Penulis : Rahmat Romadlona
Baru-baru ini di Mesir, ramai diberitakan di media massa, mengenai maraknya niqab ( pakaian hitam yang menutupi seluruh anggota tubuh perempuan kecuali kedua tangan dan mata ) di sejumlah rumah sakit di Zaqaziq, yang berada di kawasan timur Mesir. Dan di beberapa rumah sakit lain yang berada di bawah lingkup Departemen Kesehatan Mesir.
Hal ini sebenarnya menyimpang dari ketetapan Depkes Mesir dan beberapa instansi terkait serta rumah sakit tertentu yang telah menetapkan seragam khusus, dimana para dokter, perawat dan petugas kesehatan lainnya diharuskan mengenakannya saat melakukan aktifitas di rumah sakit, yaitu pakaian putih yang lazimnya digunakan oleh orang yang berprofesi di bidang kesehatan.
Namun kenyataan yang terjadi, hampir seluruh dokter dan perawat perempuan menggunakan niqab bahkan kebanyakan dari pelajar perempuan yang tengah menjalani pendidikan kedokteran serempak melakukan hal yang sama. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa pemakaian niqab adalah salah satu kewajiban agama yang harus ditaati.
Lain halnya dengan penuturan salah satu perawat yang berniqab, sebab ia menggunakan niqab adalah perintah suami yang ingin menjaga kehormatan istri ketika berada di luar rumah. Sedangkan salah satu dokter bagian tulang yang juga berniqab, menyatakan bahwa sebenarnya tidak masalah dengan dokter atau perawat yang berniqab, karena selain menurutnya haram memperlihatkan wajah pada yang bukan muhrimnya, perawatan pada pasien itu cukup diberikan melalui kedua tangan.
Namun pernyataan yang berseberangan datang dari salah satu dokter bedah yang berpendapat bahwa niqab bisa menjadi cara bagi perawat untuk keluar masuk dalam tugasnya tanpa bisa diketahui. Selain itu ia menambahkan, niqab yang digunakan para dokter dan perawat itu, mulai dari saat keluar rumah, di jalan sampai menuju rumah sakit itu sangat banyak menyerap bakteri yang juga dapat membahayakan pasien. Pendapat serupa disampaikan oleh salah satu pasien mengenai hal ini, ia berpendapat bahwa perawatan kesehatan adalah pekerjaan kemanusiaan yang mulia dan utama, yang bersandar pada interaksi sosial antara perawat dan pasien, Pemberian senyuman dan keramahan pada pasien mumpunyai nilai tersendiri dalam membantu penyembuhan. Hal itu diperlukan pasien bahkan sebelum pemberian obat atau penggunaan alat-alat kesehatan lainnya.
Dr. Hateem Jabali Menteri Kesehatan Mesir telah mengetahui hal ini namun dia belum bisa mengambil keputusan, karena menurutnya masalah ini menyangkut aqidah pihak tertentu.
Bagaimana sebenarnya Islam mengatasi hal pelik tersebut? Langkah apakah yang harus segera diambil? Berikut penjelasan dan fatwa dari Majelis Fatwa Mesir.
Dr. 'Ali Jum'ah ( Ketua Majelis Fatwa Mesir ) menegaskan bahwa tidak ada masalah bagi perawat yang berniqab memperlihatkan wajah dalam menjalankan tugasnya, jika tidak ada peraturan resmi dari instansi tersebut yang mewajibkan untuk menggunakan niqab.
'Ali Jum'ah menuturkan bahwasanya, perempuan berniqab yang menjalankan profesi sebagai perawat diharuskan mengenakan pakaian tugas yang umumnya digunakan, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh suatu instansi, selama ketetapan itu tidak melanggar syariat agama dan hukum negara yang berlaku semisal pengenaan pakaian putih pengganti warna hitam yang masyhur digunakan sebagai pakaian niqab, atau pengenaan pakaian tugas kesehatan pengganti pakaian hitam yang umum digunakan dalam berniqab,selama dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan norma dan kode etik profesi, serta mematuhi ajaran dan akhlak Islam. Ditunjukkan dengan bolehnya perawatan pada pasien, termasuk pemberian obat dan suntikan juga senyuman dan sebagainya yang umum dilakukan pada pekerjaan mulia ini, yang bersandar atas bantuan pada si sakit dan kepedulian untuk menjaga dan merawatnya. Hal ini tidaklah bermasalah bagi perawat yang terikat kode etik profesinya jika dalam menjalankan aktifitasnya mengharap ridlo-Nya.
Namun, apabila hal ini bertentangan dengan profesi perempuan seperti perawat yang disebabkan mengenakan niqab, Mufti Mesir itu menyatakan bahwa permasalahan kembali pada si perawat, apakah ia harus mengenakan pakaian yang telah ditetapkan oleh pihak yang berwenang menetapkan peraturan tugas tersebut, selama tidak melanggar syariat, atau ia memilih meninggalkan profesi tersebut. Ditunjukkan bahwa hal seperti ini pastinya sudah termasuk dalam beberapa peraturan yang memperinci ketetapan dan kode etik suatu bidang profesi secara detail.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, penulis ingin menukil pernyataan mendiang Syeikh Mutawalli Sya'rowi tentang niqab, Beliau menyatakan bahwa ;
( النّقاب غير مفروض و مرفوض ) niqab itu tidak diwajibkan dan juga tidak dilarang.
Wallahu a'lam
Selasa, 24 Mei 2011
Niqab; Antara Iman dan Profesi
08.04
darussholah
No comments
0 komentar:
Posting Komentar