Senin, 23 Mei 2011

Wanita Dalam Peradaban Islam


Penulis adalalah Anie Fitria WS

Al-Mar'ah atau yang biasa kita sebut wanita adalah salah satu dari sekian banyak makhluk Allah yang diberi mandat dan kepercayaan untuk tetap eksis di dunia. Menurut 'Biologycal Differences', wanita memang terlihat lemah apalagi jika dibandingkan dengan 'lawan jenis' nya yaitu laki-laki. Namun, apakah dalam 'Psycologycal Riset' juga berbeda?


Di sini penulis mencoba untuk mengambil tema "Al-Mar'ah" karena menganggap hal ini sangat menarik dan hangat untuk dibicarakan, selain juga ingin mencari sedikit pencerahan dari sekian banyak problematika yang berputar di sekitar makhluk yang bernama wanita ini. Karena, sudah menjadi 'Hukum Kehidupan' bahwasanya setiap perubahan atau perkembangan yang terjadi dalam sebuah komunitas sosial, secara otomatis akan berpengaruh pada setiap sendi-sendinya. Pun, perkembangan sosial akan selalu bergesekan dengan peradaban Islam sendiri khususnya pada obyek pembahasan kita kali ini, yaitu wanita.


Munculnya suatu golongan yang menyebut dirinya Feminis (yang kemudian masyhur dengan gerakan femenisme) yang dengan serta merta mengusung kesetaraan gender (baca; jender) merupakan salah satu riak peradaban, khususnya dalam konsep kewanitaan. Dan sudah seharusnyalah kita mampu menjawabnya, tetapi bukan untuk mencari pembenaran melain untuk mencoba mencari kebenaran. Karena dalam setiap hal yang mereka jadikan landasan untuk itu, selalu berpengaruh pada teks-teks keagamaan kita. Bahkan seakan telah dapat di'identifikasi, bahwa apabila kita mengangkat bahasan atau hanya sekedar menyinggung mengenai syahadah (persaksian), warisan dan kepemimpinan bagi wanita, hal itu pasti akan menjadi sesuatu yang sensitif sekali dan akan tetap 'in' untuk dicelotehkan.


Ala kulli hal, buku yang akan kita 'bedah' kali ini sangat ringkas menjelaskan tentang fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan wanita kontemporer. Tapi, al-Aham min al-Muhim, pemakalah berharap kita bisa mengambil dan 'mengolah' apa yang sebenarnya menjadi pokok inti bahasan pengarang.
Wanita dalam Prespektif Islam
Di sini akan coba diutarakan bagaimana Islam memandang wanita dari dua teks religius fundamentalnya:


1. Al-Qur`an


Sekelumit dari sekian banyak ayat-ayat al-Qur`an yang mencantumkan wanita mulai dari asal mula penciptaannya sampai peranannya dalam segala aspek kehidupan yang paling gress sekalipun.


Tentang persamaan asal mula penciptaannya dengan laki-laki termuat dalam surat Al- Nisa': " Wahai sekalian manusia, Bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu dan daripadanya Allah menciptakan istrinya dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan NamaNya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu".


Menurut telisik Abu Muslim al-Asyfahani: kata 'min' dalam ayat ini bukan bermaksud 'Ibtida', tapi lebih merupakan Li al-ibtida' al-ghayah. Karena, Apabila 'min' di sini hanya berfaidah 'Ibtida'. Otomatically, akan muncul pertanyaan mengapa Allah menciptakan Hawa hanya dari bagian apa yang Dia ciptakan (dalam hal ini tulang rusuk Adam)? Padahal, Jika kita merasionalisasikannya bisa saja muncul suatu argumen yang menyatakan dan mempertanyakan mengapa Allah tidak menciptakan Hawa juga dari tanah (seperti halnya Adam)?. Inipun jika hanya kita lihat dari sisi terminologi saja.

2. Al-Sunnah


Dalam sabda-sabdanya Rasulullah pun sangat menjunjung tinggi kemuliaan seorang wanita. Seperti dalam salah satu hadits yang meriwayatkan ketika ada salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah: Siapakah orang yang paling Engkau cintai Ya Rasulullah?.Beliau kemudian menjawab: Aisyah! (dalam riwayat lain: Fathimah).


Tapi, ada sebuah hadits yang secara kasat mata menimbulkan ambiguitas dan kontroversialitas. Yakni hadits riwayat Abu Sa'id al-Khudry yang berbunyi bahwasanya ketika Rasulullah keluar rumah untuk melaksanakan sholat I'ed al-Fitri beliau bersabda: Wahai Sekalian Perempuan! Aku tidak pernah melihatapa yang kurang dari agamamu mengalahkan akal laki-laki yang teguh. Mereka kemudian bertanya: Apa gerangan yang mengurangi akal dan agama kami Ya Rasulullah? Beliau menjawab: Bukankah kesaksian seorang wanita setengah dari laki-laki? Mereka jawab: Ya. Rasulullah menjawab: Itu sebagian dari berkurangnya akal kalian, Dan bukankah apabila kalian haid maka kalian tidak sholat dan puasa?. Mereka menjawab: Ya. Rasulullah kemudian berkata: Itu sebagian dari berkurangnya agamamu.


Apakah hadits ini relevan jika dikaitkan dengan kesamaan asal penciptaan wanita yang termaktub secara jelas dalam Al-Qur`an? Nah, kita temukan dalam dua teks fundamental Islam saja jika di'ramu' dengan rasionalitas kita dan pemikiran-pemikiran baru yang 'notabene' akan memberikan dan menorehkan warna-warni dalam sejarah peradaban Islam. Maka akan terbongkar pulalah betapa luasnya khazanah keislaman.

Wanita dalam Perspektif Turats Fikih.


Dari sisi 'Ushul', wanita dengan segenap live phenomenonnya tanpa basa-basi telah mengukir pertanyaan besar. Apalagi jika di'intip' dari segi 'furu' yang dalam hal ini sebut saja fiqh. Namun menurut Ali Jum'ah ada delapan tema, yang jika ditilik secara sekilas akan menimbulkan kesimpulan yang 'bias' jender. Namun bila diamati secara cermat maka kesan 'bias' tersebut akan dapat ditepis.


a. Warisan


Warisan menurut fuqaha' seperti Imam al-Syafi'i dan Qadli Afdlal al-Din al-Khunjy adalah sesuatu yang dapat dibagi setelah kematian seseorang yang mempunyai hubungan kerabat dengannya atau semacamnya. Seperti yang telah tercantum dalam al-Qur`an: "Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu dan bapaknya serta kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa".


Adapun tingkatan ahli waris menurut Ali Jum`ah dipengaruhi oleh 3 hal:
Hubungan kerabat antara warits dan mauruts.
Keadaan ahli waris.
Beban materi yang akan ditanggung ahli waris.
Pada poin ketiga ini muncul diferensiasi antara anak laki-laki dan perempuan. Mengapa bagian anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan? Itu, menurut Ali Jum`ah karena:
Anak laki-laki wajib memberi mahar.
Kaum laki-laki akan bertanggungjawab dalam menafkahi istri dan keluarganya kelak.
Terbebani anggota keluarga yang lain walaupun dia telah menikah.


b. Persaksian/Syahadah


Di dalam al-Qur`an disebutkan:"Dan persaksikanlah dengan dua orang laki-laki di antaramu. Jika tak ada dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridlai. Supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya". Yang lebih dulu harus kita garis bawahi di sini bukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam memberi kesaksian tetapi lebih kepada syarat-syarat untuk menjadi seorang saksi:
Adil dan teliti
Adanya hubungan antara saksi dan peristiwa
Tapi, meskipun begitu kembali timbul pertanyaan mengapa ada perbedaan antara kesaksian seorang laki-laki dan perempuan? Di sini Ali Jum'ah dengan 'riset terminologis'nya terhadap al-Qur`an, mencoba menjawab pertanyaan itu.


Jum'ah berpendapat bahwa yang menimbulkan ambiguitas dan kontroversialitas terletak pada kata 'Isyhad' dan 'Shahadah'. Jika 'Isyhad' diperuntukkan dalam hutang piutang. Sedangkan 'Shahadah' khusus bagi dua orang yang yang bersengketa. Hal itu senada dengan pendapat ulama lain semisal Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim, Muhammad Abduh dan Muhammad Syaltut yang menyatakan bahwa hal itu bukan karena diskriminasi antara laki-laki dan perempuan melainkan didasarkan pada peranan terbesar mereka (wanita) yang bukan pada bidang yang banyak membutuhkan persaksian.

c. Poligami


Berpoligami (tanpa adanya kaitan dengan kontradiksi yang ada) didasarkan pada firman Allah: "Dan nikahilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya". Tidak hanya dalam al-Qur`an, dalam Taurat (perjanjian lama) pun disebutkan: Dia (Sarah) memberi Abram (Ibrahim) seorang istri, serta dalam Injil pun tidak ditemukan adanya larangan untuk berpoligami.
Menurut Abdul Halim Muhammad Abu Syaqqah, syarat-syarat berpoligami adalah:
1. Mampu berbuat adil
2. Mampu memberi nafkah
3. Sanggup mengayomi dan bertanggung jawab atas isteri dan anak-anaknya
Seorang pemikir seperti Abduh merasa tidak yakin akan terpenuhinya 3 syarat pada masa ini terutama syarat pertama. Karena ditakutkan akan timbulnya permusuhan dan ketidakharmonisan dalam keluarga.


d. Hak Wanita dalam Memilih Suami


Khitbah adalah sebuah jenjang tertentu sebelum pernikahan. Islam juga memberi hak yang sama dalam memilih pasangan hidupnya. Oleh sebab itu, adanya paksaan baik dari orangtua ataupun pihak lain tanpa 'alasan yang kuat' sangat tidak dibenarkan.


e. Imam Wanita dalam Sholat


Mengapa wanita dilarang menjadi imam sholat bagi laki-laki? Ali Jum'ah menjelasakan 2 hal yang bisa menjadi tolak ukur kita mengapa hal itu bisa terjadi:
Jika kita terpaku pada realita yang ada, memang dalam sejarah belum pernah ada seorang wanita yang melakukan khutbah Jum'at dan menjadi imam sholat bagi laki-laki. Meski itu hanya didasarkan pada hadits dha'if.
Dalam konteks fiqh, 'Imamah' bagi wanita banyak menimbulkan kontradiksi dikalangan fuqaha. Pembesar 3 madzhab (kecuali Hambali) melarang wanita menjadi imam bagi laki-laki pada sholat fardlu dan sunnah. Tetapi, ulama lain seperti Abu Tsaur, Muzani dan Ibnu Jarir mensahkan adanya imam wanita dalam sholat sunnah. Tentunya dengan beberapa alasan yang me'rasio':
Wanita tersebut merupakan satu-satunya orang yang mampu membaca.
Mempunyai hubungan kerabat dengan para makmumnya
Telah berusia lanjut
Dan lain-lain.


f. Khitan Bagi Wanita


Memang secara tekstual Islam tidak mewajibkan adanya khitan bagi wanita. Walau Nabi sendiri tidak melarang ketika ada seorang sahabat yang melakukan hal itu pada anaknya seperti yang telah diriwayatkan oleh Abu Athiyah bahwasanya Nabi SAW bersabda: " Janganlah kamu merasa terbebani, karena sesungguhnya ini lebih utama dan lebih membahagiakan suami". Adanya praktek ini hanya didasarkan pada pertimbangan medis dan warisan adat saja. Tetapi di negara Mesir sendiri telah disahkan adanya undang-undang khitan ini sejak tahun 1997.


g. Hak Berpolitik Bagi Wanita


Walaupun menimbulkan pertentangan, Ali Jum'ah dalam bukunya tetap memberikan suatu ketentuan tentang di mana letak kebebasan berpolitik bagi seorang wanita dalam 4 bidang:
Hak memilih pemimpin
Hak bermusyawarah untuk kepentingan umat
Memimpin suatu pemerintahan
Penasehat hakim
Mayoritas ulama yang tidak menyetujui adanya hak memimpin bagi wanita mengambil dalil dari sebuah hadits bahwasanya "Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada seorang wanita". Oleh karena itu, dengan berpedoman pada hadits ini mereka berpendapat jika seorang wanita tetap menjadi seorang pemimpin maka itu jelas tidak dikuatkan oleh syariat dan mereka juga beranggapan bahwa posisi seorang pemimpin dengan segenap tugasnya tidak cocok dengan kondisi wanita.


h. Memukul Seorang Wanita dalam Islam


Konteks 'memukul' di sini hanya dipergunakan pada suatu hubungan pernikahan dan hanya boleh dilakukan pada saat 'genting' saja. Karena ini merupakan solusi terakhir jika sang istri tidak lagi memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri (nusyuz). Seperti yang telah tertuang dalam al-Qur`an: "Dan wanita-wanita yang kamu kawatirkan Nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka"a.
Bukan hanya dalam hal itu, kiprah wanita juga telah mendapat pengakuan sejarah. Karena sejak masa Nabi tidak sedikit yang menjadi seorang hakim, mufti, qadli dan lain sebagainya.


Wanita dalam Persepsi Non Muslim
Wanita jika ditinjau dari justifikasi dan persepsi non muslim (baik dari Yahudi, Nasrani, Bangsa Arab sebelum datangnya Islam yang menganggap wanita hanya sebagai pelengkap dan pembantu untuk kaum lelaki) memang seakan tidak memiliki hak yang konkret sebagai manusia. Bahkan sampai saat ini masih terlihat sangat jelas perbedaan antara pemberian hak dalam Islam dan peradaban yang terjadi khususnya di Barat.

Ket:Telaah Atas Teks, Turats Fiqh dan Realitas Sosial



Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates