Selasa, 24 Mei 2011

TRADISI MULUDAN ENDOG - ENDOGAN


TRADISI MULUDAN ENDOG - ENDOGAN
( Refleksi Ajaran Islam dan Budaya Lokal pada Masyarakat Banyuwangi )
By. HM. Syamsudini, M.Ag

I. Latar Belakang
Manusia hidup di berbagai belahan dunia membentuk bangsa-bangsa dengan berbagai bentuk postur, karakter, adat, budaya, dan pandangan hidupnya yang beranekaragam sesuai dengan karakteristik lingkungan alam dan geografis tempat hidup mereka. Proses adaptasi manusia dengan alam akan melahirkan budaya lokal dalam masyarakat.
Tradisi dan budaya lokal semacam ini dapat ditemui ketika masa awal tersebarnya Islam di pulau Jawa. Kontak kebudayaan antara para pendatang yang sering singgah di wilayah pesisir pada masa-masa awal Islam di Jawa menyebabkan adanya proses tarik menarik antara budaya lokal dengan budaya luar yang tak jarang menghasilkan dinamika budaya masyarakat setempat.
Salah satu daerah yang mencerminkan hubungan antara tradisi Islam dan lokal (apakah bercorak sinkretik dan atau bercorak akulturatif?) adalah Kabupaten Banyuwangi yang mempunyai tradisi Muludan Endog-Endogan yang diselenggarakan untuk menandai kelahiran Nabi Muhammad saw. Upacara ini adalah upacara komunal dan sebagian besar warga mengikutinya. Pada zaman dulu upacara ini diselenggarakan di rumah - rumah warga masyarakat sekarang dialihkan di langgar atau masjid bahkan pada sebagian warga desa mengadakan di lapangan terbuka. Upacara ini dipimpin oleh Kiai atau tokoh agama.
Tradisi Muludan Endog-Endogan pada masyarakat Banyuwangi memiliki keunikan sendiri. Keunikan tersebut tampak nyata dari berbagai pelaksanaan upacara ritual yang diselenggarakan oleh mereka semenjak dahulu maupun yang sekarang. Di dalam upacara tradisi Muludan yang diselenggarakan, akan tampak adanya sesuatu yang dianggap sakral, suci atau sacred, yang berbeda dengan yang alami, empiris, atau yang profan.
Tradisi Muludan di Pulau Jawa ( khususnya Banyuwangi ) bukan merupakan ibadah yang disyariatkan secara formal, melainkan sebatas tradisi yang berkembang di lingkungan umat Islam yang telah berusia ribuan tahun. Walaupun bukan salah satu ibadah yang masuk dalam ajaran Islam sebagaimana idzul fitri, namun pelaksanaan tradisi maulid tidak kalah meriahnya dibandingkan dengan idzul fitri. Di Yogyakarta, Cirebon, Solo dan beberapa daerah lain, pelaksanaan maulid Nabi diselenggarakan sangat meriah yang dibingkai dalam tradisi Sekaten. Pelaksanaannya pun tidak sekadar satu sampai dua hari, satu minggu sampai dua minggu, melainkan satu bulan lebih. Acara yang dipagelarkannya pun sangat beragam, mulai dari kegiatan yang coraknya sangat religius seperti khataman al-qur’an, istighatsah, pengajian akbar, barjanji, tumpengan, sampai kegiatan yang coraknya sangat sekuler sebut saja di antaranya bazaar makanan dan pakaian, pagelaran wayang kulit, ketoprak, pentas musik dangdut yang cenderung seronok, pertunjukan sirkus, dan semacamnya.
Pelaksanaan tradisi Muludan Endog-endogan di Banyuwangi tentu merupakan fenomena sosial keagamaan dan budaya yang cukup menarik dan unik. Di satu sisi dianggap mendatangkan manfaat ritual bagi sebagian pihak, namun di sisi lain malah menganggap tradisi itu merupakan tradisi yang tidak Islami karena mengandung unsur syirik. Inilah yang melatarbelakangi penelitian ini menarik untuk dilakukan secara komprehensif.

Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Secara lebih jelas, rumusan masalah dan tujuan penelitian ini berkaitan dengan :
1. Proses terjadinya tradisi Muludan Endog-endogan di Banyuwangi ?
2. Faktor-faktor yang melatarbelakangi tradisi Muludan Endog-endogan tetap dilestarikan masyarakat Banyuwangi?
3. Kegiatan-kegiatan yang ada dalam tradisi Muludan Endog-endogan ?

II. KERANGKA TEORITIK

A. Islam Menyapa Budaya Lokal

Saling sapa Islam dengan budaya lokal pertama dilakukan oleh para pedagang muslim yang datang ke Nusantara. Pedagang menyapa untuk mempromosikan dagangannya sekaligus menawarkan keyakinan keislamannya. Kekuatan ekonomi sebagai simbol kesejahteraan dan keimanan atau kepercayaan sebagai dasar kedamaian didialektikan secara bersamaan oleh para juru dakwah kepada masyarakat. Kesejahteraan dan kedamaian tersebut dimantapkan secara sosio-religius dengan ikatan perkawinan yang membuat tradisi Islam Timur Tengah menyatu dengan tradisi Nusantara atau Jawa. Akulturasi budaya ini tidak mungkin terelakkan setelah terbentuknya keluarga muslim yang merupakan nucleus komunitas muslim dan selanjutnya memainkan peranan yang sangat besar dalam penyebaran Islam. Akulturasi budaya ini semakin menemukan momentumnya saat para pedagang ini menyunting keluarga elit pemerintahan atau keluarga kerajaan yang berimplikasi pada pewarisan “kekuatan politik” di kemudian hari.
Tiga daerah asal para pedagang tersebut dari Arab (Mekah-Mesir), Gujarat (India), dan Persia (Iran) tersebut menambah varian akulturasi budaya Islam Nusantara semakin plural. Hal ini bisa dirujuk adanya gelar sultan al-Malik bagi raja kesultanan Samudra Pasai. Gelar ini mirip dengan gelar sultan-sultan Mesir yang memegang madzhab syafi’iah, gaya batu nisan menunjukkan pengaruh budaya India, sedangkan tradisi syuroan menunjukkan pengaruh budaya Iran atau Persia yang syi’ah. Budaya Islam Nusantara memiliki warna pelangi dengan rasa “rame-rame”.
Asimilasi budaya dan akomodasi pada akhirnya menghasilkan berbagai varian keislaman yang disebut dengan Islam lokal yang berbeda dengan Islam dalam great tradition. Fenomena demikian bagi sebagian pengamat memandangnya sebagai penyimpangan terhadap kemurnian Islam dan dianggapnya sebagai Islam sinkretis. Meskipun demikian, banyak peneliti yang memberikan apresiasi positif dengan menganggap bahwa setiap bentuk artikulasi Islam di suatu wilayah akan berbeda dengan artikulasi Islam di wilayah lain. Untuk itu gejala ini merupakan bentuk kreasi umat dalam me-mahami dan menerjemahkan Islam sesuai dengan budaya mereka sendiri sekaligus akan memberikan kontribusi untuk memperkaya mozaik budaya Islam. Proses penerjemahan ajaran Islam dalam budaya lokal memiliki ragam varian seperti ritual suluk bagi masyarakat Minangkabau6 yang mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah, sekaten di Jogjakarta, lebaran di Indonesia, dan lain sebagainya.
Persinggungan Islam di Jawa dengan budaya kejawen dan lingkungan budaya istana (Majapahit) mengolah unsur-unsur hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup meskipun lambat laun penyebaran dan tradisi keislaman semakin jelas hasilnya. Budaya Islam masih sulit diterima dan menembus lingkungan budaya Jawa istana yang telah canggih dan halus itu. Penolakan raja Majapahit tidak terhadap agama baru, membuat Islam tidak mudah masuk lingkungan istana. Untuk itu para dai agama Islam lebih menekankan kegiatan dakwahnya dalam lingkungan masyarakat pedesaan, terutama daerah pesisiran dan diterima secara penuh oleh masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual mereka.

B. Perubahan Budaya: Dari Tradisi Lokal ke Tradisi Islam Lokal.
Istilah tradisi mengandung pengertian tentang adanya kaitan masa lalu dengan masa sekarang. Ia menunjuk kepada sesuatu yang masih ada hingga sekarang. Oleh karena itu, Shiels sebagaimana dikutip Pranowo secara ringkas menyatakan bahwa tradisi adalah sesuatu yang diwariskan atau ditransmisikan dari masa lalu ke masa kini. Jadi ketika berbicara tentang tradisi Islam berarti berbicara tentang serangkaian ajaran atau doktrin yang terus berlangsung dari masa lalu sampai masa sekarang, yang masih ada dan tetap berfungsi di dalam kehidupan masyarakat luas.
Tradisi juga bukan sesuatu yang stagnan, karena ia diwariskan dari satu orang atau generasi ke pada orang lain atau generasi lain. Akibatnya akan terdapat perubahan-perubahan baik dalam skala besar maupun kecil. Dengan kata lain, bahwa tradisi tidak hanya diwariskan tetapi juga dikonstruksikan atau invented dalam invented tradition, tradisi tidak hanya sekedar diwariskan tetapi juga dikontruksikan atau serangkain tindakan yang ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai atau norma-norma melalui pengulangan (repitition), yang secara otomatis mengacu kepada kesinambungan dengan masa lalu.
Jadi, di dalam tradisi ada dua hal yang sangat penting, yaitu pewarisan dan konstruksi. Pewarisan menunjuk kepada proses penyebaran tradisi dari masa ke masa, sedangkan konstruksi menunjuk kepada proses pembentukan atau penanaman tradisi kepada orang lain.

C. Sejarah Tradisi Maulid
Awal mula tradisi Maulid diperkirakan bersamaan dengan datangnya Wali Songo. Ini bila didasarkan kepada analisis bacaan-bacaan Maulid adalah karya besar Ad-Dibaie yang merupakan hasil pemikiran Shalahuddin al-Ayubi, artinya ada benang merah bahwa Wali Songo yang membawa budaya Maulid yang memang mengidolakan Sholahuddin Al-Ayyubi dan Abdurrahman Ad-Diba’i, sehingga tradisinya menjadi menyeluruh di mana-mana.
Ada juga yang berpendapat bahwa tradisi Maulid disebarluaskan oleh para ulama-ulama Indonesia melalui modifikasi prilaku masyarakat pada waktu itu seperti minum-minuman keras yang diganti dengan kegiatan-kegiatan yang lebih positif seperti tahlil, sholawat dan lain-lain sebagai upaya untuk mendekatkan diri pada Nabi Muhammad saw.
Dalam studi pendahaluan salah seorang informan, KH. Ma’shum Syafi’i mengatakan bahwa bacaan Maulid yang dibuat pada masa Shalahuddin al-Ayyubi dan Malik Mughaffar sebagai keberhasilan para pendahulu kita untuk membumikan Islam di Indonesia dengan proses pendekatan budaya dan penonjolan sang idola yaitu Nabi Muhammad SAW. sebab sangat mungkin dapat memotivasi masyarakat untuk mengamalkan ajaran Islam sebagaimana yang dicontohkan beliau, dengan batasan kita tidak mengkultuskan Nabi Muhammad . Pengkultusan kepada tokoh dilarang oleh Islam sebagaimana yang pernah dilakukan oleh kaum Nasrani.
Konteks melakukan tradisi Maulid yaitu menjadikan nabi sebagai seorang idola yang pantas diteladani melalui syair-syair Ad-diba’ie yang berisi puji-pujian kepada nabi dan sebagainya, dan secara umum puji-pujian itu tidak bertentangan dengan puji-pujian kepada nabi yang diberikan oleh Allah seperti ayat Al-Qur’an ”Laqad kana lakum fi rasulillahi uswatun hasanah”. Syair-syair Ad-diba’i begitu membumi di Indonesisa sebagai salah satu strategi untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meneladani kehidupan Nabi Muahammad SAW.
Secara umum, tidak ada perbedaan signifikan tradisi Muludan di Banyuwangi dengan daerah lain. Meski demikian, ada beberapa persamaan dan perbedaan, antara lain: persamaannya secara umum dalam pelaksanaan Muludan masyarakat menggunakan susunan acara yang dibacakan oleh orang yang diberi amanah shohibul hajat, sambutan atas nama shohibul hajat, membaca sholawat Diba’ atau Al-Barzanji dan dilanjutkan dengan ceramah agama, yang lazimnya disampaikan oleh kyai, guru atau tokoh masyarakat, baik dalam maupun luar kota. Sedangkan perbedaannya di Banyuwangi maulid nabi ditandai dengan adanya tradisi perayaan endog – endogan, sementara di daerah lain tidak ditemukan.

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi. Pendekatan etnografi secara sederhana didefinisikan oleh spradley sebagai usaha mendeskripsikan kebudayaan suatu komunitas atau kelompok masyarakat. Tujuannya adalah untuk memahami kebudayaan tersebut menurut perspektif mereka.
B. Data dan Sumber data
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif maka sumber data utamanya adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah tambahan seperti dokumen dan lainnya.
Sementara itu, data yang diperlukan dalam penelitian meliputi antara lain: (1) persepsi komunitas masyarakat tradisi maulid, penamaan mereka atas muludan Endog-endogan dan hal-hal lainnya; (2) bentuk ritus-ritus kegamaan dan keterkaitannya dengan peristiwa hidup semisal kehamilan, kelahiran, menjadi dewasa, kawin, beranak, mati dan kegiatan keagamaan serta peristiwa lain dalam kehidupan seperti menanam, memanen, menebang, dan bencana alam.
Data-data tersebut diperoleh dari informan penelitian. Penentuan tentang informan penelitian dilakukan dengan teknik purposive sampling, yang dipilih berdasarkan key informan dan terus mengalir (snow balling) hingga membentuk informasi yang utuh sesuai dengan fokus penelitian.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi berperan serta (participan observation), wawancara mendalam (in depth interiview) dan dokumentasi (document review). Teknik tersebut digunakan peneliti, karena fenomena akan dapat dimengerti maknanya secara baik, apabila peneliti melakukan interaksi dengan subyek penelitian dimana fenomena tersebut berlangsung.
Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam, artinya peneliti mengajukan beberapa pertanyaan secara mendalam untuk menggali informasi selengkap mungkin tentang konsep yang Mutlak. Sehingga dengan wawancara mendalam ini data-data bisa terkumpulkan semaksimal mungkin. Orang-orang yang dijadikan informan dalam penelitian ini adalah kepala desa, tokoh lokal, dan komunitas sodong yang diambil secara purposive.
Ada beberapa alasan mengapa teknik observasi atau pengamatan digunakan dalam penelitian ini. Pertama, pengamatan didasarkan atas pengalaman secara langsung pelaksanaan ritus-ritus keagamaan yang biasa terjadi dalam komunitas Sodong. Kedua, pengamatan memungkinkan peneliti untuk melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya. Dengan teknik ini, peneliti mengamati aktifitas-aktifitas sehari-hari obyek penelitian, karakteristik fisik situasi sosial dan perasaan pada waktu menjadi bagian dari situasi tersebut. Selama peneliti di lapangan, jenis observasinya tidak tetap. Dalam hal ini peneliti mulai dari observasi deskriptif (descriptive observations) secara luas, yaitu berusaha melukiskan secara umum situasi sosial dan apa yang terjadi disana. Kemudian, setelah perekaman dan analisis data pertama, peneliti menyempitkan pengumpulan datanya dan mulai melakukan observasi terfokus (focused observations). Dan akhirnya, setelah dilakukan lebih banyak lagi analisis dan observasi yang berulang-ulang di lapangan, peneliti dapat menyempitkan lagi penelitiannya dengan melakukan observasi selektif (selective observations). Sekalipun demikian, peneliti masih terus melakukan observasi deskriptif sampai akhir pengumpulan data.
Teknik dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan data dari sumber non insani, sumber ini terdiri dari dokumen dan rekaman. “Rekaman” sebagai setiap tulisan atau pernyataan yang dipersiapkan oleh atau untuk individual atau organisasi dengan tujuan membuktikan adanya suatu peristiwa terutama yang berkaitan dengan tradisi muludan Endog-endogan. Sedangkan “dokumen” digunakan untuk mengacu atau bukan selain rekaman, yaitu tidak dipersiapkan secara khusus untuk tujuan tertentu, seperti surat-surat, buku harian, catatan khusus, foto-foto, dan sebagainya. Teknik dokumentasi ini sengaja digunakan dalam penelitian ini sebab; pertama, sumber ini selalu tersedia dan murah terutama ditinjau dari konsumsi waktu; kedua, rekaman dan dokumen merupakan sumber informasi yang stabil, baik keakuratannya dalam merefleksikan situasi yang terjadi dimasa lampau, maupun dapat dan dianalisis kembali tanpa mengalami perubahan; ketiga, rekaman dan dokumen merupakan sumber informasi yang kaya, secara konstektual relevan dan mendasar dalam konteknya; keempat, sumber ini sering merupakan pernyataan yang legal yang dapat memenuhi akuntabilitas. Hasil pengumpulan data melalui cara dokumentasi ini, dicatat dalam format rekaman dokumentasi.
D. Analisis Data
Menurut Spradley teknik analisis data disesuaikan dengan tahapan dalam penelitian. Pada tahap penjelajahan dengan teknik pengumpulan data grand tour question, analisis data dilakukan dengan analisis domain. Pada tahap menentukan fokus analisis data dilakukan dengan analisis taksonomi. Pada tahap selection, analisis data dilakukan dengan analisis komponensial. Selanjutnya untuk sampai menghasilkan judul dilakukan dengan analisis tema.
Uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian ini dilakukan dengan keikutsertaan peneliti, ketekunan pengamatan, triangulasi dan kecukupan referensial.

IV. LAPORAN HASIL PENELITIAN

A. Proses Terjadinya Tradisi Muludan Endog-Endogan di Banyuwangi.
Sebelum menjelaskan tentang proses terjadinya tradisi muludan endog-endogan, perlu dijelaskan tentang potret sosio-budaya politik masyarakat Banyuwangi yang sering dianggap sebagai wilayah yang rawan konflik. Hal ini dikarenakan ada sebuah peristiwa yang menjadikan pembenar ( justifikasi ) tersebut yaitu: Aksi pembantaian dengan isu Ninja pada tahun 1998. Peristiwa tersebut secara langsung mencitrakan wilayah ini beserta komunitas pendukungya sebagai wilayah yang mudah berkonflik. Tentu saja asumsi tersebut tidak selamanya benar, karena pada dasarnya peristiwa ninja tidak hanya menjadi karakteristik masyarakat di wilayah ini dan ada latar belakang serta setting politik yang menyebabkan peristiwa itu terjadi. Di samping itu peran media yang selama ini mem-blow up peristiwa ninja di wilayah ini juga menjadi penguat stereotip tersebut. Padahal dalam hal kebudayaan, masyarakat di wilayah Banyuwangi mempunyai keunikan dan karakteristik tersendiri. Keunikan dan karakteristik masyarakat Banyuwangi dalam konteks wacana kebudayaan merupakan tema baru dan belum banyak mendapat perhatian serius dari para pakar budaya. Kenyataan tersebut memang bisa dimaklumi, karena dalam konteks wilayah kebudayaan dan geografis, Banyuwangi memang berada pada ‘ruang lain kebudayaan’. Mengapa dikatakan demikian? Dari sisi posisi dan wilayah, Banyuwangi hanya merupakan satu wilayah kebudayaan (cultural area) di bagian timur Provinsi Jawa Timur dan jauh dari pusat informasi sehingga menjadikannya sebagai ‘liyan’ (the other) yang kurang diminati. Tetapi, benarkah ‘posisi pinggir’ dalam konteks diskursus budaya tersebut menjadikan Banyuwangi kurang menarik untuk dijadikan kajian akademis?
Potret sosio-kultural masyarakat yang mendiami wilayah Banyuwangi adalah kombinasi masyarakat saling berinteraksi dengan banyak etnis, suku, golongan, agama, aliran, kelompok dan seterusnya yang pada akhirnya melahirkan masyarakat multikultur. Perpaduan dan adaptasi budaya ini memang terjadi meskipun lebih banyak berlangsung di pusat dan pinggiran kota. Di Kecamatan Banyuwangi Kota, misalnya, interaksi antara warga Madura, Bali, Cina, Arab, Mandar, Melayu, Jawa dan Osing melahirkan sebuah kerukunan yang mempunyai keunikan dan karakteristik tersendiri.
Dalam konteks kesenian, juga terjadi proses perpaduan dan, lagi-lagi, lebih cenderung berorientasi pada kesenian berakar dari budaya campuran. Di Alian, Kecamatan Rogojampi, misalnya, ada kelompok“Hadrah Kuntul” yang dalam pertunjukannya menggunakan Bahasa Arab yang komunitas penontonnya berasal dari etnis Osing, Bali, Cina, Madura dan Jawa. Pada umumnya, budaya Banyuwangi merupakan hasil dari suatu proses sosial panjang dan dialog intensif di antara bermacam-macam kebudayaan sejalan dengan masyarakat pendukungnya.
Kemudian proses terjadinya tradisi muludan endog-endogan dijelaskan oleh Abd. Basit salah seorang budayawan Banyuwangi yang tinggal di Desa Gintangan Rogojampi, menurutnya : ritual endhog-endhogan sudah lama diselenggarakan dan telah menjadi tradisi; tak ada data tertulis yang resmi menjelaskan kapan tradisi ini dimulai. Jauh sebelum kemerdekaan, begitu tetua komunitas Osing mewartakan, ritual seperti itu telah meluas di selenggarakan. Biasanya warga menyiapkan aneka jenis makanan; kue basah, kue kering, menyembelih ayam, menthok sampai sapi-kerbau. Bahkan di beberapa tempat seperti Desa Aliyan, Desa Bolot, dan Desa Kedawung menjadi prestise tersendiri apabila sembelihannya lebih dari lima ekor ayam, kambing, atau sapi-kerbau; mereka akan merasa malu jika sesembilahannya hanya tiga ekor ayam atau dibawahnya dan untuk itu berusaha menghindar dari mencuci di sungai karena khawatir terlihat oleh tetangganya.
Sumber-sumber lisan yang terwariskan hingga sekarang menyebut bahwa pembuatan Endog – endogan, merupakan kreasi baru yang diciptakan kira-kira setelah berakhirnya kekuasaan kerajaan Blambangan dengan maksud untuk meramaikan peringatan hari lahir Nabi Muhammad. Sebelum itu, arak-arakan hanya diramaikan oleh kembang endhog yang kemudian terbagi secara berebut.
Pariwisata yang memang selalu tertarik pada hal-hal yang unik dan eksotis telah menjamah ritual endhog-endhogan. Dalam tourism map Banyuwangi tercatat bahwa ritual ini termasuk salah satu agenda tahunan Dinas Pariwisata daerah Banyuwangi, mendampingi ritual-ritual lain seperti kebo-keboan di desa Alas Malang, petik laut di Muncar, dan seblang di desa Olesari dan Bakungan.

B. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Muludan Endog-Endogan Tetap Dilestarikan Masyarakat Banyuwangi

Menurut KH. M. Zaini , beberapa Faktor masyarakat muslim umumnya untuk melakukan tradisi muludan endog – endogan, Pertama, berdasarkan sebuah hadits ; ”Man adzdzoma maulidi kuntu syafian yaumal qiyamah”. Kalau diartikan secara tidak tepat maka siapa saja yang memperingati kelahiran nabi Muhammad meskipun tidak melakukan sholat dan perilaku keseharian tidak mencerminkan ajaran islam akan mendapatkan syafa’at Rasulullah saw. Hadits ini oleh ulama’ dari Mekkah dianggap bahwa hadits di atas Dha’if ( lemah ) dan tidak bisa dijadikan pegangan, karena memang tidak ada dasarnya. Namun secara umum, untuk menghormat kelahiran nabi. Zaini menjelaskan hadits dha’if bisa dijadikan fadhail al.a’mal ( melakukan keutamaan amal ), karena menurut Zaini methode penyampaian hadits itu beranekaragam yang menyebabkan perbedaan pandangan antara ulama hadits dan munculnya pembagian hadits menjadi dua yaitu hadits shahih dan hadits dha’if .
Kedua, muncul perasaan bangga dan puas (nilai-nilai kenikmatan tersendiri) karena dirinya mampu merayakan muludan endog-endogan dan mengundang orang untuk membaca shalawat nabi secara bersama-sama di rumahnya ataupun di Masjid dan langgar ( musholla ) sebagai media untuk memperkuat ikatan silaturrahim diantara sesama muslim dan menyampaikan pesan kepada mayarakat untuk tidak hanya mengidolakan tetapi juga meneladani nabi dalam segala aspeknya.
Mendapatkan ”penghormatan” dari masyarakat bagian dari yang tak terpisahkan dari rasa bangga itu. Secara sederhana, untuk mencapai martabat ini, biasanya dengan mengundang banyak orang dengan sajian yang ”melimpah”, sehingga dengan penghormatan yang diberikan oleh masyarakat akan berdampak kepada peningkatan status sosial di mata masyarakat, yang tentu saja berakibat pada peningkatan kepercayaan (trust) masyarakat. Bahkan bagi salah satu kelompok, kegiatan muludan endog - endogan secara besar-besaran akan berimpact pada penguatan basis ekonomi dan jaringan.
Dengan kata lain, muludan endog - endogan itu bagian dari strategi untuk memperluas jaringan ekonomi. Kondisi ini selaras dengan pemikiran Weberian bahwa semangat ritualisme sebagai spirit peningkatan ekonomi masyarakat. Ketika beberapa informan ditanyakan, apakah ada implikasi ekonomi bagi yang melakukan muludan endog - endogan secara umum meyakini bahwa tidak ada orang yang bershodaqh menjadi miskin. Keyakinan diatas selaras dengan sabda rasul, ”la yanqushul malu tushdaqu bihi, walakin yazdadu”. Meski tradisi muludan endog - endogan bersifat sunnat namun bila ada orang kaya yang tidak melaksanakan muludan endog - endogan, akan muncul prasangka ataupun ucapan-ucapan yang kurang enak didengarkan. Namun kebiasaan masyarakat Banyuwangi yang rutin melaksanakan muludan endog - endogan tiap tahun senantiasa tetap tergugah melakukan pada tahun-tahun berikutnya.
Pengakuan salah seorang Informan H. Abd. Hadi mengatakan; ”bahwa orang yang berbuat baik seperti melakukan muludan endog - endogan tidak akan menjadikan dirinya bangkrut bahkan rizkinya selalu bertambah. Alhamdulillah, meski hidup ditengah krisis saya masih mampu memberikan sajian makan bersama, memberikan santunan kepada anak yatim dan bisnis saya masih bertahan”. Tujuan lain agar kita ini bisa lebih dekat dengan rasulullah sehingga tehindar dari barang-barang syubhat .
Meski demikian, terdapat perbedaan antara tradisi muludan endog - endogan di Banyuwangi dan daerah lain. Secara umum kalau di Banyuwangi tidak ada perbedaan signifikan dengan derah lain seperti pembacaan sholawat, do’a dan makan sesuai dengan kemampuan tuan rumah. Sedangkan di letak perbedaannya adalah dari aspek waktu yang dilakukan sejak ba’da subuh dengan sajian yang cukup mewah, karena perayaan muludan endog - endogan bagian dari ukuran prestise (harga diri). Indikator kemewahannya adalah mampu mengundang banyak kyai, sajian makanan yang banyak, bahkan ada yang sampai dihiasi dengan uang dan menyembelih sapi.
Pelaksanaan tradisi muludan endog - endogan di Banyuwangi ada 2 (dua) macam yaitu bersifat individual yaitu dilakukan oleh siapa saja yang mempunyai kemampuan untuk melakukan muludan endog - endogan dan secara kolektif seperti parayaan di masjid, musholla meski tidak paksaan untuk menyumbang.
Faktor ketiga yaitu ingin mendapatkan barokah (ziyadatul khoir) atau ada tambahan nilai positif yang diberikan oleh Allah, dengan diberi kemudahan. Sebagaimana yang disampaikan oleh H. Abd. Hadi bahwa Faktor melakukan muludan endog - endogan tiap tahun bertitik tolak dari firman Allah, ”innallaha wa malaikatahu yusholluna alan nabiy,.......” serta sebagai wujud syukur kepada Allah, karena. bersyukur sebagai bukti kita menjunjung tinggi ajaran rasulullah SAW yang memang terbukti.
Bagi H. Abd. Hadi dengan melaksananan muludan endog - endogan sangat berdampak positif khususnya nilai-nilai kesabaran; sabar melaksanakan perintahn Allah, sabar menjauhi larangan-Nya dan sabar menerima yang telah dtakdirkan oleh Allah. Kalau oleh Allah diberi pangkat, rejeki serta kebaikan itu bagian dari ujian hidup.
Bagi orang Banyuwangi baik yang tinggal di Banyuwangi ataupun di luar Banyuwangi khususnya yang beraliran Sunni sangat antusias menjelang bulan maulid. Indikatornya adalah warga Banyuwangi yang ada di luar Banyuwangi (Jawa Timur) pulang kampung hanya sekedar untuk melakukan tradisi muludan endog - endogan secara bersama-sama di rumah, musholla dan masjid dengan harapan bisa bersilaturrahim dengan keluarga dan kerabat serta mendapatkan mendapatkan endog - endogan ( telur ) yang menurut mereka mengandung berkah ( nilai tambah / ziyadatul khoir ).

C. Kegiatan-Kegiatan Tradisi Muludan Endog-Endogan.

1. Penghiasan Telur ( endog – endogan )
Kegiatan menghias telur dilakukan sebelum pelaksanaan prosesi kirab jodang ( hiasan pohon pisang ) dan pembacaan sholawat Nabi Muhammad SAW, menurut Ribut Qushoyyi : endog ( telur ) yang akan dihias sebelumnya di rebus ( di masak ) terlebih dahulu, baru setelah itu dihias dengan warna-warni kertas dan cat. Cara menghias telur ini sesuai dengan selera masing-masing daerah, ada yang menggunakan kertas klobot, kertas minyak, bungkus plastik, welat ( sembilu ) bambu, tali rafia yang dilembutkan, gelas air mineral dan lain - lain.
Setelah itu telur yang sudah selesai dihias diikatkan atau ditusukkan pada batang bambu yang di potong - potong seukuran 30 cm, agar kelihatan lebih menarik batang pohon bambu ini juga dihias dengan aneka ragam warna disesuikan dengan warna telur yang telah dihias.
Masih menurut Ribut, setiap keluarga biasanya membuat kembang endhog (bunga telur) sebanyak anggotanya atau lebih yang terbuat dari telur rebus yang ditusuk dengan bilah bambu kering sepanjang dua hasta yang ujungnya dihiasi bunga kertas. Menurut Ahmad, kembang telur ini melambangkan zaman jahiliyah, zaman sebelum Nabi Muhammad lahir (yang ditunjukkan dengan bilah bambu kering). Kelahiran Nabi Muhammad (yang disimbolisasikan dengan telur) menjadi titik penting perubahan kehidupan yang menjadi lebih baik (dilambangkan dengan bunga kertas). Belakangan hiasan kembang endhog ini tidak lagi hanya berupa bunga kertas, tapi sepenuhnya tergantung pada kebebasan dan kreatifitas masyarakat. Bisa berbentuk barong, ular naga, kapal terbang, dan lain-lain.

2. Pembuatan Jodang
Rangkaian kegiatan setelah penghiasan telur adalah pembuatan jodang ( pohon pisang yang telah dihias ), Istilah jodang merupakan istilah khusus yang digunakan masyarakat Banyuwangi dalam menyebutkan pohon pisang yang dihias warna warni untuk menancapkan hiasan endog - endogan yang telah diikatkan pada batang - batang bambu.
Pemilihan pohon pisang untuk di buat jodang selain lebih mudah untuk menancapkan endog - endogan, ada nilai filosofi yang terkandung dibaliknya. Menurut KH. Ma’shum Syafi’i, pohon pisang itu tidak akan mati sebelum menghasilkan buah, meskipun pohon pisang itu dipotong, ia akan tumbuh lagi sampai menghasilkan buah pisang yang ranum. Artinya pohon pisang itu akan mati kalau sudah memberikan manfaat bagi yang lain. Pelajaran yang bisa diambil oleh masyarakat Banyuwangi dari jodang pisang ini adalah : pohon pisang akan mati kalau sudah memberikan jasa dengan ikhlas kepada yang lain, maka dari itu kita sabagai manusia bisa memberikan manfaat bagi diri kita, keluarga kita dan manusia seluruhnya. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW : khairun naas ’anfa’uhum linnas ( sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi yang lain ).


3. Kirab Jodang Endog-endogan
Tepat pada subuh 12 Rabiul Awal semua warga membawa kembang endhog yang diletakkan di atas ancak (pelepah daun pisang dibentuk segi empat untuk wadah nasi dan jajanan) menuju masjid. Sampai di masjid, kembang endhog kemudian ditancap-tancapkan di Jodang ( batang pohon pisang yang telah dihias indah ) dan diletakkan berjajar di serambi masjid. Satu batang pohon pisang sedapat mungkin berisi kembang endhog dalam jumlah ganjil; 27, 33, atau 99 yang memiliki makna-makna tertentu dalam tradisi keislaman.
Setelah itu, semua warga telah berkumpul di masjid, mereka beramai-ramai mengusung batang-batang pohon pisang yang telah berhias itu keliling kampong ( arak-arakan / kirab ). Suasana sangat ramai karena bukan saja setiap warga terlibat dalam arak-arakan itu, melainkan semua musik tradisional yang dimiliki mengiringinya. Setelah semua jalan kampung dilalui, arak-arakan kembali menuju masjid dan seluruh batang pohon pisang itu diletakkan lagi berjajar di serambi masjid.
Kegiatan kirab endog-endogan biasa diistilahkan oleh masyarakat Banyuwangi dengan arak-arakan, kegiatan ini dilaksanakan setelah seluruh jodang dari berbagai RT, RW, kelurahan, instansi, Ormas, OKP, paguyuban-paguyuban dan lain-lain sudah dikumpulkan di depan serambi Masjid Jami’ atau di depan halaman Pemkab.

4. Pembacaan Sholawat Nabi
Pembacaan shalawat Nabi dilaksanakan setelah arak-arakan ( Kirab ) Jodang endog-endogan usai dilaksanakan, semua warga masuk ke masjid melaksanakan pembacaan kitab Barzanji yang biasa disebut dengan serakalan. Serakalan berasal dari kata “asroqol”, yaitu salah satu kata pembuka bait syair dalam kitab Barzanji. Serakalan berlangsung secara kompetitif-bersautan bak beradu pantun. Warga yang hadir berkelompok menurut RT atau mushalla, apabila satu kelompok melakukan pembacaan, kelompok yang lain mendengarkan sambil bersiap-siap mengambil alih melanjutkan. Di puncak acara, yaitu saat melantunkan shalawat nabi sambil berdiri, ada petugas berkeliling memberikan minuman tradisional yang dinamakan bir (air dicampur asam dan gula jawa), bir jeruk, bir jahe untuk diminum agar kualitas suara tetap terjaga dan tuyo arum ( air ditabur irisan daun pandan dan aneka rupa bunga) untuk diusapkan di tenggorokan agar terjadi cooling down.

5. Pembagian Endog-endogan
Rangkaian paling akhir dari prosesi pelaksanaan muludan endog-endogan adalah : pembagian endog ( telur ), kegiatan ini paling dinanti oleh masyarakat, karena mereka meyakini akan adanya barakah ( nilai tambah ) dalam endog / telur yang telah dihias dan dibacakan shalawat Nabi.
Cara pembagiannya diutamakan bagi mereka yang ikut sholawatan di rumah, masjid ataupun musholla. Bagi mereka yang hanya ikut arak-arakan / kirab tapi tidak ikut shalawatan harus sabar menunggu giliran mendapatkan endog-endogan.

6. Lomba Penulisan Riwayat Nabi
Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Masyarakat Banyuwangi pada peringatan Maulid Nabi adalah menyelenggarakan lomba penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi.
Barzanji bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Nama Barzanji diambil dari nama pengarang naskah tersebut yakni Syekh Ja’far al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim. Barzanji berasal dari nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzinj. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (artinya kalung permata) yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Tapi kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya.

7. Lomba Dzikir Maulid

Dzikir Maulid merupakan bacaan sholawat Nabi yang khas di baca ketika diadakan Muludan Endog-endogan, kegiatan ini biasanya diikuti oleh seluruh masyarakat yang terbagi dalam beberapa Jam’iyah shalawat ( organisasi shalawat ) yang tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi, Pemenang lombang dzikir maulid akan mendapatkan tropi bergilir yang disediakan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Kebetulan mantan Bupati Banyuwangi Ir. H. Syamsul Hadi merupakan salah seorang wakil Ketua Ikatan seni Hadrah Republik Indonesia ( ISHARI ) cabang Banyuwangi.

V. KESIMPULAN

Dari pembahasan penelitian ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Proses Terjadinya Tradisi Muludan Endog-Endogan di Banyuwangi antara lain : Di kalangan komunitas Osing Banyuwangi, ritual endhog-endhogan sudah lama diselenggarakan dan telah menjadi tradisi; tak ada data tertulis maupun cerita lisan yang resmi menjelaskan kapan tradisi ini dimulai. Sumber-sumber lisan yang terwariskan hingga sekarang menyebut bahwa pembuatan Endog – endogan, merupakan kreasi baru yang diciptakan kira-kira setelah berakhirnya kekuasaan kerajaan Blambangan dengan maksud untuk meramaikan peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW.
2. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Muludan Endog-Endogan Tetap Dilestarikan Masyarakat Banyuwangi, antara lain : Pertama, berdasarkan hadits ’; ”Man adzdzoma maulidi kuntu syafian yaumal qiyamah”. Kalau diartikan secara tidak tepat maka siapa saja yang memperingati kelahiran nabi Muhammad meskipun tidak melakukan sholat dan perilaku keseharian tidak mencerminkan ajaran islam akan mendapatkan syafa’at Rasulullah saw. Kedua, muncul perasaan bangga dan puas (nilai-nilai kenikmatan tersendiri) karena dirinya mampu merayakan muludan endog-endogan dan Ketiga yaitu ingin mendapatkan barokah (ziyadatul khoir) atau ada tambahan nilai positif yang diberikan oleh Allah SWT.
3. Kegiatan-Kegiatan Tradisi Muludan Endog-Endogan, antara lain : Penghiasan Telur ( endog – endogan ), Pembuatan Jodang, Kirab Jodang Endog-endogan, Pembacaan Sholawat Nabi, Pembagian Endog-endogan, Lomba Penulisan Riwayat Nabi dan lomba Dzikir Maulid



DAFTAR PUSTAKA

Andrew Beatty, “Adam and Eve and Vishnu: Syncretism in The Javanese Slametan” dalam The Journal of the Royal Anthropological institut 2 (June 1996).
Bryan S. Turner, Religion and Sosial, (London; SAGE Publication, 1991)
Abdurrahman, Moeslim.. Islam sebagai Kritik Sosial. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2003
Andang Subaharianto dkk, Tantangan Industrialisasi Banyuwangi, Malang; Bayumedia Publishing, 2004
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustka Jaya, 1981
Herbert Read, Art and Sociaty, (New York; Shocken Books, 1970) bab 3 dalam Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogya; Tiara Wacana Yogya, 1987
James P. Spradley, Participant Observation (New York Chicago San Francisco Dallas Montreal Toronto London Sydney, 1980
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta; Tiara Wacana Yogya, 1987
Lofland, Analyzing Social Setting: A Guide to Qualitative Observation and Analysis, (Belmont, Cal: Wadsworth Publishing Company, 1984.
M. Zahid , Tradisi Maulid Nabi, makalah seminar di Madura, 2004
Matthew B. Miles & AS. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep Rohendi Rohidi (Jakarta: UI Press, 1992
Max Weber, The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism, diterjemahkan oleh Yusuf Risasudirja, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, (Jakarta; Pustaka Promethe, 2001
Max Weber, The Sosiology of Religion, (Boston; Beacon Press, 1964) dalam Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogya; Tiara Wacana Yogya, 1987
Moeloeng, Lexy. J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya. 2005.
Muhaimin AG. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, Jakarta: Logos, 2001
Nur Syam, Islam Pesisir , Yogyakarta: LkiS, 2005
Roberts Keith, Religion in Sociologocal Perspective, Homewood, 1994
Roland Robertson, Sociology of Religion, terj, A. Fedyani Saefudin, Jakarta; Rajawali Pers, 1992
Simuh. ”Interaksi Islam dalam Budaya Jawa” dalam Muhammadiyah dalam Kritik. Surakarta: Muhammaddiyah University Press. 2002.
Spradley, J.P., The Etnographic Interview, Holt, Reinhard and Wilston, N.Y., 1979
Tomagola, Anatomi Konflik Komunal di Indonesia, dalam Soleh Isrie Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, Jakarta: Badan Litbang Agama, 2003
Zamakhsari Dhofier dan Abdurrahman Wahid, Penafsiran kembali Ajaran Agama; Dua kasus dari Jombang, Dalam Prisma, No. 3, Jakarta; LP3ES, 1978



Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates