Selasa, 24 Mei 2011

Etika Dialog Dalam Islam


Penulis : Balya Hidayat

Sakit yang diidap oleh umat islam sampai saat ini masih terus terasa, bahkan semakin menjalar ke seluruh tubuh. Umat islam seakan tak sanggup bangkit dari tidurnya akibat penyakit tersebut. Tidak hanya satu sektor saja kelemahan yang muncul pada umat ini, akan tetapi kelemahan itu telah menyelimuti seluruh sektor kehidupan, baik yang berkaitan dengan kehidupan akhirat, terlebih kehidupan duniawi mereka.

Krisis yang menimpa, sebenarnya sudah sejak lama dirasakan, perpecahan-perpecahan pun sudah sempat terjadi, beruntung umat islam masih selalu mengakui dan berpegang teguh terhadap al-Qur'an dan Sunnah yang menjadi sentral keragaman ide mereka. Sehingga mereka dapat bersatu kembali tatkala berjibaku dan bersitegang, terhimpun di bawah payung suci yang diciptakan oleh dua sumber hukum tersebut.

Salah satu penyebab sakitnya umat islam adalah perbedaan ide dan persepsi (Ikhtilaf dan Khilaf) umat islam sendiri. Perbedaan mereka dalam menyikapi segala ranah kehidupan, meliputi akidah, ide, pemikiran, etika, budaya sampai kepada pemahaman terhadap Fikih dan tata cara melakukan ritual (Ibadah) kepada Allah. Fenomena ini seakan-akan memunculkan indikasi dan pandangan umum bahwa islam sangat merestui perbedaan, menjunjung tinggi keragaman ide (walaupun harus berakhir dengan perpecahan), dan memunculkan kesan agar umat islam selalu berbeda pemahaman dalam segala sektor kehidupan.

Hal ini setidaknya yang hendak diungkap oleh Prof. Dr. Thaha Jabir Ilwani dalam bukunya Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam sekaligus melacak solusi terbaik untuk menyikapinya. Menurutnya, Al-Qur'an dan sunnah sangat menekankan persatuan umat (Wahdat al-Ummah) dan rasa persaudaraan (Ukhuwah Islamiyah). Keduanya menempati posisi tertinggi dalam urutan tanggungjawab (Taklif) yang harus selalu dipelihara eksistensinya. Memberangusnya sama saja menghancurkan islam. Segala faktor yang mengancam persatuan dan persaudaraan umat islam hendaklah dikubur dalam-dalam, termasuk membiarkan umat berbeda pandang tanpa batas.

Menghadapi zaman yang terus mengglobal, islam harus terus mampu menyatu, berdilektika dengan segala problematika yang muncul, ia dituntut untuk perduli dan menempati barisan terdepan dalam mencari solusi terhadap problematika tersebut. Mencari solusi, pada gilirannya akan berurusan dengan terma dialog, diskusi, dan benturan-benturan ide tentunya. Bukankah ini merupakan tuntutan zaman? Lantas mengapa Jabir menuding keberagaman ide sebagai faktor kemerosotan umat, bahkan menganggapnya faktor krusial yang lazim dihanyutkan dari permukaan?

Alumnus al-Azhar Mesir ini tidak hendak membumihanguskan keberagaman ide dan mengkungkung umat islam dalam satu corak pemikiran serta membuatnya seragam. Tidak pula ingin menyulap penganutnya menjadi the yess-man yang lantas miskin kreasi dan ide. Justru sebaliknya, ia menyadari dan mengimani betul fitrah manusia sebagai makhluk yang dikaruniai akal sehat. Ini berarti sebuah anugerah maha besar yang sudah selayaknya terus diasah dan dipelihara. Berpikir, mencari dan menelusuri menurutnya adalah keniscayaan yang harus ditempuh demi kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Akan tetapi menggeluti percaturannya ada konsep, aturan, etika dan batas-batas yang harus diperhatikan, agar upaya pemunculan ide ini bisa terarah dan tidak memporak-porandakan "bangunan kokoh" yang berdiri di sekitarnya. Jabir memberikan ruang cukup luas untuk perbedaan umat, yang terpenting menurutnya hanyalah bagaimana umat islam mampu memelihara persatuannya agar tidak terbelah dan tercerai berai.

Berbeda tidak harus bertolak belakang atau berlawanan, adakalanya perbedaan timbul dari sesuatu yang satu kemudian dipandang dari dua sudut berlainan, hingga lahirlah dua pandangan dan pemahaman berbeda. Adapula perbedaan yang menurut Jabir harus benar-benar dihindari, yaitu perbedaan yang timbul dari dua hal yang berlawanan hingga berakhir dengan ketegangan, bahkan dapat berakhir dengan anarkisme. Inilah yang yang disebut sebagai syiqaq, faktor terpenting yang menyebabkan umat terdahulu tercerai berai dan binasa.

Di bagian awal buku ini dibahas tentang hakikat makna dari Ikhtilaf. Pengarang membedakan antara istilah Khilaf, Ikhtilaf, Jadal dan Syiqaq. Ada sebagian yang berpendapat bahwa Khilaf maknanya lebih luas dari Ikhtilaf. Terma Khilaf tidak sekedar berarti dua hal yang berlawanan, akan tetapi termasuk dua hal yang berbeda. Sedangkan Ikhtilaf bermakna perbedaan dua hal saja. Khusus dua hal yang saling berlawanan biasa disebut Jadal. Bagi Jabir sendiri, setelah menyitir salah satu ayat al-Qur'an yang menggunakan akar kata Khalafa, ia menyimpulkan Ikhtilaf dan Khilaf sebagai dua hal yang berbeda secara mutlak, tanpa memandang dua hal itu berlawanan atau tidak. Berbeda pendapat, ide, pemikiran dan sikap, seluruhnya dikategorikan dalam terma ini.

Adapula pembahasan tentang kategorisasi perbedaan, yang pada gilirannya sampai kepada perbedaan yang harus dibiarkan tumbuh subur di lingkungan masyarakat islam, karena ia dapat memberikan arti positif bagi kemaslahatan umat, dan perbedaan yang harus dihindari dan dikubur karena dapat memberikan dampak buruk bagi umat ini. Selain itu pengarang buku ini juga membagi perbedaan menjadi tiga bagian besar, pembagian ini berdasarkan motif yang mendasari timbulnya perbedaan itu. Pertama; berbeda karena didasari kepentingan hawa nafsu belaka. Kedua; berbeda karena benar-benar ada upaya untuk menegakkan kebenaran. Ketiga; berbeda dengan motif yang samar-samar, sepintas terlihat seperti yang pertama, sepintas lain mirip dengan model yang kedua. Untuk model ketiga ini menurut penulis inilah perbedaan pendapat yang perlu diamati dengan sangat jeli, sebab seringkali berkaitan dengan hukum fikih, yang tentunya akan berujung dengan permasalahan halal-haram.

Sisipan pembahasan lain yang terdapat dalam buku ini adalah tentang pendapat para ulama besar perihal perbedaan dalam islam. Ternyata tidak semua ulama sekata dalam hal ini. Bahkan sebagian benar-benar menyeru agar umat islam sebisa mungkin menghindarinya, karena Rasul pernah memberikan peringatan terhadap beberapa sahabatnya. Nah, siapa sajakah ulama yang termasuk kalangan ini? Jabannya terdapat dalam karya yang sederhana ini.

Perbedaan di masa Rasulullah saw.

Embrio kemunculan perbedaan antar umat sudah tampak di masa ini. Sebut saja salah satu perbedaan ide yang pernah muncul pada masa Rasul saw. masih hidup. Tatkala Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk menyerang bani Quraidzah, beliau berpesan kepada para sahabat: "Jangan seorangpun melakukan shalat ashar, kecuali jika kalian telah sampai di wilayah Bani Quraidzah". Di tengah perjalanan menuju ke sana, ada sebagian sahabat yang melakukan shalat ashar di tengah perjalanan (padahal mereka belum sampai di wilayah bani Quraidzah), sebagian lagi memilih memacu kudanya kencang-kencang agar segera sampai dan melakukan shalat ashar di sana.

Bila kita lihat secara sepintas, hal ini mengisyaratkan satu hal bahwa, para sahabat yang melakukan shalatnya di tengah perjalanan seakan-akan telah melanggar perintah Rasulullah saw. akan tetapi bagaimanakah reaksi Rasulullah setelah berita ini sampai ke telinga beliau? Diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dan disunting oleh Taha Jabir Ilwani dalam bukunya Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam, setelah mendengar berita itu Rasulullah tidak sontak menyalahkan salah seorang sahabatpun, menurut beliau keduanya telah melakukan tindakan yang benar. Tidak seorangpun yang dipanggil, ditegur bahkan dicela oleh Rasulullah, oleh karena keduanya memiliki pemahaman berbeda terhadap ucapan tersebut. Satu pihak memahaminya secara tekstual, karena itu mereka menunda shalat setelah sampai di wilayah bani Quraidzah, agar dapat secepat mungkin sampai dan tidak merusak strategi yang telah ditetapkan. Sedangkan kubu kedua, memilih melakukan shalat di perjalanan, karena menurut mereka hal ini tetap tidak membuat mereka datang terlambat dan merusak strategi. Dari kejadian ini para ulama banyak mengambil kesimpulan bahwa berbeda pendapat adalah sebuah keniscayaan, dan ini adalah salah satu ajaran Rasulullah, bagaimana sebenarnya menyikapi dan menempatkan perbedaan yang senantiasa muncul di depan pelupuk mata para umatnya.

Menarik sekali buku ini bila kita memperhatikan di sub-sub pembahasan yang ditulis, akan kita dapati penulis memberikan penjelasan tentang faktor-faktor yang melatar belakangi timbulnya perbedaan tersebut sekaligus segala hal yang berkaitan dengannya. Seperti kejadian di atas, ada dua kubu yang saling berbeda pendapat. Keduanya memiliki analisa dan kesimpulan berbeda tentang ucapan Rasulullah. Salah satu kubu menggunakan perangkat Takwil untuk memahami ucapan Rasul tersebut. Inilah menariknya, sang penulis lantas memberikan penjelasan setelah memaparkan kejadian di atas, memaparkan pengertian Takwil, ketentuannya, perbedaannya dengan Tafsir. Kemudian memaparkan masalah Ijtihad, menjelaskan bagaimanakah sebenarnya Mujtahid itu, bagaimanakah sikap Rasul tentang seorang sahabat yang mengutarakan sebuah hukum di masa beliau masih hidup. Beberapa hal inilah yang diselipkan oleh penulis dalam bukunya yang padat isi ini.

Perbedaan di masa Khulafa’ ar-Rasyidin

Perjalanan islam dari masa ke masa, sejak zaman Rasulullah saw. telah memasuki abad ke 14 H. Tidak mudah melestarikan dan memelihara eksistensi islam sepanjang itu, padahal pada perjalanannya, islam dipenuhi dengan gejolak, gesekan bahkan pergolakan ide dan pemikiran yang muncul dari masing-masing benak kaum muslimin. Kalangan sahabat Rasulullah termasuk generasi terbaik di sepanjang riwayat hidup manusia. Merekapun ternyata menghadapi permasalahan yang sama. Munculnya perbedaan di masa Rasulullah, masih terus berlanjut di masa sahabat. Sempat pula Jabir mengutip beberapa hal yang menjadi perdebatan di kalangan ini. Diantaranya mengenai wafatnya Rasulullah saw. Abu bakar berkeyakinan bahwa Rasulullah telah meninggal dunia, karena beliau juga seorang manusia. Sedangkan Umar tidak demikian. Selain itu, persoalan tentang Khilafah pengganti Rasulullah merupakan permasalahan yang tidak asing bagi kita, hal ini juga sempat direkam oleh mantan direktur utama al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami yang berpusat di Washington DC ini. Pembahasan tentang perbedaan ini akhirnya sampai kepada soal perdebatan Sahabat dalam wilayah yang paling rentan mengalami perdebatan, yaitu Fikih.

Perbedaan pasca Khulafa’ ar-Rasyidin
Motif kepentingan dan tarik ulur kekuasan terlihat sangat kental pada masa ini. Hal ini imbas dari pertentangan dan fitnah-fitnah yang pernah muncul sebelumnya. Terbunuhnya ‘Ustman bin ‘Affan dan kudeta ‘Ali oleh Mu’awiyah adalah awal mula dari kekacauan-kekacauan yang muncul setelahnya – walaupun pada masa itu kekuasaan islam sudah cukup luas. Sejak itu bibit-bibit perpecahan mulai muncul, kemudian sempalan-sempalan semacam Syi’ah, Mu’tazilah, Khawarij, As’ariyah, Maturidiyah mengatur cara beragama sendiri-sendiri. Perdebatan-perdebatan tentang ketuhanan sangat dominan pada saat ini, hingga kemudian menjalar pada permasalahan fikih. Hingga begitu akutnya kondisi saat itu, tak jarang dari beberapa sempalan tersebut menghalalkan segala cara untuk mempertahankan golongannya, termasuk apa yang dilakukan oleh Syi’ah, mereka menisbatkan beragam hadist kepada Rasulullah saw. Tentunya hal ini sangat ironis mengingat Hadist adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.

Selain informasi dan gagasan penulis tentang konsep menyikapi perdebatan dan perbedaan yang muncul, dalam buku ini pembaca juga dapat menemukan beberapa konsep umum dalam madzhab fikih. Yang dipaparkan di sini adalah dasar-dasar utama yang dipakai oleh lima madzhab yang begitu masyhur dalam islam. Sebenarnya konsep apa sajakah yang dipakai Imam Abu Hanifah dalam ijtihadnya, hingga madzhab beliau terkesan lebih mengedepankan ar-ra’yu? Jalur apakah yang dipakai imam Malik dalam melahirkan sebuah hukum? Apakah perbedaan konsep Syafi’i dengan konsep Malik – yang notabene gurunya – dalam berfikih? Bagaimanakah madzhab Ahmad bin Hambal sehingga dikatakan lebih mirip dengan madzhab Syafi’i? Prinsip apakah yang dipakai oleh Dawud ad-Dzahiri dalam fikihnya?. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini dapat disimak dalam buku ini.

Etika berdialog –dalam arti yang lebih luas- bukan sekedar menghargai, menghormati dan toleran terhadap ide orang lain. Lebih dari itu, seseorang yang hendak melahirkan dan mengutarakan ide-idenya harus mengerti betul tentang wilayah-wilayah yang akan disentuh atau hendak digeseknya. Dalam aturan islam, seseorang disilahkan berbeda pendapat satu sama lain, asal hanya bermain di arena Furu’ bukan Ushul. Menggunakan akal bukan satu hal yang patut direndahkan, karena bagaimanapun juga akal adalah satu anugerah yang perlu terus dilatih ketajamannya. Menelantarkannya justru satu hal yang tidak pernah dianjurkan oleh islam. Bila ia hanya dibiarkan pasif, hanya taklid dan mengekor pada pendapat tertentu, justru akan membunuh eksistensi ilmu pengetahuan serta membuat umat akan semakin tersingkir saja. Mengerti dan menelusuri latar belakang timbulnya perbedaan pendapat antar ulama (Asbab ikhtilaf al ‘Ulama) menurut Jabir adalah satu hal yang sangat urgen pula. Karena berangkat dari hal itu seseorang dapat mengerti bahwa menyentuh agama tidak cukup hanya dengan bekal keilmuan yang dangkal, perlu menunjukkan bukti-bukti akurat pun ilmiyah untuk menggeluti percaturannya.

Pemaparan yang dilakukan Jabir dalam bukunya ini tidak terbatas mengorek dan mengambil pengalaman dari masa silam. Ia juga mencoba mensingkronkan gejala-gejala yang telah muncul dengan problematika yang timbul belakangan, seraya mencoba meletakkan tawaran solusi yang menurutnya sesuai dengan kondisi umat islam sa’at ini. Apa sebenarnya solusi dan harapan seorang Guru Besar Ushul Fikih Universitas Muhammad bin Saud ini? Bagaimanakah upaya agar bisa mentas dari keterpurukan? Mungkinkah kabut tebal yang menyelimuti umat islam selama puluhan tahun bisa segera sirna?. Kita bertanya, karya ini akan menjawabnya.

Judul Buku : Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam
Pengarang : Prof. Dr. Jabir al-Ulwani
Tebal : 169 halaman
Resentator : Balya Hidayat
[Balya Hidayat, Mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Syari’ah Islamiah Universitas al-Azhar Kairo]




Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates