1. Memikirkan keseluruhan tahap dari masalah.
2. Memilih bagian masalah yang perlu dipecahkan.
3. Memikitkan informasi yang kiranya dapat membantu.
4. Memilih sumber-sumber data yang paling memungkinkan.
5. Memikirkan segaa kemungkinan pemecahan masalah tersebut.
6. Memilih gagasan-gagasan yang paling memungkinkan bagi pemecahan.
7. Memikirkan segala kemungkinan cara pengujian.
8. Memilih cara yang paling dapat dipercaya untuk menguji.
9. Membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.
10. Mengambil keputusan.
Problem solving sebagai sebuah kemampuan yang menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan pembelajaran di kelas, siswa dituntut untuk menguasainya. Konsekuensi yang harus diterima, siswa dalam aktifitas belajar selalu dihadapkan pada penyelesaian tugas-tugas yang diberikan oleh guru untuk dipecahkan, dengan belajar dan latihan-latihan yang harus dikerjakan memungkinkan siswa untuk terbiasa memecahkan masalah. Sehingga nantinya siswa siap menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari. Untuk memecahkan masalah-masalah tersebut, siswa harus mengidentifikasi masalah, mengidentifikasi kemungkinan pemecahannya, memilih suatu pemecahan, melaksanakan pemecahan atas masalah tersebut, dan menganalisis serta melaporkan penemuan-penemuan mereka (Nurhadi, dkk, 2004:77).
Kunci utama bagi sorang pelajar dalam pemecahan masalah adalah persepsi yang merupakan representasi fenomenal tentang obyek (Wirawan, 2003:88) siswa harus dapat menggambarkan atau melukiskan informasi tentang masalah yang dihadapi. Sebagaimana pendapat Solso (1991:444) bahwa: Representation of information is very important in problem solving. Representasi pada suatu problema sangatlah subyektif dan setiap siswa mempunyai pandangan yang dilatarbelakangi kemampuan yang berbeda. Sehubungan dengan representasi, Solso (1991:451) berpendapat, bahwa: Internal representation internal in problem solving task (as well as most other task) is highly subjective; mental transcription of configurations in the real world are not necessarily perfectly matched by subject’s internal representation.
Lebih lanjut, dalam memecahkan masalah pelajar dituntut mampu dapat menguasai beberapa keterampilan dengan mengetahui prinsip-prinsip dan memahami konsep secara mendetail, sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: If the final capability desired is a problem solving capability the learner first must know certain principles. But to understand those principles, he must know specific concepts, and prerequisite to these are particular simple associations or facts discriminated from each other in a distinctive manner. He continues the analysis until he ends up with fundamental building blocks of learning classically or operantly conditioned responses (Lee S. Schulman dalam Clarizio, 1974:193).
Setelah dapat menggambarkan masalah dengan tepat pemecahan masalah ini bergantung pada kemauan siswa merencanakan urutan kegiatan logis yang dikehendaki, selain mengambil intisari dari yang telah dipelajari pada setiap tahap, melompati atau menghindari halangan-halangan potensial, dan membuat strategi-strategi alternatif, apabila diperlukan untuk mengatasi halangan menuju tujuan (Shapiro, 1998:166). Selain kemauan siswa untuk merencanakan urutan kegiatan logis, memecahkan suatu masalah bergantung pada proses representasi yang subyektif dari pribadi siswa sebagaimana kesimpulan Solso (1991:453) bahwa: Solving a problem is somewhat dependent on the subjective representation stored in memory, and the formation an internal representation is an active process. Kesimpulan tersebut menunjukkan bahwa Problem Solving penggambaran masalah yang meliputi ruang lingkup dalam pandangan subyektif yang tersedia dalam memori, dan merupakan suatu proses internal yang aktif. Hal ini dapat dilihat ketika siswa diberikan beberapa masalah untuk dipecahkan cenderung membuat variasi dari strategi-strategi, bergantung pada bagaimana mereka melihat kompleksitas suatu masalah, dan pengalaman mereka di masa lampau yang berhasil. Melalui pengalaman anak-anak memilih strategi yang paling mungkin berhasil untuk tiap masalah tunggal (Shapiro, 1998:159).
2. Teori-teori Pemecahan Masalah
Untuk mencapai suatu pemecahan masalah terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui, dengan menempuh langkah-langkah pemecahan masalah.
a. Pemecahan Masalah menurut Psikologi Kognitif Modern
Menurut Psikologi Kognitif Modern, bahwa ada beberapa tahapan yang harus dilampaui seseorang ataupun siswa dalam pemecahan masalah, secara terperinci tahap-tahap yang harus ditempuh dalam pemecahan masalah akan diuraikan sebagai berikut:
Tabel I
Model Pemecahan Masalah
Menurut Psikologi Kognitif Modern
Cognitive Action Nature of The Problem
1. Identifying the problem
Next May I. will be graduated from college. It is the end of one phase of my life. (Time to grow up).
2. Representation of the problem
I will be unemployed and without funds. Must get work. (Can no longer sponge off mom and pop.)
3. Planning the solution
I will write a resume, investigate the job market, consult with friends and teachers. (See what’s out there. I could go to Tibet and become a monk.)
4. Execute plan
I will make appointments with interesting companies. I will interview with them. (Take the plunge.)
5. Evaluate plane
I will consider each offer in light of my own needs and desires and make decision. (Who’s offering big bucks, long vacations, and early retirement. )
6. Evaluate the solution I will reflect on the process of solving this problem and use such knowledge in future problem solving. (Where did I go wrong?) (Solso, 1991:443)
b. Pemecahan masalah menurut J. Dewey
Menurut J. Dewey dalam proses pemecahan masalah dapat dilakukan dalam enam tahap yang terdapat pada tabel berikut ini, yaitu:
Tabel II
Model Pemecahan Masalah
Menurut J. Dewey
Tahap-tahap Kemampuan yang diperlukan
1. Merumuskan masalah Mengetahui dan merumuskan masalah secara jelas
2. Menelaah masalah Menggunakan pengetahuan untuk memperinci masalah, menganalisis masalah dari berbagai sudut
3. Merumuskan hipotesa Berimajinasi dan menghayati ruang lingkup, sebab akibat dan alternative penyelesaiannya
4. Mengumpulkan dan mengelompokkan data sebagai bahan pembuktian hypothesis Kecakapan mencari dan menyusun data, menyajikan data dalam bentuk diagram, gambar, tabel.
5. Pembuktian hipotesis Kecakapan dan membahas data, kecakapan menghubung-hubungkan dan menghitung.
Keterampilan mengambil keputusan dan kesimpulan.
6. Menentukan pilihan penyelesaian
Kecakapan membuat alternative penyelesaian.
Kecakapan (Gulo, 2004:115)
c. Pemecahan Masalah menurut Lawrence Senesh
Lawrence Senesh mengemukakan tiga tahapan dalam proses pemecahan masalah, yaitu: 1. Tahap motivasi; 2. Tahap pengembangan; 3. Tahap kulminasi.
Pemecahan masalah itu sendiri berada dalam tahap kedua yaitu tahap pengembangan dengan langkah-langkah pemecahannya sebagai berikut.
1) Menemukan gejala-gejala problematic (symptus of the problem).
2) Mempelajari aspek-aspek permasalahan (aspects of the problem).
3) Mendefinisikan masalah (definition of problem).
4) Menentukan ruang lingkup permasalahan (scope of the problem).
5) Menganalisis sebab-sebab masalah (causes of the problem).
6) Menyelesaikan masalah (solution of the problem) (Gulo, 2004:116).
3. Kondisi Pendukung dalam Pemecahan Masalah
Akan tetapi meskipun telah menerapkan langkah-langkah Pemecahan masalah tersebut dalam suatu pembelajaran di kelas, pemecahan masalah tidak dapat seketika terjadi, karena pemecahan masalah adalah proses internal yang membutuhkan kondisi eksternal yang mendukungnya. Problem Solving menyangkut pemikiran mengenai suatu solusi (pemecahan) terhadap suatu problema (masalah) dengan mengkombinasikan rules (aturan-aturan) yang lama dengan mengkombinasikan rules (aturan-aturan) yang baru. Menurut Gagne untuk pemecahan problema, perlu kondisi yang memadai. Tiga kondisi eksternal yang perlu bagi pemecahan problema tersebut yaitu: 1. Rules yang dibutuhkan bagi pemecahan problema haruslah aktif pada saat yang bersamaan atau dalam succession yang erat. 2. Instruksi-instruksi atau pertanyaan-pertanyaan verbal dapat dipergunakan untuk memancing recall mengenai rules yang relevan. 3. Arah-arah proses-proses berpikir dapat juga ditentukan oleh instruksi-instruksi verbal (Ametembun, 1986:100-101).Dengan demikian problema yang dihadapi akan dapat dipecahkan dengan menghubung-hubungkan beberapa kaidah sedemikian rupa, sehingga terbentuk suatu kaidah yang lebih tinggi, yang oleh Gagne disebut higher-order rule dan tiap dilahirkan sebagai hasil dari berpikir, bila orang menghadapi suatu problema untuk dipecahkan (Winkel, 1989:70-71).
4. Upaya Peningkatan Kemampuan Memecahan Masalah Siswa dengan Aplikasi Metode Discovery Learning.
Dengan memperhatikan penjelasan diatas maka dalam kegiatan belajar mengajar guru perlu menerapkan metode belajar yang dapat memfasilitasi aktifitas, latihan-latihan, mengahadapkan siswa pada persoalan yang harus diselesaikan. Penggunaan metode discovery learning yang berulang ulang dalam kegiatan belajar memungkinkan siswa untuk melakukan pemecahan masalah dan peka terhadap masalah secara berulang-ulang juga. Kondisi seperti ini dapat menjadikan siswa terbiasa memecahkan masalah serta meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Bruner menandaskan bahwa makin sering digunakan metode-metode Discovery makin membawa seorang pelajar untuk menguasai keterampilan dalam pemecahan masalah (problem solving) menurut terminology Bruner, pelajar menguasai Heuristic of Discovery (Lefancois dalam Emetembun, 1986:105).
Dengan keberhasilan siswa dalam penggunaan metode memecahkan masalah yang dimiliki memungkinkan siswa merasa bangga dan puas (intrinsic reward) dengan kemampuannya dalam memecahkan masalah.
C. Tinjauan Umum tentang Motivasi Belajar
1. Pengertian Motivasi
Pengertian motivasi tidak dapat dilepaskan dari pengertian motif. Karena kata motif menunjukkan alasan seseorang melakukakan suatu aktifitas. Kata “motif”, diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakuklan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan didalam subyek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan (Sardiman, 2005:73). James Drever memberikan pengertian tentang motif sebagai berikut: Motive is an effective- conative factor which operates in determining the direction of an individual’s behavior towards and end or goal, counsioustly apprehended or unconsioustly (Slameto, 2003:58).
Sedangkan Sartain dalam bukunya Psychology Understanding of Human Behavior menjelaskan, bahwa: motif adalah suatu pernyataan yang kompleks didalam suatu organisme yang mengarahkan tingkah laku/ perbuatan ke suatu tujuan atau perangsang (Purwantoro, 2004:60).
Demikian juga dengan pendapat Abraham Sperling (1987:183) yang mengemukakan bahwa Motive is defined as a tendency to activity, started by a drive and ended by an adjustment. The adjustment is said to satisfy the motive. Motif didefinisikan sebagai suatu kecenderungan untuk beraktivitas, dimulai dari dorongan dalam diri (drive) dan diakhiri dengan penyesuaian diri. Penyesuaian diri dikatakan untuk memuaskan motif. Dengan demikian, motif dapat diartikan sebagai dorongan yang penjadi pangkal seseorang melakukan sesuatu aktivitas (Amirullah, 2002:146).
Sedangkan motivasi dipandang dari akar katanya, motivasi (motivation) berarti pemberian motif, penimbulan motif atau hal yang menimbulkan dorongan atau keadaan yang menimbulkan dorongan. Motivasi juga dapat pula dikatakan sebagai energi untuk membangkitkan dorongan dalam diri (drive arousal). Sebagaimana pendapat Mc. Donald yang mengatakan bahwa, Motivation is a energy change within the person characterized by affective arousal an anticipatory goal reactions (Djamarah, 2002:114). Dari definisi tersebut menunjukkan bahwa: 1) motivasi dimulai dari adanya perubahan energi dalam pribadi, 2) motivasi ditandai dengan timbulnya perasaan (affective arousal), 3) motivasi ditandai oleh reaksi-reaksi untuk mencapai tujuan (Oemar Malik, 1992:174).
Selain itu, motivasi adalah suatu dorongan yang berasal dari dalam diri atau kondisi jiwa yang dipengaruhi faktor-faktor eksternal. Sebagaimana Benard Bereson dan Gary A. Steiner dalam Machrony (1854:109), mendefinisikan motivasi sebagai All those inner striving conditions variously described as wishes, needs, drives, and the like. Motivasi (motivation) adalah keseluruhan dorongan, keinginan, kebutuhan, dan daya yang sejenis yang mengarahkan prilaku (Mujib, 2002:243). Motivasi dapat diartikan sebagai keadaan kejiwaan dan sikap mental manusia yang memberikan energi, mendorong kegiatan (moves), dan mengarah atau menyalurkan perilaku kearah mencapai kebutuhan yang memberi kepuasan atau mengurangi ketidak seimbangan (Siswanto, 2005:119).
Pengertian motivasi yang dikemukakan Hoy dan Miskel dalam buku Educational Administration (1982:137) bahwa: motivasi dapat didefinisikan sebagai kekuatan-kekuatan yang kompleks, dorongan-dorongan, kebutuhan-kebutuhan, pertanyaan-pertanyaan ketegangan (tention states), atau mekanisme-mekanisme lainnya yang memulai dan menjaga kegiatan-kegiatan yang diinginkan ke arah pencapaian tujuan- tujuan personal (Purwantoro, 2004:72).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulakan bahwa motif merupakan suatu dorongan kebutuhan dalam diri seseorang yang perlu dipenuhi agar seseorang dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Sedangkan motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan seseorang agar mampu mencapai tujuan dari motifnya. Dengan kata lain motivasi merupakan bentuk aktivitas untuk mencapai tujuan yang berasal dari motif sebagai suatu dorongan dalam diri siswa untuk mencapai tujuan belajar yang ingin dicapainya.
2. Motif yang mendorong untuk Belajar
Adapun motif atau hal yang mendorong siswa untuk belajar menurut Arden N. Fransend yang dikutip oleh Sardiman (2004:46), yaitu:
a. Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas.
b. Adanya sifat yang kreatif pada orang yang belajar dan adanya keingian untuk selalu maju.
c. Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru dan teman-temannya.
d. Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru, baik dengan kooperasi maupun kompetisi.
e. Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai materi.
f. Adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir dari belajar.
Sedangkan Maslow mengemukakan dorongan-dorongan untuk belajar itu adalah:
a. Adanya kebutuhan fisik.
b. Adanya kebutuhan akan rasa aman, bebas dari ketakutan.
c. Adanya kebutuhan akan kecintaan dan penerimaan dalam hubungan dengan orang lain.
d. Adanya kebutuhan untuk mendapatkan kehormatan dari masyarakat.
e. Sesuai dengan sifat seseorang untuk mengemukakan atau mengetengahkan diri (Sardiman, 2004:47).
3. Macam- macam Motivasi
Motivasi secara umum dapat dibedakan menjadi dua sudut pandang, yaitu motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang (motivasi intrinsik) dan motivasi yang berasal dari luar diri seseorang (motivasi ekstrinsik). Motivasi intrinsik yaitu motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena setiap diri indifidu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu (Djamarah, 2002:115). Atau motivasi intrinsik ialah bila siswa menguasai pelajaran, sanggup memecahkan masalah yang sulit, menaruh minat, merasa turut terlibat, merasa diri kompeten (Syaodih, 86:2001). Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah kebalikan dari motivasi intrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi karena adanya perangsang dari luar (Djamarah, 2002:117).
Jika dihubungkan dengan pendekatan Discovery Learning, Bruner mengatakan bahwa motivasi belajar siswa dapat ditimbulkan dengan suatu yang menyenangkan dalam proses belajar sehingga dapat menghantarkan pelajar pada penggiliran reliansi pada extrinsic reward kereliansi instrinsic reinforcement.
4. Bentuk- bentuk Motivasi Belajar Siswa
Untuk mengetahui bagaimana siswa memiliki motivasi dalam kegiatan belajar ada beberapa aktifitas yang dapat diobservasi pada tingkah laku siswa pada kegiatan belajar di kelas, khususnya dengan aplikasi Metode Discovery Learning pada bidang studi Al-Qur’an dan Hadits. Pada waktu pembelajaran siswa yang termotivasi menunjukkan sikap ataupun tingkah laku, yaitu: 1) bersungguh-sungguh, menunjukkan minat, mempunyai perhatian dan rasa ingin tahu yang kuat untuk ikut serta dalam kegiatan belajar mengajar; 2) berusaha keras dan memberikan waktu yang cukup untuk melakukan kegiatan tersebut dan 3) terus bekerja sampai tugas-tugas tersebar terselesaikan (Muhaimin, 2001:138). Disamping itu siswa dalam mengikuti pelajaran menunjukkan sikap, yaitu: 1) mengikuti pelajaran dengan sungguh-sungguh, 2) menyelesaikan tugas di sekolah dengan baik, 3) berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan belajar dan 4) menyelesaikan pekerjaan rumah pada waktunya (Masnur, 1987:49).
Secara lebih umum bentuk-bentuk motivasi belajar siswa dapat terlihat dengan adanya: 1) kompetisi (competition); 2) mendekatkan tujuan (pace making); 3) tujuan yang jelas dan diakui; 4) minat. Dan motivasi belajar siswa untuk mencapai tujuan belajar siswa tersebut memilki totalitas diri untuk mencapainya. Ini biasanya diikuti dengan penuh perhatian, tampaknya tidak bosan dan penuh semangat (Tafsir, 2001:136). Selain itu, seorang yang besar motivasinya akan giat berusaha, tampak gigih tidak mau menyerah, giat membaca buku-buku untuk meningkatkan prestasinya untuk memecahkan masalah. Sebaliknya mereka yang motivasinya lemah, tampak acuh tak acuh, mudah putus asa, perhatiannya tidak tertuju pada pelajaran, suka mengganggu kelas, sering meninggalkan pelajaran akibatnya banyak mengalami kesulitan belajar (Dalyono, 2001:236).
Pada kehidupan sehari-hari ketika siswa ingin meraih cita-citanya ia akan terus berusaha sekuat tenaga meraihnya, sebagaimana pendapat Mack R. Douglas (1992:177), bahwa orang yang mempunyai motivasi diri yang baik adalah orang yang mempunyai cita-cita, dinamis dan tekun mencurahkan diri dan kemampuannya untuk mencapai cita-cita tersebut.
5. Fungsi Motivasi Belajar
Adapun fungsi motivasi menurut Ngalim Purwantoro (200470-71) ada tiga yaitu:
a. Mendorong manusia untuk berbuat dan bertindak. Sebagi penggerak atau sebagai motor yang memberikan energi (kekuatan) kepada seseorang untuk melakukan suatu tugas.
b. Menentukan arah perbuatan. Yakni kearah perwujudan suatu tujuan atau cita-cita. Motivasi mencegah penyelewengan dari jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan itu.
c. Menyeleksi perbuatan kita. Artinya menentukan perbutan-perbuatan mana yang harus dilakukan, yang serasi, guna mencapai tujuan itu dengan menyampingkan perbuatan yang tak bermanfaat bagi tujuan itu.
Disamping fungsi tersebut, Djamarah (2002:123) juga memberikan pandangannya tentang fungsi motivasi, sebagai berikut:
a. Motivasi sebagai pendorong perbuatan. Pada mulanya anak didik tidak ada hasrat untuk belajar, tetapi karena ada sesuatu yang dicari muncullah minatnya untuk belajar. Sesuatu yang akan dicari itu dalam rangka untuk memuaskan rasa ingin tahunya dari sesuatu yang akan dipelajari. Sesuatu yang belum diketahui itu akhirnya mendorong disini anak didik mempunyai keyakinan dan pendirian tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk mencari tahu tentang sesuatu.
b. Motivasi sebagai penggerak perbuatan. Dorongan psikologis yang melahirkan sikap terhadap anak didik itu merupakan suatu kekuatan yang tak terbendung, yang kemudian terjelma dalam bentuk gerakan psikofisik. Disini anak didik sudah melakukan aktifitas belajar dengan segenap jiwa raga.
c. Motivasi sebagai pengarah perbutan. Anak didik yang mempunyai motivasi dapat menyeleksi mana perbuatan yang harus dilakukan dan mana perbuatan yang diabaikan.
6. Upaya Peningkatkan Motivasi Belajar Siswa
a. Menggairahkan anak didik
Dalam kegiatan rutin di kelas sehari-hari guru harus berusaha menghindari hal-hal yang monoton dan membosankan. Peserta didik akan belajar lebih giat apabila topik yang dipelajari menarik, dan berguna bagi dirinya (Mulyasa, 2003:115). Guru harus memberikan kepada siswa cukup banyak hal-hal yang perlu dipikirkan dan dilakukan. Memeberikan stimulus berupa kegiatan-kegiatan belajar yang dapat membuat siswa selalu bertanya-tanya dalam pikiranya. Guru memberikan kebebasan tertentu untuk berpindah berpindah dari satu aspek ke lain aspek pelajaran dalam situasi belajar. Penggunaan metode discovery learning memberikan kebebasan semacam ini dan dapat menggairahkan siswa (Djamarah, 2002:135).
b. Membangkitkan rasa ingin tahu dan hasrat eksplorasi
Dengan melontarkan pertanyaan atau masalah-masalah guru dapat menimbulkan suatu konflik konseptual yang merangsang siswa untuk bekerja. Di sini anak didik berusaha keras mencari jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan itu dan berusaha memecahkan berbagai masalah dengan berbagai sudut pandang atau pendekatan. Hal tersebut dapat terjadi karena dalam diri siswa ada potensi yang besar yaitu rasa ingin tahu terhadap sesuatu. Potensi ini dapat ditumbuhkan dengan menyediakan lingkungan belajar yang kreatif. Rasa ingin tahu pada siswa melahirkan kegiatan positif, yaitu eksplorasi. Keinginan siswa untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru yang merupakan desakan eksploratif dari dalam situasi diri siswa (Djamarah, 2002:138).
c. Mengetahui Tujuan Belajar.
Siswa akan lebih bersemangat jika mereka mengetahui apa yang menjadi target yang akan mereka peroleh jika mengikuti kegiatan belajar belajar dengan baik. Oleh karena itu tujuan pembelajaran harus disusun dengan jelas dan diinformasikan kepada peserta didik sehingga mereka mengetahui tujuan belajar. Ketika siswa mengetahui tujuan belajarnya maka mereka tidak akan mengalami kebingungan pada kegiatan belajar yang akan mereka lalui karena mereka mengetahui arah kegiatan untuk mencapai tujuan belajarnya. Peserta didik juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut. Peserta didik harus selalu diberitahu tentang hasil belajarnya (Mulyasa, 2003:115).
d. Memenuhi kebutuhan siswa.
Dalam memenuhi kebutuhan siswa harus memperhatikan beberapa hal misalnya memperhatikan kondisi fisiknya, perbedaan kemampuan, latar belakang dan sikap terhadap sekolah atau subyek tertentu memberikan rasa aman. Disamping itu siswa juga membutuhkan bimbingan dan perhatian guru untuk memberikan motivasi bagi diri siswa sendiri. Guru dalam kegiatan belajar harus memperhatikan mereka, dengan pemberian pujian dan hadiah. Pujian dan hadiah lebih baik dari pada hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan mengatur pengalaman belajar sedemikian rupa sehingga setiap peserta didik pernah memperoleh kepuasan dan penghargaan, serta mengarahkan pengalaman belajar kearah keberhasilan, sehingga mencapai prestasi dan mempunyai percaya diri (Mulyasa, 2003:115).
D. Tinjauan Umum tentang Daya Ingat
1. Pengertian Daya Ingat
Istilah daya, memilki arti yang bermacam-macam sesuai dengan orang yang membidangi keilmuan tertentu. Penggunaan istilah daya, sering disama artikan dengan tenaga, energi, gejala, keinginan, dorongan dan sebaginya. Dalam kamus ilmiah popular istilah daya diartikan sebagai kemampuan, kekuatan, upaya melakukan sesuatu (Barry, 1994:94).
Adapun keberadaan daya, menurut teori yang dikemukakan ahli psikologi bahwa jiwa manusia mempunyai daya-daya. Daya-daya ini adalah kekuatan yang tersedia (Djamarah, 2002:17). Para ahli tersebut memikirkan jiwa dianalogikan dengan raga (jasmani) itu mempunyai daya, maka jiwa dianggap mempunyai daya-daya (Suryabrata, 1998:236).
Salah satu dari daya tersebut adalah memori atau ingatan atau daya ingat. Memori ialah suatu kemampuan untuk mengingat apa yang telah diketahui (De Porter & Hernacki. 1999:234), ingatan diartikan sebagi kemampuan jiwa untuk memasukkan (learning), menyimpan (retention) dan menimbulkan kembali (remembering) hal-hal yang telah dilampaui (Djamarah, 2002:44). Sedangkan istilah daya ingat diartikan sebagai daya untuk menyimpan dan mengeluarkan kesan-kesan (Purwantoro, 2004:37).
Dengan demikian pengertian daya serap siswa tidak dapat dipisahkan dengan pengertian daya ingat manusia pada umumnya. Daya ingat siswa adalah kemampuan siswa untuk memasukkan, menyimpan dan mengeluarkan kesan-kesan pengetahuan tentang materi pelajaran lampau yang telah dipelajari.
2. Proses dan Fungsi Daya Ingat
Dari pengertian berikut ini, terjadinya ingatan disebabkan adanya beberapa proses yang harus dilampaui. Hal ini menunjukkan suatu rentetan proses sehingga daya ingat dapat terjadi.
Pertama adalah proses pengamatan, pengamatan ialah suatu daya jiwa untuk memasukkan kesan-kesan dari luar melalui/ dengan menggunakan alat dria (Purwantoro, 2004:36), pengamatan merupakan fungsi sensoris yang memungkinkan seorang menangkap stimuli dari dari dunia nyata sebagai bahan yang teramati (Soemanto, 1998:18), pengamatan diartikan sebagai proses menerima, menafsirkan dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indra-indra seperti mata dan telinga (Dalyono, 2004:36). Setelah melalui pengamatan, terbentuklah hasil pengamatan (kesan-kesan), maka hasil tersebut tersimpan dalam otak dengan bentuk ingatan.
Tahap kedua, yaitu ingatan. Secara teori ada tiga aspek dalam berfungsinya daya ingat yaitu:
a. Mencamkan, yaitu menerima kesan-kesan.
b. Menyimpan kesan-kesan.
c. Mereproduksi kesan-kesan (Suryabrata, 1998:44).
Hal tersebut menunjukkan suatu siklus proses
Selasa, 24 Mei 2011
APLIKASI METODE DISCOVERY LEARNING DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMECAHKAN MASALAH, MOTIVASI BELAJAR DAN DAYA INGAT SISWA
20.00
darussholah
2 comments
2 komentar:
Sangat bermanfaat, terimakasih. Alangkah lebih baik dngn mencantumkan daftar referensi bukunya. :)
bisa dikasih tau, referensinya dari mana?
terimakasih :)
Posting Komentar