Minggu, 22 Mei 2011

Tasawuf dan Revolusi Spiritual


Penulis : Ahmad Daniyal

Menulis tentang tasawuf berikut sejarahnya relatif lebih mudah daripada menjalani kehudupan sufi itu sendiri. Setidaknya hal inilah yang melatari penulis untuk berani menilik tasawuf sebagai sebuah gerakan nyentrik yang kemudian dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang independen.

Sebagai sebuah pengalaman spiritual yang sangat privatif, tasawuf memang susah untuk dirasakan atau bahkan dicerna oleh mereka yang tidak pernah menjalani kehidupan sufi. Oleh karena itu penulis sepakat dengan Abu al-Ala Afifi yang mengatakan bahwa kehidupan sufi dan sufisme tidak bisa ditimbang dari satu neraca yang sama. Sebaliknya kita harus mengikuti dengan seksama lika-liku tokoh per tokoh dari figur sufi itu untuk kemudian kita dapat menyimpulkan; karakter dari tokoh-tokoh itu. Oleh sebab itu dalam studi tasawuf kajian tokoh sepertinya- akan lebih efektif dan menusuk daripada kajian tematis yang akan terlihat lebih umum.

Tetapi bukan berarti kajian sajarah terhadap dunia sufi dan sufisme selamanya tidak menarik. Apalagi sejak menjamurnya karya sarjana-sarjana barat dalam kajian keislaman, kajian sejarah yang bukan hanya terbatas pada tasawuf- memiliki daya pikat tersendiri seiring dengan metode dan pola lihat masing-masing sejarawan yang boleh jadi berbeda atau bahkan bertolak belakang. Misalnya dalam permasalahan orisinalitas tasawuf Islam, pengaruh peradaban lain terhadap tasawuf dan lain sebagainya.

Namun, dalam makalah ini penulis akan berusaha menghindari perdebatan seputar polemik itu, karena di samping telah banyak dikupas juga karena tema itu akan cenderung membosankan. Apalagi menyimpulkan tentang adanya pengaruh luar dalam tasawuf Islam akan terasa cukup berat dalam pertanggungjawaban ilmiahnya. Karena menurut Afifi mengetahui pengaruh satu peradaban terhadap yang lain meniscayakan adanya keterkaitan yang lekat antara keduanya, paling tidak secara historis.

Oleh karena itu, pada pembahasan selanjutnya penulis akan berkonsentrasi dalam memotret lika-liku sufi dan sufisme sebagai sebuah gerakan spiritual yang muncul dari dalam lingkungan Islam, mulai dari embrio awalnya hingga perkembangan, corak dan manifestasinya. Hal ini bukan berarti menafikan keberadaan pengaruh luar dalam diri tasawuf Islam, tetapi lebih dapat diartikan sebagai sebuah penegasan atas persepsi umum yang mengatakan bahwa kehidupan spiritual adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia, bukan hanya umat Islam. Dan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa agama Islam sebagai ajaran yang memiliki pandangan tersendiri terhadap Tuhan, alam dan manusia memiliki tradisi spiritual yang independen dan orisinil.

Islam dan Nilai Spiritual

Tidak dapat diragukan bahwa Islam adalah agama yang selalu mamandang manusia dengan dua dimensinya; jasmani dan ruhani. Sejak awal al-Qur`an talah menjabarkan secara gamblang dua dimensi manusia itu dalam ayat-ayat penciptaan. Bahwa dalam bungkus jasad manusia terdapat ruh, wa nafakhn fh min rhin. Oleh karena itu dalam setiap ajarannya baik yang bersifat horizontal maupun vertikal, Islam selalu mempertimbangan dua dimensi itu demi sebuah keseimbangan hidup dan kelestarian manusia.

Jika kita lihat secara tepat maka kedatangan Islam tidaklah keluar dari target di atas. Setidaknya kondisi sosial Makkah sebagai tambatan wahyu pertama telah menggambarkan hal tersebut. Kehidupan materi yang telah mapan di Makkah, juga posisinya yang strategis sebagai poros ekonomi waktu itu, mengisyaratkan bahwa penduduk Makkah secara materi- tidaklah kekurangan. Namun di balik materi yang melimpah itu, ada satu dimensi yang tidak pernah tersentuh oleh komunitas Makkah, yaitu dimensi ruhani dan akhlak. Sehingga sangat beralasan apabila kita dapati mayoritas ayat-ayat Makkiyyah adalah ayat-ayat akidah dan akhlak.

Semua realita di atas dikuatkan oleh eksperiment spiritual yang kerap dijalani oleh Rasul Saw., sang pembawa risalah, baik sebelum dan sesudah diangkat menjadi Rasul. Dari sinilah nantinya kita dapat melacak akar-akar tasawuf dalam pengertiannya yang kita kenal seperti sekarang.

Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa sebelum diangkat menjadi Rasul, Nabi Muhammad Saw. melakukan pertapaan di gua Hira secara rutin sampai turun wahyu pertama. Pertapaan tersebut dilakukan Rasul sebagai sebuah upaya untuk menenangkan jiwa, menyucikan diri sebagai persiapan untuk menerima sabda yang agung yaitu wahyu al-Qur`an. Dalam proses itu Rasul melakukan riyhah dengan bekal makanan secukupnya, pakaian sederhana yang jauh dari kemewahan dunia. Dengan demikian setelah menjalani proses-proses tersebut jiwa Rasul telah mencapai tingkatan spiritual tertentu sehingga benar-benar siap menerima wahyu melalui Jibril.

Pengalaman lain yang juga memiliki nilai spiritual yang tinggi adalah peristiwa Isra` dan Mi'raj. Meskipun terdapat tiga pendapat dalam hakekat peristiwa ini; apakah ia adalah perjalanan ruh atau perjalanan jasad ataukah perjalanan ruh dan jasad, tetapi yang jelas peristiwa tersebut mengandung nilai spiritual. Apalagi jika kita berpatokan pada informasi yang diriwayatkan dari Siti Aisyah Ra., bahwa perjalanan Rasul dalam perisitiwa Isra dan Mi'raj- adalah perjalanan spiritual dan bukan jasad.

Perjalanan-perjalanan ruhani inilah yang nantinya memiliki dampak yang sangat dominan dalam perkembangan dakwah Nabi, terutama pada periode Madinah, setelah mendapat tantangan keras di Makkah.

Seperti kita ketahui bahwa dakwah di Makkah tidaklah semulus yang diharapkan. Konsep-konsep moral yang ditawarkan Nabi pada penduduk Makkah yang mayoritas para saudagar itu, tidak mendapat sambutan kecuali dalam skala yang kecil. Menurut mereka Nabi tidak berhak menasehati dan mengarahkan karena mereka adalah orang-orang kaya sedangkan Nabi tidak memiliki harta apa-apa.

Hal ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi di Madinah, pusat dakwah Nabi selanjutnya. Dengan kondisi masyarakat yang hidup dengan keserdehanaan dan jauh dari kemewahan Nabi berhasil menanamkan akidah dan konsep moral yang dibawanya. Dalam waktu yang relatif singkat Nabi berhasil membentuk komunitas baru yang berdasar pada akidah tauhid dan moral yang luhur. Dari komunitas inilah sedikit demi sedikit dakwah Islam menjalar dengan cepat ke belahan Arab tak terkecuali Makkah, tepatnya pada tahun ke-8 dari hijrah Nabi ke Madinah.

Dari cuplikan perjalanan spiritual Nabi, proses dakwah beliau hingga terbentuknya komunitas Islam di Madinah itu, sebenarnya sudah dapat dilacak bahwa Islam adalah agama ruhani, agama yang mengedepankan nilai-nilai moral yang tinggi. Oleh karena itu, menjadi mudah bagi kita untuk menyimpulkan bahwa munculnya gerakan-gerakan tasawuf terutama zuhud adalah sebuah kelanjutan dari tradisi yang telah mengakar di Madinah tersebut. Apalagi tokoh-tokoh sahabat seperti Abu Bakar, Utsman, Ali, Mus'ab bin Umair, Ammar bin Yasir hingga Abu Hurairah yang tergabung dalam Ahl al-Shuffah adalah petanda-petanda nyata dari eratnya hubungan itu.

Maka penyataan Ibnu Khaldun yang mengatakan bahwa munculnya gerakan-gerakan zuhud, al-bukkn, al-tawwbn, dan bentuk-bentuk sufi yang lain merupakan gerakan yang muncul dari khazanah Islam baik itu bersumber dari al-Qur`an, sunnah maupun tradisi salaf sholeh, adalah pernyataan yang sesuai dengan realitas sejarah. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa Islam adalah agama yang memiliki tradisi spiritual yang orisinil.

Esensi Tasawuf dalam Islam

Secara kasat mata kata tasawuf terlihat jelas dan tak bermasalah. Namun jika kita telaah lebih detail, maka kenyataannya tidak demikian. Hal ini tentu sangat berhubungan dengan ciri tasawuf yang lebih dekat pada pengalaman pribadi yang sangat subyektif daripada sebuah konsep yang bersifat obyektif dan kolektif. Karenanya, definisi tasawuf akan berbeda antara satu figur degan figur yang lain. Dari sinilah definisi tasawuf cukup sulit untuk diterka, kecuali hanya dalam kerangka garis besar.

Menurut Dr. Abu al-Wafa al-Taftazani, tasawuf adalah falsafah dan jalan hidup yang ditempuh oleh manusia yang bertujuan untuk mencapai derajat tertentu; akhlak yang mulia, dapat mengetahui kebenaran dan mencapai kebahagiaan spiritual. Dengan demikian, meski corak dari gerakan tasawuf cenderung subyektif tetapi semua kecenderungan tersebut bersumbu pada satu titik yang sama yaitu etika (akhlak). Jadi bertasawuf berarti berakhlak.

Sampai di sini, sebenarnya sudah dapat dimengerti bahwa setiap agama, peradaban dan komunitas tertentu memiliki satu tatanan etis yang menjadi tolok ukur. Oleh karena itu, dapat dipahami mengapa para sarjana muslim selalu berkeyakinan bahwa Islam sebagai sebuah agama dan peradaban- memiliki tradisi sufi tersendiri yang terlepas dari agama dan peradaban lain. Persepsi ini tentu sangat beralasan mengingat posisi al-Qur`an sebagai pemandu kehidupan manusia dan sunnah Rasul sebagai penerjemahnya adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat muslim.

Jika benar bahwa tasawuf adalah upaya pengejawantahan nilai-nilai luhur al-Qur`an dalam kehidupan maka dengan bertasawuf seseorang berarti telah beragama dan bukan sebaliknya. Dengan demikian sangat wajar jika al-Ghazali (w. 505 H.) mendudukkan tasawuf pada tingkatan teratas (khaws al-khaws). Bahwa yang dimaksud dengan 'takhallaq bi akhlqillh' adalah tasawuf itu sendiri.

Pandangan ini akan lebih jelas lagi jika kita melihat secara teliti tujuan dari setiap ajaran agama Islam. Tidak ada satu kewajiban agamapun yang tidak ditujukan untuk penyucian jiwa; mulai dari shalat, puasa, haji, zakat dan lain sebagainya. Karena itu, tasawuf dengan gerakan etikanya bertujuan untuk mengisi semua gerak-gerik manusia baik yang berhubungan dengan Tuhan (ibadah) hingga yang berhubungan degan manusia (muamalat) dengan nilai-nilai luhur. Dengan tasawuf semua ibadah vertikal manusia diharapkan dapat membawa perubahan dalam kehidupan sosialnya dan dengan tasawuf pula seluruh praktek-praktek sosial manusia diharapkan memiliki nilai ibadah kepada Tuhan. Oleh karena itu, sebagai sebuah disiplin ilmu, tasawuf lebih dekat pada gerakan etis dan moral (akhlak) yang menyebelahi ilmu kalam (akidah) dan ilmu fikih (syari'ah).

Namun dalam baris-baris berikut kita akan kembali bersafari melintasi lingkaran-lingkaran sejarah umat Islam untuk setidaknya- melacak manifestasi dari perjalanan tasawuf, mulai dari embrio pertama yang lugu dan sederhana hingga perkembangannya. Hal ini penting mengingat peran tasawuf yang begitu urgen dalam kehidupan umat Islam sebagai sebuah gerakan etis yang terus menyejarah. Yaitu sebuah gerakan yang kerap kali melakukan revolusi dalam kehidupan manusia dengan menyapa hati dan nurani untuk terus berbenah diri menuju kehidupan yang kekal dan tanpa henti, kehidupan setelah mati.

Melihat Sekilas Perkembangan Tasawuf

Hingga saat ini para pemerhati tasawuf sepakat bahwa tasawuf telah melalui tiga tahapan. Pertama, periode pembentukan dengan menonjolkan gerakan-gerakan zuhud sebagai fenomena sosial. Periode ini berlangsung selama abad pertama dan kedua hijriah. Gerakan-gerakan zuhud ini dipelopori oleh para sahabat, tabi'in dan tabi'i tabi'in. Pada masa ini fenomena yang terjadi adalah semangat untuk beribadah dengan prinsip-prinsip yang telah diajarkan oleh Nabi, untuk kemudian mereka mencoba menjalani zuhud. Dalam pengertian; sederhana dalam berpakaian, makan dan tempat tinggal. Tradisi seperti ini terus dilakukan hingga menjadi suatu etika yang mengakar. Adapun tokoh-tokoh sufi pada periode ini adalah Hasan al-Bashri (110 H.) dengan konsep khauf dan Rabi'ah al-Adawiyyah (185 H.) dengan konsep cinta (al-hubb).

Memasuki abad ketiga dan keempat hijriah tasawuf kembali menjalani babak baru. Pada abad ini tema-tema yang diangkat para sufi lebih mendalam. Berawal dari perbincangan seputar akhlak dan pekerti, mereka mulai ramai membahas tentang hakekat Tuhan, esensi manusia serta hubungan antara keduanya. Dari sini kemudian muncul tema-tema semacam makrifat, fana', dzauq dan lain sebagainya.

Dari realitas ini dapat disimpulkan bahwa tasawuf mulai menemukan identitasnya. Tasawuf mulai berkembang dan menjadi satu disiplin ilmu yang berbeda dengan fikih, tafsir, hadits, dan kalam. Dengan bahasa, istilah dan warnanya yang khas, tasawuf berdiri tegak. Bahkan tidak jarang hanya kalangan sufi saja yang dapat memahami prilaku serta terma-terma yang diangkatnya. Periode ini juga dikenal dengan periode kasyf dan fana'. Sedangkan tokoh-tokoh dari masa ini dapat diwakili oleh al-Qusyairi, Suhrawardi al-Baghdadi, al-Hallaj yang kemudian pada abad kelima diteruskan oleh al-Ghazali. Yang terakhir inilah yang kemudian berhasil menjadi lambang dari sufisme terutama dari kalangan Sunni.

Pada pertengahan abad keenam dan ketujuh hijriah tasawuf kembali menemukan pengalaman baru. Persentuhan tasawuf dengan filsafat berhasil mencetak tasawuf menjadi lebih filosofis yang kemudian dikenal dengan istilah teosofi. Dari sinilah kemudian muncul dua varian tasawuf; Sunni dengan coraknya yang amali dan Falsafi dengan corak iluminatifnya. Adapun tokoh-tokoh teosofi abad ini adalah al-Surahwardi al-Maqtul (549 H.) Ibn Arabi (638 H.), Ibn al-Faridh (632 H.).

Selain itu pada tahap ini, tasawuf juga mengalami masa-masa kritis dan kemunduran. Fenomena syarah, ta'liq, hawasyi adalah saksi dari kemunduran itu. Para sufi tidak lagi bebas dan kreatif seperti para pendahulunya, bahkan mereka lebih cenderung hidup dalam aliran-aliran tasawuf yang sudah ada.

A. Zuhud; Embrio Tasawuf Islam

Berkaca pada pembacaan historis atas tasawuf dan perkembangannya baik yang dilakukan oleh sarjana Muslim semisal Afifi, Musthafa Hilmi, Abu al-Wafa al-Taftazani dsb., ataupun sarjana barat seperti Goldziher, Nicholson, Massignon dan lain-lain, dapat diambil kata sepakat bahwa zuhud adalah fenomena pertama dari kemunculan tasawuf. Setidaknya fenomena tersebut ramai terjadi pada dua abad pertama hijiriah, abad pembetukan epistemologi pemikiran Islam.

Jika kita lacak secara cermat maka praktek-praktek zuhud yang berkembang di dua abad pertama tersebut adalah hal yang lumrah dan dapat ditemukan pembenarnya. Meski secara tersurat istilah zuhud tidak terdapat dalam al-Qur`an (kecuali hanya satu dan itupun bukan dalam konteks tasawuf), tetapi banyak sekali ayat-ayat yang secara tersirat mengindikasikan hal itu.

Selain al-Qur`an, sunnah juga memiliki peranan yang penting dalam tema zuhud ini, bahkan bisa dikatakan, sunnah baik yang qouli maupun fili, adalah ornamen terpenting dalam tasawuf. Dari sinilah kemudian terbentuk sebuah komunitas sufi pertama dalam Islam, yaitu komunitas Madinah yang menjadikan Nabi sebagai sosok sufi.

Sebagai periode yang bergumul langsung dengan sosok Nabi, para sahabat tentu banyak mengilhami dan menjiwai tindak-tanduk Rasul. Jadi, sunnah Nabi adalah salah satu sumber utama dari konsep tasawuf yang kemudian berkembang pesat pada pertengahan abad ketiga dan keempat hijriah, abad kodifikasi keilmuan Islam.

Dari sini kemudian muncul terma zuhud dengan definisinya yang islami. Dalam pandangan Islam, zuhud bukanlah upaya untuk memusuhi dunia materi dan harta. Zuhud dalam Islam tidak seperti istilah kependetaan dalam Yahudi dan Kristen. Zuhud bukanlah uzlah, dalam artian menjauh dari hiruk-pikuk bumi dan berada dalam kesendirian serta tidak menghiraukan kehidupan sosial. Oleh karena itu kesimpulan para sarjana barat yang menyatakan bahwa zuhud, sebagai konsep dasar tasawuf Islam, memiliki ketersinggungan dengan konsep Kristen tidaklah sepenuhnya benar. Jikapun persinggungan itu ada, tentu saja hal itu tidak menafikan orisinalitas konsep zuhud Islam. Bahkan persinggungan itu bisa dibaca sebagai pergesekan yang saling melengkapi, mengingat Islam adalah agama penutup, agama penyempurna dari agama-agama semitis terdahulu.

Melihat pada praktek zuhud yang terjadi pada dua abad pertama ini, orisinalitas konsep itu benar-benar dapat dirasakan. Pada masa sahabat sosok Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin 'Auf misalnya- adalah teladan dari praktek zuhud itu. Dengan kekayaan, kedudukan dan kemewahan yang dimilikinya mereka tetap dianggap sebagai zhid dalam pengertian yang sebenarnya menurut Islam. Artinya Islam benar-benar memiliki konsep itu, tanpa harus dicurigai bahwa terdapat penyusupan konsep.

Jika demikian maka zuhud dalam Islam bukanlah meninggalkan dunia, tetapi upaya memposisikan dunia sebagai pelengkap bukan tujuan. Tidak ada satu ajaran Islam pun yang menganjurkan umatnya untuk miskin dan fakir. Hadits masyhur yang berbunyi "berbuatlah untuk duniamu seakan engkau akan hidup selamanya dan persiapkanlah akhiratmu seakan engkau akan mati esok", adalah penampakan dari persepsi di atas, tentunya selain al-Qur`an sebagai induk ajaran agama ini. Artinya zuhud bukanlah kemiskinan, kemelaratan dan kesengsaraan. Zuhud dalam pengertian sufi adalah terbebasnya manusia dari belenggu syahwat dan dunia. Dalam keadaaan zuhud manusia akan merasa merdeka, ia tidak dikuasai oleh sesuatu dan di saat yang sama ia (secara hakiki) tidak memiliki sesuatu. Oleh karena itu pepatah sufi yang mengatakan bahwa zuhud hanya dapat dicapai bersama dengan kekayaan serta kemewahan dan tidak ada zuhud dalam kemiskinan adalah benar adanya.

B. Zuhud dan Revolusi Sosial

Seperti yang penulis sitir di atas bahwa praktek zuhud mulai merebak sebagai sebuah gerakan yang yang lumrah pada masa Nabi dan sahabat. Konsep keserdehanaan yang diajarkan Nabi telah mewabah sebagai gerakan yang positif dan berhasil menciptakan pribadi-pribadi yang ideal. Namun demikian pada masa-masa ini gerakan-gerakan zuhud lebih dikenal sebagai gerakan yang lebih defensif dan tidak menggejolak. Hal ini disebabkan oleh stabilitas sosial dan politik yang terkesan cukup ayem dan stabil. Kondisi semacam ini sedikitnya terjadi sampai akhir kepemimpinan khalifah kedua, Umar bin Khattab Ra.

Memasuki generasi ketiga, yaitu generasi Utsman bin Affan ra., secara gradual kondisi intern umat Islam mulai tampak berbeda dengan sebelumnya. Ada pergeseran berarti yang terjadi pada masa-masa ini baik dalam ranah sosial maupun politik. Gemilangnya futht (daerah kekuasaan, red) yang terus mulus dari akhir kepemimpinan Abu Bakar Ra., masa Umar dan seterusnya, turut mengubah nasib sosial umat Islam. Demikian pula dengan politik. Gosok-gesek politik yang kerap terjadi di lingkungan Islam berawal dari terbunuhnya Utsman, Ali dan seterusnya telah mengubah segalanya. Hal ini ditambah lagi dengan perubahan yang terjadi pada gaya kepemimpinan Islam yang saat itu beralih ke tangan Bani Umayyah.

Dalam kondisi yang terus bergejolak dan sesekali memanas ini, zuhud sebagai representasi dari tradisi lama mulai mendapat tantangan. Artinya sebagai sebuah ajaran dan konsep, zuhud benar-benar dihadapkan pada realita yang berlawanan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mampukah konsep zuhud tersebut meredam pergolakan kekuasaan, melimpahnya materi sebagai hasil dari futht, pertumpahan darah hingga asimilasi antar peradaban yang tidak dapat dihindarkan? Pada paragrap berikut ini kita akan mencoba memberikan ulasannya.

Sejauh ini, sejalan dengan kesimpulan para peneliti tasawuf, penulis menemukan adanya perubahan yang signifikan dalam gaya dan penampilan zuhud utamanya pada masa khalifah Umawiyah, minus kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz. Pada masa ini gerakan-gerakan zuhud terlihat lebih variatif dan agresif, dan bukan hanya dalam perwajahan yang kalem semisal uzlah dan wara' saja namun gerakan-gerakan aksi yang sporadis pun kerap terjadi sebagai bentuk dari oposisi yang sehat atas penguasa. Dengan zuhud mereka berusaha meredam gejala hura-hura yang sudah mulai menjangkiti masyarkat. Salah satu bentuk itu adalah gerakan al-Tawwabn (aliansi orang-orang yang ingin bertaubat) yang dipimpin oleh Mukhtar al-Tsaqafi khususnya pada masa khlalifah Marwan. Gerakan ini merupakan reaksi atas peristiwa Karbala yang menewaskan Husein Ra., putra Ali Ra. Bahkan gerakan ini sampai pada tingkat mengangkat senjata yang akhirnya menjumput nyawa Mukhtar pada tahun 65 H. di Kufah.

Gerakan-gerakan semisal yang dipimpin Mukhtar merupakan gambaran atas kondisi yang kritis. Nilai-nilai moral yang sejak dini ditanamkan Rasul yang kemudian mengakar pada generasi pertama, kini tidak lagi bertahan. Kemewahan yang bergelimang terus mengikis tradisi zuhud, wara' dan keserdehanaan. Oleh karena itu di satu sisi gerakan-gerakan zuhud yang terus dilancarkan oleh Mukhtar adalah gerakan yang positif. Paling tidak usaha untuk mengembalikan dan menata kembali kondisi yang carut-marut (secara moral) telah dilakukan meski dalam bentuknya yang sporadis.

Hal ini sejalan dengan analisa Nicholson yang menyatakan bahwa gejolak sosio-politik yang terus menyelimuti umat Islam pada masa awal, telah berhasil merangsang perkembangan gerakan-gerakan zuhud pada masa itu. Nicholson berkata:

"Goncangan politik, perang saudara dan dekadensi moral yang terus terjadi pada masa ini (dari akhir masa Khulafa' hingga Bani Umayyah) telah merangsang munculnya gerakan zuhud yang terus menggeliat. Moralitas para pengausa yang mulai jauh dari nilai-nilai agama serta sistem pemerintahan yang tidak lagi menganut teokrasi juga menjadi penyemangat atas gerakan tersebut. Para zuhhd (tokoh-tokoh zuhud) meramaikan masa itu dengan mengakampanyekan zuhud sebagai jalan keluar atas kondisi ini dan agar dunia tidak membuat akhirat dilalaikan. Gerakan zuhud yang masih sederhana inilah yang kemudian menjadi motivasi atas lahirnya tasawuf Islam dalam bentuknya yang kita kenal sekarang. Gerakan ini pula yang selama masa Umayyah (661  750 M.) menjadi wajah dari kaum Ahlussunnah yang dikenal kemudian. Para pemuka dari gerakan ini adalah tokoh-tokoh sufi, para qurra', ahli hadits dan para agamawan yang dari sinilah gerakan ini menemukan bentuknya."

Demikianlah ulasan singkat terhadap cikal bakal tasawuf yang tidak lain adalah zuhud mulai dari masa Nabi hingga masa Bani Umayyah berikut perkembagannya yang juga sangat singkat. Ulasan yang secuil ini tentunya cukup untuk membantu dalam mengantarkan kita pada pembahasan lebih lanjut atas perkembangan embrio tasawuf ini hingga penjelmaannya yang paling mutakhir yaitu pada akhir abad kedua Hijriah. Karena seperti yang ditulis Dr. Ali Syami al-Nassar bahwa perkembangan gerakan zuhud yang merayap ke belahan wilayah Islam tidak dapat dilepaskan dari tanah kelahiran konsep tersebut yaitu Makkah dan Madinah, rumah sang Nabi.

C. Dari Zuhud Menuju Cinta

Memasuki generasi kedua (tabiin) gerakan zuhud mulai tampak lebih variatif. Bersamaan dengan beranjaknya para sahabat dari Madinah menuju kota-kota baru seperti Irak, Basrah, Kufah, Mesir gerakan-gerakan zuhud pun berkembang biak. Hal ini tentu disebabkan oleh usaha dan perjuangan para sahabat untuk mengajarkan al-Qur`an dan tradisi Madinah di wilayah baru tersebut.

Oleh karena itu, hemat penulis, sebagai upaya untuk mengetahui lebih mendalam tentang kehidupan spiritual dalam Islam kita perlu sedikit mengorek informasi seputar perkembangan kehidupan spiritual di berbagai belahan dunia Islam pada abad satu hingga dua Hijriah, meskipun hanya dalam skala yang umum. Hal ini urgen mengingat adanya perbedaan manifestasi dalam memahami tasawuf dan khususnya zuhud, meski sebenarnya ujung dan akarnya adalah yang sama.

Perjalanan intelektual yang kerap dilakukan oleh para sahabat memiliki andil tersendiri dalam penyebaran agama Islam. Karenanya tidak dapat dipungkiri bahwa cikal-bakal dari ajaran Islam yang tersebar di seluruh wilayah adalah Makkah dan Madinah, pusat para sahabat. Oleh karena itu dalam serpihan-serpihan paragrap berikut, penulis akan mencoba menghidangkan panorama sufi khususnya zuhud dalam lingkup abad pertama dan kedua hijriah. Namun penulis hanya akan bersafari di kota Basrah sebagai sebuah sampel-, untuk mengelilingi puing-puing Kota Lama itu seraya mengambil reruntuhan hikmah dari para sufi yang berserakan.

Secara historis dapat dilacak bahwa orang pertama yang meraba dinding kota Basrah adalah Abu Musa al-Asyari, yang diutus Umar bin Khattab untuk misi qur`ani, membumikan al-Qur`an (meminjam istilah Dr. Quraisy Shihab) di Basrah. Oleh karena itu tidak heran jika pada akhirnya sosok Abu Musa (dengan berbagai latar belakangnya) berhasil melukis dan mewarnai penduduk Kota Tua ini.

Selain mengajarkan al-Qur`an, Abu Musa juga menyisihkan waktu untuk mengajarkan nilai-nilai luhur al-Qur`an, sesuai dengan kondisi Basrah saat itu. Mungkin, pola hidup materialis dan hedonis yang berkembang di Basrah menuntun Abu Musa untuk mengedepankan tema-tema zuhud, khauf, tangisan, yang akhirnya menjadi umum di kalangan masyarakat Basrah. Demikianlah, di samping pembangunan fisik kota Basrah (terutama pada saat menjabat Gubernur), Abu Musa juga telah menanamkan ajaran dan pokok-pokok keserdehanaan yang nantinya menjadi cikal-bakal lahirnya konsep tasawuf.

Semenjak itulah, tokoh tokoh zuhud mulai bermunculan seperti Amir bin Abd Utbah dengan revolusi spiritualnya, Harm bin Hayyan dengan khauf-nya, Ahnaf bin Utbah dengan muhsabah dan sabarnya, Shillah bin Asyim dengan konsep kematiannya hingga tokoh perempuan Maadzah binti Abdillah. Semua tokoh-tokoh di atas adalah anak-anak didik Abu Musa al-Asyari.

Dari sinilah kemudian muncul tokoh sufi Basrah yaitu Hasan al-Bashri dengan coraknya yang khas, yang ditangannya ajaran-ajaran tasawuf banyak terkonsep. Selain itu pada masa Hasan al-Bashri pula gerakan-gerakan tasawuf (zuhud) mulai memiliki bentuk dan institusi yang mandiri. Perkumpulan hingga sekolah-sekolah mulai ramai. Artinya gerakan zuhud tidak lagi bersifat reaktif seperti yang kita ketahui sebelumnya, namun sudah menjadi gerakan yang aktif, kontinyu serta terpusat. Salah satunya adalah madrasah Hasan al-Bashri.

Tokoh ini diakui oleh banyak kalangan sebagai pengembang dari konsep zuhud, terutama lewat konsep khauf. Oleh karena itu tidak heran jika nama Hasan al-Bashri menjadi begitu akrab dan melegenda di kalangan umat Islam secara umum dan kalangan sufi dalam skala yang lebih khusus. Oleh karena itu ada baiknya jika kita turut menelusuri pemikiran-pemikiran sufi Hasan al-Bashri untuk melengkapi dan mengetahui kematangan konsep zuhud di abad ini.

Dalam Hilyal al-Auliy` karya Abu Naim disebutkan bahwa Hasan al-Bashri adalah tokoh yang selalu ingin meneladani nilai-nilai luhur para pendahulunya yaitu para sahabat. Dalam pandangan para sahabat dunia ini tak ubahnya sebuah debu yang melekat di kaki, ia ringan dan bukanlah sebuah beban. Bahkan dalam Hilyat al-Auliy` disebutkan pula: Aku melihat seseorang yang hari-harinya hanya ditemani oleh sepotong makanan, lalu ia berkata: Aku tidak akan memenuhi perutku dengan makanan ini, sebagiannya akan ku makan dan sebagian yang lain akan ku hamparkan di jalan Allah.

Dengan mengaca pada pendahulunya ini, Hasan al-Bashri banyak mengilhami konsep zuhud. Dari sini lahirlah konsep khauf (takut) dan huzn (kesedihan) yang akhirnya menjadi ciri dari Hasan al-Bashri. Bagi Hasan al-Bashri, dunia ini sangatlah singkat, tidak ada waktu yang tersisa untuk tertawa dan lalai. Yang terbesit dibenak Hasan al-Bashri hanyalah kesedihan, sedih melihat kenyataan hidup dan sedih atas kesilapan diri. Oleh karena itu Hasan al-Bashri selalu menjerit, bersedihlah!

Begitulah, dalam diri Hasan yang ada hanyalah ketakutan, ketakutan akan tergelincir dalam kubangan dunia. Ia berkata, Wahai anak manusia, engkau adalah bilangan, jika sehari telah lewat maka sebagian dari dirimupun telah sirna.

Hasan al-Bashri benar-benar telah menjadi bapak sufi zamannya. Dengan tempaan dan perjalanan spiritual yang dialaminya, ia menjadi tokoh terdepan dalam tasawuf. Meski sebenarnya ia sadar bahwa apa yang dikumandangkannya membutuhkan sebuah proses yang panjang. Sebuah proses yang meminta untuk terus diasah dan diruncingkan setiap saat, setiap waktu.

Meski demikian Hasan al-Bashri terus melakukan pembelajaran dan penularan atas lika-liku spiritualnya. Konsep tentang zuhud, katakutan, kesedihan, pembersihan hati, muhsabah telah menjadi bagian dari hidupnya. Hasan al-Bashri -dengan konsep dan tema-tema di atas- yakin bahwa tasawuf dapat menjadi alternatif atau bahkan solusi atas problematika yang menyelimuti masyarakat. Baginya zuhud adalah revolusi dan sikap protes atas materi dan dunia. Dengan zuhud Hasan al-Bashri kembali mengetuk dan menghentak-hentak kesadaran manusia, bahwa di samping dunia dan materi ada dimensi yang tidak dapat dinegasikan yaitu ruh dan jiwa.

Itulah salah satu dari sekian banyak panorama sufi pada masa-masa awal Islam yang tidak lain adalah zuhud. Di tengah-tengah kegalauan, kebimbangan, dan kebingungan atas berbagai gocangan sosial, ekonomi dan politik, kaum sufi hadir dengan menyentuh segumpal daging yang idz shaluhat shaluha al-jasadu kulluhu, wa idz fasadat fasada al-jasadu kullu, ia adalah hati.

Selain panorama-panorama di atas masih ada lagi gerakan-gerakan sufi yang muncrat ke permukaan tentunya dengan tokoh, pandangan serta ciri khas yang lain. Walaupun begitu tujuan dan misi serta motivasinya tidak berbeda dengan yang sudah-sudah. Yaitu sebagai sebuah dering yang dapat membangunkan kesadaran manusia dari tidur panjang sebab bius dunia. Panorama itu adalah cinta.

Jika ditelusuri secara historis maka akar-akar terma cinta dalam tradisi sufi juga berasal dari genersi awal. Namun bila ditelusuri lebih lanjut, ternyata terma cinta adalah kepanjangan dari madrasah Hasan al-Bashri, layaknya zuhud. Hal ini dapat dinalar karena abad pertama adalah periode kelahiran dan pembentukan sedang abad kedua adalah masa perkembangan dan pematangan. Dengan demikian dapat dipahami pula bahwa tasawuf adalah sebuah kebutuhan sosial yang terus berkembang secara evolutif dari waktu ke waktu seiring dengan jeritan dan tuntutan zamannya.

Di masa ini lolongan cinta keluar dari para bid, zuhhd serta wudh. Hal ini adalah wajar mengingat ibadah adalah satu-satunya tali yang menghubungkan antara hamba dan Tuhannya secara langsung. Lewat ibadah manusia benar-benar merasakan kehadiran Tuhan. Dari ibadah inilah kemudian muncul cinta dan rindu, rindu akan kehadiran dan kebersamaan Tuhan. Dengan demikian para sufi, setelah menjalani proses ibadah hingga menjadi seorang bid, maka terminal selanjutnya adalah cinta. Jadi hubungan kasih yang terjalin antara hamba dan Tuhannya bukanlah pertalian cinta yang liar, tanpa ada ikatan dan manifestasi. Relasi antara muhibb dan mahbb hanya dapat dicapai setelah menjalani ikatan bid dan mabd. Kesimpulan ini tentu sangat berdasar, terutama jika ditilik dari catatan sejarah yang menyatakan bahwa tidak ada seorang pejuang cinta pun dalam dunia sufi yang tidak berangkat dari ibadah.

Khalid bin Abdullah al-Ashri berkata, Wahai saudaraku, adakah diantara kalian yang tidak rindu akan kekasihnya, maka cintailah Tuhanmu dan gapailah Ia dengan jalan yang mulia (ibadah).

Pendekar-pendekar cinta pada masa ini sangatlah banyak dan bervariasi. Oleh karena itu penulis akan menghadirkan cuplikan perjalanan cinta dari beberapa tokoh sufi sebagai langkah awal menuju tokoh sufi perempuan, Sang Dewi Cinta, Rabiah al-Adawiyyah. Hal ini cukup penting mengingat akar-akar konsep cinta Rabiah lahir dari tokoh-tokoh cinta pendahulunya.

Adalah Abdul Wahid bin Zaid (w.177 H.), seorang pecinta buta. Zaid adalah salah satu tokoh zuhhd kota Basrah. Abu Naim dalam Hilyat al-Auliy` menyebutkan, Ia adalah sosok yang tak pernah terikat, ia adalah pemburu, pemburu cinta.

Bagi Zaid cinta adalah puncak ibadah. Menurutnya aral apapun yang dapat menghalangi cinta harus dihempaskan dan dikubur. Ia berkata: Jika engkau bercinta, maka ketahuilah dengan sebenar-benarnya dan bangunlah tembok baja yang dapat memisahkan dirimu dari pengoda-penggoda.

Dengan demikian, secara historis Abdul Wahid bin Zaid dapat digolongkan pada pelopor gerakan cinta dalam sufi. Cinta adalah pucuk dari perniagaan manusia di dunia. Menurut al-Siraj al-Thusi, Zaid termasuk golongan pertama yang menggunakan istilah sufi. Baginya sufi adalah mereka yang berjalan dengan akal, duduk dengan hati dan menjaga dirinya dari kepungan nafsu.

Selain Abdul Wahid bin Zaid, pejuang cinta yang lain adalah Utbah al-Ghulam, Sang Pecinta Mati. Dia Adalah suhu dari Rayyah bin Amru al-Utbahi yang nanti akan menjadi ruh dari Rabiah al-Adawiyah. Ghulam adalah sosok sufi yang sederhana. Hal ini dapat dilihat dari jaritan-jeritan kesedihan dan tangisannya. Bahkan dalam sebuah kisah disebutkan bahwa Utbah menjalani hampir separo dari kehidupannya dengan kesedihan dan kesusahan. Ia berkata:

Seorang hamba dan pezahid adalah

Mereka yang rela mengosongkan perutnya untuk Tuannya

Mereka adalah sosok kelelawar-kelelawar

Melintasi malam-malam dengan mata telanjang

Kegalauan mereka adalah saat bercinta dengan Tuhannya

Hingga manusia tau bahwa mereka telah gila

Bagi Utbah kasih dan siksa Tuhan adalah sama. Karena baginya cinta telah mengubur segalanya. Ia bergumam: Jika (seandainya) Kau memukulku aku kan tetap mencintai-Mu, dan bila (seandainya) Kau membelaiku, maka cintaku juga tetap pada-Mu. Dalam kesempatan lain Utbah berkata: Saat hatiku telah dipenuhi cinta, tak ada dingin dan rasa panas.

Selain itu, menurut Utbah, cinta memiliki persinggungan yang erat dengan marifat. Menurutnya siapapun yang mengenal Tuhannya, maka ia akan mencintainya, siapa yang mencintainya akan memenuhi perintahnya, jika demikian maka ia telah mengagungkannya, karenanya ia akan bersanding disisinya.

Itulah sosok Utbah bin al-Ghulam yang sepanjang hidupnya ia tak pernah ceria. Dengan zuhud, tangisan, kesedihan hingga cinta, Utbah menjadi cukup populer dikalangan sufi. Akhirnya, tokoh yang semasa dengan Ibrahim bin Adham ini menyambut ajalnya pada 177 H. sebagai seorang syahid dalam sebuah pertempuran di Syam.

Dari wawasan singkat di atas sebenarnya- sudah dapat diterka bahwa dalam perjalanan sejarahnya, dari abad pertama hingga kedua, tasawuf mengalami perubahan yang luar biasa, dari zuhud menuju cinta. Hal ini mengindikasikan bahwa sekali lagi- tasawuf juga memiliki kepedulian terhadap keinginan zaman. Ia bergeliat, berproses dan bermetamorfosa bersama dengan aroma kehidupan yang terkadang manis, asin dan pahit.

Oleh karena itu pada bait-bait selanjutnya, penulis akan mengahdirkan tokoh sufi perempuan, Sang Dewi Cinta, Rabiah al-Adawiyah yang diyakini sebagai pembawa bendera cinta murni dalam dunia sufi, minimal pada dua abad pertama hijriah.

Rabiah adalah generasi kedua setelah Abdul Wahid bin Zaid, Utbah bin Ghulam dan Yahya al-Wasithy, seperti yang telah dikupas di atas. Rabiah juga memiliki kerabat-kerabat sufi yang satu generasi dengannya. Misalnya saja Rayyah bin Amr al-Qiaisi dengan pandangan khullah-nya, serta para pejuang cinta yang di masa itu dikenal dengan suf-sufi zindik.

Menurut Ali Syami al-Nassar, Rabiah adalah pembawa aliran cinta murni di kalangan sufi. Karenanya mempelajari liuk-liuk spriritualnya akan sangat menarik. Al-Hajwiri dalam Kasyf al-Mahjb bercerita: dalam sebuah kesempatan seseorang mengahampiri Rabiah dan berkata: mintalah padaku apa yang kau butuhkan. Rabiah menjawab: Aku benar-benar malu meminta-minta pada pemilik dunia ini, lalu bagaimana aku dapat memintanya pada bukan pemiliknya.

Jika pada masa-masa sebelumnya, tirakat-tirakat, tarian, tangisan dan ratapan sufi ditampilkan di dalam keramaian dan perkumpulan-perkumpulan maka berbeda dengan Rabiah. Bagi Rabiah ibadah, zuhud, ratapan bahkan ketakutan adalah ritual-ritual yang diam, yang harus dihidangkan dalam altar peribadatan yang intim dan dalam suasana yang hening. Itulah yang kemudian menjadi prinsip cinta Rabiah. Dalam lantunan puisinya yang masyhur itu ia berujar:

Wahai Dzat yang menjanjikan pada kekasihnya sebuah kerelaan

Engkaulah....Aku tak mengharapkan selain Engkau

Juga:

Aku mencintaimu, karena Engkau layak untuk dicinta

Selain itu Sang Dewi Cinta juga memiliki pandangan-pandangan baru seputar tema-tema tawdhu, riya, taubat, ridha dan sebagainya. Dalam taubat misalnya Rabiah berpandangan bahwa hanya Allah yang dapat memberi taubat pada seorang hamba. Jika Dia berkenan maka Dia akan memberi taubat, jika tidak maka tidak.

Dalam terma ridha misalnya, seperti yang ditulis al-Kalabadzi dalam al-Taarruf li Madzhab Ahli Tashawwuf bahwa dalam pandangan Rabiah ridha harus dipenuhi oleh dua pihak yang saling berhubungan. Rihda tidak boleh dipaksakan dan berlaku sepihak saja. Pandangan Rabiah ini sejalan dengan ayat al-Qur`an: Radhiya Allahu anhum wa radhu anhu.

Dari sekelumit kehidupan sufi Rabiah ini para pemerhati sufisme baik Muslim maupun Orientalis seperti R.A Nicholson menyimpulkan bahwa sisi inovatif dari Sang Dewi Cinta adalah kemampuannya dalam mengemas zuhud dengan kemasan yang lain dari pendahulunya. Jika Hasan al-Bashri berhasil memproses zuhud menjadi khouf, maka Rabiah telah memolesnya dengan nuansa cinta. Demikian pula dengan Musthafa Abd. Raziq yang mengatakan bahwa Rabiah adalah orang pertama yang merangkai ritual-ritual sufi dengan lantunan-lantunan cinta dan rindu. Itu adalah hal yang tidak ditemukan sebelumnya.

Akhirnya, meski dalam kapasitas yang begitu singkat, dengan menampilkan Basrah pada dua abad pertama beserta tokoh-tokohnya, kita telah memiliki gambaran, yang mungkin juga buram, bahwa peralihan manifestasi tasawuf dari ibadah, zuhud, khuof dan kemudian cinta adalah petanda akan kehadiran nuansa spiritual dalam masyarakat Muslim. Sehingga menjadi penting bagi kita untuk mengetahui lebih jauh sentuhan-sentuhan sufi dalam tahapan dialektisnya, utamanya sebagai sebuah gerakan spiritual yang membawa gerbong revolusi.

D. Tasawuf dan Revulusi Spiritual

Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa tasawwuf, -dengan kaca mata yang lain dalam melihat Tuhan, semesta, dan manusia serta relasi antara masing-masing-, adalah satu-satunya penampakan dari dimensi spiritual dalam Islam. Oleh karena itu jika kita ingin mengetahui sejauh mana peran nilai-nilai spiritual dalam mewarnai dialektika antara Tuhan, alam dan manusia maka memahami tasawuf adalah sebuah keharusan. Bahkan jika kita ingin mengetahui sedekat apa hubungan antara Islam dengan agama-agama lain maka tasawuf merupakan pintu masuknya.

Oleh karena itu bisa dibayangkan jika agama Islam hadir tanpa nuansa tasawuf. Boleh jadi Islam akan menjadi ornamen-ornamen yang simetris dan kaku seperti yang dihadirkan oleh para pejuang fikih dan para teolog, yang sama sekali tidak menyentuh intuisi manusia. Oleh karena itu wajar jika al-Ghazali bergumam bahwa tasawuf adalah al-munqidz min al-dhall.

Karenanya, bila kita kembali merunut fenomena spiritual dalam Islam sebagaimana pasal-pasal di atas- kita akan benar-benar yakin akan urgensi tasawuf dalam agama ini. Dengan tidak membebek para pejuang fikih dalam melihat dunia, dan para teolog dalam memotret agama serta tidak membonceng pada para filsuf dalam mengintip hakekat Tuhan, tasawuf telah menjadi alternatif terpenting, meski bukan satu-satunya. Dari bahan dasar inilah, kita dapat mengagguk-angguk mengapa para sufi sering mencabik-cabik dan menyentuh kesadaran manusia lewat tema-tema zuhud, cinta, kasyf, marifat, hakekat , fan, karmah, wilyah, hingga wihdah al-wujd, wihdah al-adyn (unity of religion) dsb. Lewat perantara tema-tema itulah para sufi hadir dengan mengacungkan bendera revolusi di tengah-tengah kehidupan, dan habitat keberagamaan kita.

Dapat kita buktikan, bagaimana para tokoh-tokoh sufi, pada periode awal misalnya, dengan begitu keras dan lantang meneriakan zuhud. Dengan melihat al-Qur`an dan sesekali menatap realita para sufi memutuskan untuk menyerapah dunia dan mengosongkan hati darinya. Dalam al-Qur`an disebutkan:

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرّاً ثُمَّ يَكُونُ حُطَاماً وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ. (الحديد 20.)

Artinya: Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhisan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tamanan-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (Q.S. al-Hadd 20)

Bertolak dari ayat ini dan ayat-ayat yang memiliki ruh yang sama, lahirlah benih-benih revolusi spiritual dengan makna dan manifestasi di atas-. Yaitu pentingnya melihat ulang dunia dengan menjadikannya sebagai jembatan menuju kehidupan yang lebih kekal. Hingga zuhud berkembang menjadi khauof dan al-hubb (cinta) misi revolusi itu terus berjalan dengan tantangan dan medan yang berbeda.

Demikianlah sekilas dari perjalanan tasawuf dalam cakupan dua abad pertama hijirah lewat manifestasi zuhud, khuof dan cinta serta pergolakannya dalam bingkai dialektis antara tasawuf dengan problematika zamannya. Perjalanan ini memang masih panjang, apalagi tasawuf dengan revolusi spiritualnya terus merayap dan tidak akan pernah berhenti mengikuti sayap-sayap zaman dengan wajah yang berbeda-beda. Jika kita dipaksa untuk mengikutinya entah berapa umur yang dibutuhkan, meski kita telah berlari untuk mengejar. Namun penulis tetap berharap di suatu kesempatan- dapat menghadirkan keindahan sufi itu, dengan ufuk yang lain tetapi dalam frame yang sama yaitu membaca tasawuf sebagai sebuah revolusi spiritual dalam Islam.

Daftar Pustaka:

1. Ibnu Khaldun, al-Mukaddimah, Dr al-Jail, Beirut t.t.

2. Abu al-Wafa al-Taftazani, Madkhal Il al-Tasaawuf al-Islmi, Dr al-Tsaqfah li al-Nasyr wa al-Tauz.

3. Renold Nicholson, F al-Tasawwuf al-Islmi wa Tarikhuhu.

4. Ali Syami al-Nassar, al-Tfkr al-Falsaf Fi al-Islm, Dr al-Maarif, Kairo.

5. R.A. Nicholson, al-Shfiyah fi al-Islm, Alih Bahasa Nuruddun Syuraibah, Maktabah al-Khanji, Kairo, 2002.

6. Abu al-Wafa al-Taftazani.

7. Abu al-Ala Afifi, al-Tashawwuf al-Tsaurah al-Rhiyah fi al-Islm, Dr al-Marif, Kairo, 1963.



Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates