Selasa, 24 Mei 2011

Interakrif Bersama Mufti Mesir Dr. Ali Jum'ah


Penulis : danial 

1. Hukum Suami menghajikan Istri

Apakah wajib bagi seorang suami menghajikan istrinya? Dan apakah boleh suami memakai uang istrinya untuk berangkat haji?

Jawab: seorang suami wajib memberi nafkah kepada istrinya. Dan ibadah haji bukanlah termsuk nafkah yang harus diberikan suami kepada istrinya. Salah satu syarat wajib haji adalah, mampu. Jika si istri tidak memiliki bekal yang cukup untuk haji, maka ia tidak wajib melaksanakan ibadah haji. Namun, jika suaminya memberinya bekal, maka ia akan mendapat pahala, sebesar pahala hajinya.

Adapun seorang suami yang memakai harta istrinya dengan cara yang tidak baik, maka ia berdosa. Karena property seorang istri adalah independen. Namun jika ia menerimanya dari istri dengan lapang dada, maka hal tersebut adalah baik dan berpahala.

Sah kah haji sseorang perempuan yang masih dalam masa iddah, karena ditinggal mati suaminya?

Jawab: dalam syari'at islam, seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya, wajib melaksanakan iddah selama empat bulan sepuluh hari, sesuai dengan ayat 234 dalam surat al-Baqarah. Namun apakah as-sukna (berdian diri di rumah) termasuk dari proses iddah? Dalam hal ini para fokoha berbeda pendapat:

a. Jumhur ulama dan para salaf berpendapat bahwa: berdiam diri di rumah adalah bagian dari iddah. Jadi seorang wanita tidak boleh bepergian selama masa iddah, termsuk di antaranya melaksanakan ibadah haji.

Dalil: Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwatta', Imam Syafi'I, Imam Ahamd, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa'I dan Ibnu Majah serta Ibnu Hibban dari hadis Furai'ah binti Malik bin Sinan bahwa rasul pernah bersabda:

حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ سَعْدِ بْنِ إِسْحَقَ بْنِ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ عَنْ عَمَّتِهِ زَيْنَبَ بِنْتِ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ أَنَّ الْفُرَيْعَةَ بِنْتَ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ وَهِيَ أُخْتُ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَخْبَرَتْهَا :أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْأَلُهُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهَا فِي بَنِي خُدْرَةَ فَإِنَّ زَوْجَهَا خَرَجَ فِي طَلَبِ أَعْبُدٍ لَهُ أَبَقُوا حَتَّى إِذَا كَانُوا بِطَرَفِ الْقَدُومِ لَحِقَهُمْ فَقَتَلُوهُ قَالَتْ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِي فِي بَنِي خُدْرَةَ فَإِنَّ زَوْجِي لَمْ يَتْرُكْنِي فِي مَسْكَنٍ يَمْلِكُهُ وَلَا نَفَقَةٍ قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ قَالَتْ فَانْصَرَفْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي الْحُجْرَةِ نَادَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أَمَرَ بِي فَنُودِيتُ لَهُ فَقَالَ كَيْفَ قُلْتِ فَرَدَّدْتُ عَلَيْهِ الْقِصَّةَ الَّتِي ذَكَرْتُ لَهُ مِنْ شَأْنِ زَوْجِي فَقَالَ امْكُثِي فِي بَيْتِكِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ قَالَتْ فَاعْتَدَدْتُ فِيهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا.
b. Pendapat sebagian ulama/ pendapat sebagian sahabat dan tabi'in bahwa : berdiam di rumah bukan termasuk dari iddah yang diwajibkan. Maka ia boleh untuk keluar rumah baik haji maupun umrah.

Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ali bin Abi Talib, Ibnu Abbas, 'Aisyah, Jabir bin Abdillah juga dikuatkan oleh Hasan al-Bashri, Jabir bin Zaid, 'Atho bin Abi Rabah dan pendapat Dzahiriyah. Dalilnya adalah; bahwa ayat al-qur'an (surat al-Baqarah di atas) tidak mewajibkan berdiam diri di rumah. Dan hadis di atas dianggap dhoif. Namun, jika hadis tersebut dianggap sah, maka hadis tersebut tergolong dalam hadis yang kontekstual.

Akhirnya, meski pendapat jumhur ulama yang paling kuat, karena berdasar pada hadis shohih, namun bukan berarti pendapat tersebut mutlak harus diambil. Karena ada kaidah yang berbunyi: la yunkaru al-mukhtalaf fihi wa innama yunkaru al-muttafaq alaihi. Maka, diperbolehkan mengambil pendapat yang membolehkan. Dengan demikian ia boleh berhaji, atas dasar pendapat sebagian ulama itu. Terlebih jika dimungkinkan kesempatan haji tidak akan terulang atau bahkan ia sudah membayar biaya haji. Sehingga, baik ulama yang melarang atau yang membolehkan, sepakat bahwa hajinya dihukumi sah.

2. Berhaji untuk orang lain

Pertanyaan: Saya diberi biaya oleh anak untuk berhaji. Bolehkah haji yang saya laksanakan itu untuk orang tua saya?

Jawab:
Haji untuk orang lain, dapat menggunakan biaya dari yang berhaji, atau dari yang dihajikan atau dari orang lain. Dan setiap pihak tang terlibat dalam amal tersebut akan mendapat pahala dari Allah sesuai dengan usahanya.

Oleh karena itu, menghajikan orang lain dengan biaya dari orang lain pula, tidak apa-apa/boleh. Dan hajinya sah. Dan Allah akan memberi pahala bagi masing-masing mereka.

3. Hutang untuk Ibadah Haji

Pertanyaan: Bolehkah hutang untuk menunaikan ibadah haji
Jawab: Ulama sepakat bahwa seseorang tidak wajib berhutang untuk menunaikan ibadah haji. Dalam al-Majmu Syarh Muhadzab juz 7 hal 74, Imam Nawawi berkata:
قد قدمنا انه لا يجب عليه استقراض مال يحج به بلا خلاف
Ulama sepakat bahwa seseorang tidak wajib berhutang, untuk tujuan haji.

Meski demikian, seseorang diperbolehkan untuk berhutang jika ia memilki keyakinan bisa membayar dan tidak akan membebani keluarganya.

Sebagian ulama salafa bahkan melarang hal ini. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Syafi'I dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf, serta al-Baihaqi dalam 'as Sunan al-Kubra' dari Abdullah bin Abi Aufa. Namun, Ibnu Abdil Barr sebagaimana dalam 'at-Tamhid' meriwayatkan dari Sufyan as-Tsauri bahwa menurutnya : tidak apa-apa berutang untuk ibadah haji dengan syarat ia memiliki jaminan hingga dapat menggantinya.

Adapun pendapat para imam mazdhab, terutama mazdhab empat adalah:
a. Ulama Syafi'iyah: boleh berhutang jika ada jaminan dapat mengganti dan terdapat kerelaan dari si pemberi hurang.
b. Hanfiah: wajib hutang, jika ia telah melewatkan kesempatan berhaji (karena sudah mampu), meskipun ia tidak memiliki jaminana untuk menggantinya.
c. Malikiah: ada dua kemungkinan yaitu: makruh dan haram. Yaitu jika tidak ada kemungkinan bisa membayar.
Maka, hukum boleh dan tidaknya berhaji adalah tiga: a) haram (saat ia tidak mungkin untuk membayar. b). mungkin untuk membayar namun dengan susah dan dapat memberikan beban kepada keluarganya. c) Boleh jika tidak menimbulkan efek apa-apa. Namun, jika hal ini terjadi, maka haji yang dilakukan sah. Dan yang memberi hutang akan mendapat pahala dari Allah swt. 





Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates