Selasa, 24 Mei 2011

Fiqih Klasik Vis A Vis Fiqih Kontemporer


Penulis : M. Yusron, M.S.I


Fiqih Klasik Vis A Vis Fiqih Kontemporer
( Tela’ah Epistimologis Terhadap paradigma Fiqih Klasik dan Tuntutan Ijtihad Komtemporer ) 


A. Pendahuluan
Dalam epistomologi keilmuan Islam klasik, Fiqih sebagi salah satu cabang keilmuan dalam Islam seakan topik bahasan yang tidak ada habisnya, topik-topik keilmuan fiqih pada zaman klasik dianggap sebagai “mahadewa” yang tiada tandingannya. Konsepsi tentang fiqih yang dianggap sebagai ”Undang-Undang Ketiga” dan yang berkuasa mengatur kehidupan umat Islam seakan menyamai popularitas dari “Teologi Kalam” yang pernah ada dan mensejarah dalam kazanah keilmuan Islam.
Fiqih klasik yang diplot menjadi produk ilmu hukum Islam yang mengatur pelaksanaan ibada-ibadah ritual, yang menguraikan tentang detail perilaku Muslim dan kaitannya dengan lima prinsip pokok (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), serta yang membahas tentang hukum-hukum kemasyarakat (muamalat), sampai saat ini dirasa oleh sebagian kalangan sebagai ilmu yang sempurna, dan seakan tidak akan pernah tergoyahkan dan bahkan tidak sedikit dari berbagai kalangan tersebut melestarikan tadisi fiqih yang menjadi produk keilmuan pada pada masa Daulah Abbasiyah sekitar abad ke 2- 5 H (abad 4-7 M) yang lalu .
Memasuki pemerintahan Islam yang baru yang berpusat di Andalusia (Spanyol) pada sekitar abad IX M, dan ketika umat Islam mulai mengembangan wacana filsafat keilmuan dan filasafat sosial yang baru, fiqih klasik seakan diterpa musibah yang sangat akut, hal ini tidak terlepas dari beberapa pemikiran tokoh Islam pada masa Andalus yang berfikir bahwa fiqih klasik ternyata tidak mampu menjawab persoalan-persoalan riil yang ada di masyarakat, seiring dengan temuan-temuan baru dan perkembangan tekhnologi pada waktu itu . Dari sinilah tadisi keilmuan yang menggunakan pola fikir rasionalis empirik mulai berkembang, dan secara tidak langsung telah merekonsturksi keilmuan fiqih klasik yang dianggap tidak competable lagi terhadap persoalan-persoalan ke-ummatan.
Sebuah pertanyaan besar yang ada di masa sekarang adalah, apakah fiqih klasik masih dapat dan bisa digunakan sebagai solusi untuk menjawab persoalan-persoalan ke-ummatan, sedangkan fiqih klasik adalah produk lama yang dimiliki ummat Islam, dan dengan melihat motif, illat (sebab), dan kondisi sosial yang jauh berbeda dengan masa sekarang, apakah pola fikir klasik juga tidak perlu direkontruksi? Jawaban dari pertanyaan itulah yang mendasari pemikiran imajiner tehadap kemunculan istilah fiqih kontemporer dengan berlandaskan dari sebuah Ijtihad kontemporer.
B. Pengertian dan Perkembangan Fiqh Klasik
Kata fiqh sebenarnya berasal dari kata bahasa Arab, yaitu bentuk masdar (verbal noun) dari akar kata bentuk madhi (past tense) faquha yang secara etimologis berarti mengerti, mengetahui, memahami dan menuntut ilmu. Kata fiqh juga dianggap sinonim dengan kata ilmu. Dalam Al-Qur’an terdapat dua puluh ayat yang memakai kata ini dengan pengertian makna literal yang berbeda-beda tersebut. Namun ada satu ayat yang memiliki konotasi bahwa fiqh adalah ilmu agama yakni pada ayat QS. 9:13. Tetapi pengertian ilmu agama pada ayat ini masih sangat luas, meliputi berbagai ilmu agama secara umum. Ia bisa berarti ilmu tasawwuf atau sufisme (tariqat) sebagaimana yang dikatakan ahli sufi Farqad (wafat 131 hijriah) pada Hasan Al-Bashri (w. 110 h.). Fiqh dapat juga berarti ilmu kalam (tauhid atau teologi), dan sebagainya .
Dari sini bisa dipahami bahwa pada awal perkembangan Islam, kata fiqh belum bermakna spesifik sebagai “ilmu hukum Islam yang mengatur pelaksanaan ibada-ibadah ritual, yang menguraikan tentang detail perilaku Muslim dan kaitannya dengan lima prinsip pokok (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), serta yang membahas tentang hukum-hukum kemasyarakat (muamalat). Hal ini bisa dimaklumi mengingat pada waktu itu para Sahabat Nabi tidak atau belum membutuhkan suatu piranti ilmu tertentu untuk mengatur kehidupan mereka. Mereka tinggal melihat dan mencontoh perilaku sehari-hari kehidupan Nabi, sebab pada beliaulah terletak wujud paling ideal Islam. Para Sahabat Nabi dapat menikmati secara live implementasi paling pas dan utuh peri kehidupan Islami; dari cara berwudlu, shalat, puasa, haji, berinteraksi dengan tetangga, dengan sesama Muslim, sampai pada hal-hal yang bersifat bisnis dan politis .
Pada masa generasi sesudah Sahabat atau lebih populer dengan istilah Tabi’in, timbullah tiga divisi besar secara geografis di dunia Islam, yaitu Irak, Hijaz dan Syria. Di mana masing-masing mempunyai aktivitas legal yang independen. Di Irak kemudian terdapat dua golongan fiqh yaitu di Basrah dan Kufah. Di Syria aktivitas hukumnya tidak begitu dikenal kecuali lewat karya-karya Abu Yusuf. Sedangkan di Hijaz terdapat dua pusat aktivitas hukum yang sangat menonjol yaitu di Makkah dan Madinah. Di antara keduanya, Madinah lebih terkenal dan menjadi pelopor dalam perkembangan hukum Islam di Hijaz. Malik bin Anas atau Imam Malik (w.179 h./795 m.) pendiri madzhab Maliki adalah eksponen terakhir dari ahli hukum golongan Madinah. Sedangkan dari kalangan ahli fiqh Kufah terdapat nama Abu Hanifah.
Beberapa tahun kemudian muncullah nama Muhammad bin Idris Ash-Shafi’i (w.204 h/ 820 m.) atau Imam Syafi’i pendiri madzhab Syafi’iah yang merupakan salah satu murid Imam Malik. Kemudian muncullah nama Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal (w.241 h./ 855 m.), atau Imam Hambali, pendiri madzhab Hanabalah. Beliau adalah murid Imam Syafi’i. Pada saat munculnya empat pendiri madzhab fiqh dan kumpulan hasil-hasil karya mereka inilah, diperkirakan istilah fiqh dipakai secara spesifik sebagai satu disiplin ilmu hukum Islam sistematis, yang dipelajari secara khusus sebagaimana dibutuhkannya spesialisasi untuk mendalami disiplin-disiplin ilmu yang lain.
Secara garis besar, keempat madzhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) secara substantif tidaklah berbeda, yang berbeda satu sama lain hanya menyangkut hal-hal detail Berdasarkan keempat sumber hukum inilah para pakar hukum Islam atau pakar ahli fikih menetapkan keputusan-keputusan hukum yang senantiasa berkembang selaras dengan perkembangan zaman. Dari sini, muncullah ratusan bahkan ribuan kitab-buku tentang hukum Islam atau fikih sebagai antisipasi serta respon ahli fikih terhadap persoalan-persoalan hukum pada masing-masing zamannya .
C. Fikih Klasik dalam Sorotan ; Wacana Ijtihad dan Fiqih Kontemporer
Zaman terus berubah dan berkembang. Dan kini, eksistensi kitab kuning dalam sorotan. Di satu sisi, ia tetap menjadi “materi wajib” bagi umat Islam Klasik dalam menjawab berbagai macam problematika kehidupan umat Islam. Mereka (sepertinya) meyakini bahwa semua permasalahan umat masih bisa dijawab oleh khazanah-khazanah klasik itu. Di sisi lain, semenjak abad ke IX M, sekelompok pemikir Islam yang telah jenuh dengan stagnasi yang dialami oleh filsafat ilmu “Islam” yang masih menggunakan pola fikir dogmatik, mistik dan sufistik, terutama dengan produk ilmu fiqih yang diaggap tidak rasionalis dan terkesan membelenggu ummat Islam sendiri terutama dari hasil produknya dalam mengembangkan hukum Islam yang kaku dan memaksa , berusaha beralih fikir dan mengembangkan tradisi ke-ilmuan baru yang menggunkan paradigma rasional dan empirik.
Dalam masa sekarang ini, kelompok Islam modernis (kontemporer) yang dimotori oleh para pembaharu Islam seperti Yusuf Al-Qordhawi dan yang lain, memandang bahwa kajian fiqih seharusnya tidak saklek dan menjustifikasi sebuah hukum pada masa lampau sebagai sebuah kebenaran mutlaq, dan harusnya fiqih menjadi bahasan aktulal yang mendorong terhadap adanya kemungkinan untuk melakukan sebuah Ijtihad baru yang benar dan dipertanggungjawabkan . Pendapat ini didasarkan atas pemikiran bahwa dalam sejarah fiqih Islam, fungsi Ijtihad ini pernah mengalami kemandekan, karena munculnya institusi ijtihad yang telah dibatasi oleh kelembagaan para mujtahid mutlaq, seperti istitusi empat Imam Mazhab yang sangat populer diatas .
Senada dengan pertimbangan di atas, banyak dari beberapa tokoh kontemporer yang menyatakan bahwa akibat dari timbulnya empat mazhab di atas, ummat Islam banyak mengalami kemunduran dan era taqlid yang begitu panjang, dan terlepas dari kualitas dasar-dasar fiqih (Ushul Fiqh dan Qowaidul Fiqh) yang telah ditatarkan oleh para imam tersebut , disisi lain mereka menganggap bahwa persoalan keilmuan fiqih tidak hanya berhenti di situ saja, persoalan sosial yang masuk dalam kajian ilmu fiqih selalu berkembang seuai dengan kontek dan perkembangan zaman.
Kemunculan kasus-kasus aktual yang mengiringi zaman modern dan arus globalisasi seperti sekarang yang terjadi dalam konteks ke-ummatan seperti kasus aborsi, penjual belian organ tubuh mayat, apalagi persoalan yang menyangkut masalah sosial yang berbeda dan berada di komunitas Islam (non muslim) , seakan memperjelas bahwasnaya fiqih masa klasik klasik harus dicermati ulang dan direkonstruksi kembali, karena sudah jelas bahwa produk fiqih dibuat permasalahan-permasalahan tersebut belum ada, dan secara dialektika maka fiqih klasik tidak akan mampu menjawab persoalan-persoalan tersebut.
Kasus lain yang menjadi agenda dari format fiqih dan Ijtihad kontemporer adalah kasus ibadah hajji. Seperti kita tahu semua, ibadah hajji adalah ibadah yang bukan hanya melibatkan sang kholiq (Allah SWT) dengan makhluq-Nya, karena dalam prosesi ibadah hajji terdapat interaksi sosial antar ummat. Banyaknya kasus menyedihkan sekaligus mencengangkan seperti meninggalnya jama’ah hajji pada saat pelemparan jumroh aqobah karena terinjak-injak oleh sesama jama’ah hajji yang lain dan berbagai kasus yang lain dan mengakibatkan meninggalnya jama’ah hajji. Pertimbangan dari masalah ini adalah, masuk kategori apakah hukum meninggalnya jama’ah hajji yang terinjak-injak oleh sesama jama’ah yang lain dalam urusan ibadah?. Dari beberapa kasus di atas seakan menjali cambuk betapa besar agenda tentang rekonsrtuksi terhdap kaifiyah ibadah yang menjadi cakupan fiqih harus segera dilaksanakan.
Faktor penting yang menyebabkan kekakuan pemahaman tersebut ialah kecenderungan untuk mengagungkan sesuatu masa tertentu sebagai masa yang di anggap paling Islami. Dalam perkembangan pemikiriran dan khazanah ke-ilmuan Islam ini adalah tren yang disebut sebagai “al-shalaf al-shalih” sebagai the golden ages Islam, sehingga diposisikan sebagai standart kebenaran bagi setiap pemikiran dan aksi umat Islam generasi berikutnya. Sehingga apapun pemikiran atau praktek keberagamaan yang berkembang saat itu dianggap sebagai yang paling benar, karena paling dekat dengan periode Nabi Muhammad. Akibatnya, akibat perkembangan yang muncul seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dianggap sebagai “ancaman” terhadap Islam .
Dari pemikiran glorifikasi tersebut di atas, maka format Islam kontemporer memandang bahwa betapa pentingnya membaca ulang fiqih klasik dalam menjawab masalah kekinian, fiqih klasik harus diteliti secara kritis, dan bukan hanya membongkar pasang fiqih tersebut, melainkan dengan cara memperbarui fiqih dan ushul fiqih yang telah ada. Kecenderungan menyoal dan memperbarui produk fiqih dan wacana ushul fiqih seperti gagasan para tokoh kontemporer dirasa amat penting, tatkala muncul kecenderungan pemahaman klasik yang bersifat formalistik, radikalistik dan fundamenyalistik seperti produk fiqih klasik. Alasan format fiqih kontemporer harus segera digulirkan adalah bahwa sampai sekarang ternyat masih banyak sebagian tokoh ulama’ klasik (salaf) yang ingin menjadikan fiqih bukan sebagai cara atau alat untuk memahami doktrin keagamaan, melainkan sebagai dogma yang kaku, rigid yang ber-ujung pada formalisasi Syariat dengan kecenderung pola berfikir yang halal dan haram serta hitam dan putih .
D. Melacak Format Ijtihad dan Fiqih Kontemporer
Disadari ataupun tidak, fiqih sebagai produk hukum seharusnya bisa berkomukasi dengan masyarakat sosial, dan qoidah hukum ushul yang menyebutkan bahwa “suatu hukum itu harus bisa bersifat fleksibel tergantung dari masa dan tempatnya” harus benar-benar dipahami, agar pikiran klasik masyarakat Islam demi sedikit akan terkikis, dengan tidak lupa memberikan penyadaran yang berkesinambungan terhadap perkembangan yang ada pada masa kekiniian.
Dalam memahami produk hukum fiqih, kita harus memperhatikan konteks lalu dengan masa kini dan masa yang akan datang yang pasti akan berbeda. Masyarakat modern mempunyai logika dan sikap yang jauh berbeda dengan apa yang dihadapi masyarakat pada masa klasik (abad 2-5 H / 2-7 M) dimana pertama kali ilmu fiqih itu lahir. Mungkin juga letak geografis yang berbeda dimana Islam diturunkan dengan letak geografis para penganut Islam (kaum muslimin) pada masa sekarang akan sangat berpengaruh terhadap tafsir baru terhadap doktrin dan dogma keagamaan Ilam yang terwakili oleh produk fiqih.
Perbedaan konteks dan sejarah inilah yang menyebabkan perlunya pembacaan yang bersifat distingtif antara syari’ah dan maksud atau kandungan syari’aih itu sendiri. Produk fiqih yang tampak kepermukaan dengan disertai sifat-sifatnya yang keras, kaku, rigid, dan toesentris sehingga dianggap sebagai otoritas pengetahuan, harus lebih dipahami sebagai upaya untuk memfungsionalisasikan doktrin keagamaan untuk menyelesaikan ketegangan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa sekarang . Fiqih dan ijtihad kontemporer yang direkomendasikan dalam masalah ini seakan melihat bahwa kenyataan mandulnya fiqih klasik ditandai dengan sistematisasi fiqih yang dimulai mengenai bahasan ibadah, dan karakteristik fiqih klasik yang seperti ini akan memandulkan cara pandang fiqih klasik terhadap masala-masalah teknologi, informasi, sosial, politik dan ekonomi.
Gagasan fiqih komtemporer berusaha mengajukan alternatif agar fiqih klasik direformasi dan direkonstruksi menjadi fiqih realitas (fiqhul al-waqi) dan fiqih prioritas (fiqhul al-awlawiyat) . Kedua format ini muncul dari tuntutan terhadap kebutuhan ijtihad baru yang harus dilakukan, seiring dengan kompleknya permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat kekinian. Lebih lanjut gagasan fiqih kontemporer yang dilahirkan melalui proses ijtihad kontemporer ini sebisa mungkin dijadikan sinaran baru bagi problem ke-ummat-an yang sedang aktual.
Dalam pandangan fiqih baru ini, syariah diharapkan tidak lagi bercorak vertikalistik, yang hanya mengupas hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan proses ijtihad ini di arahkan pada masalah-masalah kemanusiaan. Fiqih kontemporer harus didesak kearah problema-probelama aktual seperti, gender, kewarganegaraan, aborsi, jual beli organ tubuh, serta masalah aktual yang lain . Dengan mendinamiskan format fiqih yang seperti ini, diharapkan menjadi langkah awal untuk merekonstruksi syariah dari wajahnya yang statis, eksklusif dan diskriminatif menjadi wajah syariah yang dinamis, eksklusif, egaliter, rarional, empirik dengan tetap bermuara pada ranah transedental .
Langkah kolosal yang ditempuh fiqih komtemporer lewat sebuah ijtihad baru adalah mencoba melihat syariah Islam sebagai sumber nilai dan etika sosial, bukan hanya sekedar sumber hukum. Kendatipun tidak bisa dipungkiri, bahwa syariah Islam juga mengatur hal-hal yang bersifat taken for granded, tetapi dengan hanya meletakkan syariah Islam dalam kerangka sumber hukum dapat menyebabkan hilangnya kelenturan syariah iru sendiri. Akibatnya, syariah Islam rental pada monopoli tafsir untuk kepentingan kekuasaan, seperti yang terjadi pada sejarah peradaban fiqih klasik .
Fiqih kontemporer yang dihasilkan melalui ijtihad yang kontemporer melihat bahwa ilmu dan produk hukum fiqih sebagi sumber etika sosial dan kemaslahatan. Fiqih kontemporer membagi membagi kemaslahatan dalam memandang fiqih menjadi tiga bagian; Pertama, kemaslahatan yang bersifat primer; yaitu kemaslahatan yang harus menjadi acuan utama bagi implentasi syariah Islam. Sebab jika tidak, maka akan terjadi ketimpangan dan ketikdakadilan yang menyebabkan ambruknya tatanan sosial. Kedua, kemaslahatan sekunder. Yaitu kemaslahatan yang tidak mengakibatkan ambruknya tatanan sosial dan hukum, melainkan sebagai upaya untuk meringankan bagi pelaksanaan sebuah hukum. Ketiga, kemaslahatan suplementer. Yaitu kemaslahatan yang memberikan perhatian pada masalah etika dan estetika .
Dari berbagai keterangan di atas, menunjukkan betapa pentingnya dalam merekonstruksi fiqih klasik menjadi sebuah ke-ilmuan fiqih yang lebih terbuka dan progresif, demi tercapainya pemahan teologi yang bersifat empiris, pluralis, dan egaliter. Karna dengan pemikiran yang seperti inilah diharapkan fiqih klasik yang terkesan out of date dapat disegarkan kembali dengan pola-pola pemikiran yang lebih eksklusif, sehingga sedapat mungkin mampu menjawab problem-problem ke-ummatan Islam, sehingga dalam setiap langkah pengerjaan terhadap syariah Islam yang dilakukan mereka (kaum muslimin) dapat dilakukan dengan niatan yang pasti dan jelas serta agar mereka merasa tidak terbelenggu dengan aturan-aturan yang ada di dalam keilmuan fiqih tersebut.
E. Penutup
Dengan kehadiran dari konsep dan format tentang fiqih kontemporer yang dihasilkan lewat sebuah proses yang kontemporer, seakan membawa angin segar dalam khazanah keilmuan Islam dalam mengartikan dan mengamalkan syariah Islam dengan penuh nitatan ikhlas dan selalu di bangun atas dasar mencari ridho Allah SWT.
Fiqih kontemporer juga seakan memberikan solusi yang amat sangat signifikan untuk menjawab masalah-masalah ke-ummmat-an yang terjadi pada masa kekinian. Diharapkan dalam format fiqih kontemporer kita sebagai manusia yang aktif dengan berbagai perkembangan yang mengikuti lebih dapat dihargai eksistensinya, dengan segala kekekurangan yang ada. Pada akhirnnya kita sebagai manusia yang hanya diberi sedikit rasio dari semua kebenaran haqiqi yang di punyai oleh Allah, berusaha semaksimal mungkin menjalankan apa yang telah di perintahkan sesuai dengan kemapuan keterbatasan kita, semoga tulisan ini memberikan manfaat, dan atas segala khilaf penulis serahkan hanya kepada Alllah, dzat yang maha transendent. Amien.......

* Penulis adalah alumni PP. Darus sholah 2000, dan menyelesaikan Program S2 di Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
 



Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates