Senin, 23 Mei 2011

HIKMAH, TAUHID, DAN TASAWUF


Penulis : Ust. Fuad Harun

Sebenarnya, paket studi tasawuf kali ini merupakan lanjutan yang sifatnya pendalaman dari kajian-kajian terdahulu. Oleh karena itu, kita memfokuskan kajian ini untuk memahami satu visi, yang dikenal dengan visi Ataillah.
Di dalam tasawuf dikenal dan dibahas, misalnya visi Hallajiyah, visi Ibnu Arabiyah, visi Gazaliyah, dan visi Ibnu Taimiyah. Yang dibahas saat ini adalah visi Attaillah. Pendiri tasawuf 'Attaiyah ini adalah Attaillah.

Lengkapnya, ada yang membaca al-Sakandari dan ada yang membaca al-Iskandari karena orangnya mukim di Iskandaria, Mesir, yaitu satu kota wisata yang dahulunya kota tasawuf. Sebelum menjadi kota tasawuf Iskandaria adalah kota filsafat di zaman Romawi, jadi berkembang dari kota tasawuf menjadi kota wisata, yang jauh lebih bebas daripada Pantai Kute, Bali.
Memang benar bahwa Attaillah adalah seorang ulama terkenal di dunia tasawuf, bahkan karyanya yaitu al-Hikam, dikenal di seluruh dunia Islam. Ia wafat pada tahun 1309 (abad ke 14 M); makamnya ada di Kairo, Mesir; dan masih ramai dikunjungi orang.

Buah karya dari Syekh Attaillah ini, salah satu cirinya adalah puitis. Jadi, al-Hikam itu boleh dikatakan merupakan himpunan hikmah-hikmah yang digubah secara puitis dan indah. Pembicaraannya berkisar masalah tasawuf karena memang tasawuf itu sendiri sebenarnya adalah suatu keindahan.
Kemudian, di dalam dunia modern ini disebutkan adanya salon-salon kecantikan. Tetapi, salon kecantikan yang kita coba kaji sekarang ini adalah salon kecantikan hati nurani. Salon kecantikan hati nurani itu adalah tasawuf.
Jadi tasawuf, saya gambarkan sebagai gedung. Dan, di dalam gedung tasawuf itu ada orang-orang yang ingin memperindah hati nuraninya, mempercantik, mempersolek, dan masuk di situ untuk dirawat.

Di dalam gedung itu berisi orang-orang profesional, yang dalam istilah tasawufnya disebut "Mursyid". Mursyid adalah orang-orang profesional, perawat kecantikan hati nurani. Mursyid yang profesional yang termasur di antaranya adalah Imam al-Hasan al-Syadzili, guru Ataillah al-Sakandari.

Mereka, para profesional salon kecantikan (Mursyid) itu tidak berasal dari satu aliran saja. Tiap-tiap aliran itu mempunyai metode-metode tertentu.

Jadi, kalau dalam salon kecantikan itu - dalam arti salon biasa - ada metode metode dari Paris, London dan Tokyo, maka model rambut pun berbeda-beda, bahkan sampai kepada bedak yang dipakai itu juga berbeda-beda.

Begitu pula, sebenarnya kalau kita umpamakan dengan dunia tasawuf, memiliki metode-metode yang berbeda beda. Metode-metode ini namanya "tarekat". Misalnya, ada tarekat Syadziliyah, yang berarti metode Imam al-Syadzili di dalam merawat kecantikan hati nurani; ada tarekat yang namanya Iskandariyah; ada tarekat Rifaiyah, dan banyak macam. Di Indonesia saja ada sekitar 40 macam tarekat. Jadi gambarannya seperti itu.

Metode memperindah dan mempercantik hati nurani, atau dalam bahasa tasawuf disebut "qalbu", jelas bermuara pada upaya mendapatkan pedoman hidup. Yang menjadi pertanyaan pokok adalah, di mana seseorang mendapatkan pedoman hidup sehingga hidupnya teratur dan diridlai oleh Allah SWT.?

Di dalam buku al-Hikam karya Syekh Ataillah - yang dikaji ini - dihimpun hikmah-hikmah atau kata-kata hikmah.
Yang dimaksud dengan kata-kata hikmah itu adalah kata-katanya ringkas dan padat arti. Dengan demikian, kelebihan al-Hikam adalah karena memakai rumus puitis, misalnya:

Nuqshon al rajaa' 'inda wujuud al zalal.
Jadi, memakai sajak dan enak didengarkan. Ini adalah pembuka dari buku al-Hikam. Ataillah, dalam rangkaian kata-kata puitis tersebut berbicara tentang hubungan antara kerja dan harapan.

Al-amal berarti kerja dan al-rajaa' berarti harapan. Bagaimana hubungan antara harapan dengan kerja, atau sebaliknya, bagaimana hubungan antara kerja dengan harapan, atau bagaimana interaksi antara harapan dengan kerja? Ia memulai pembicaraan dari situ. Ini satu kata-kata hikmah, singkat tetapi sarat isi. Oleh karena itu, kita harus mengkaji lebih jauh, apa itu "amal" dan apa itu "harapan".

Al-zalal itu pedomannya, tetapi saya belum mengkaji sampai ke sana, hanya memberi gambaran. Di sini, kita akan berbicara tentang moral dan akhlak sebagai pedoman hidup dalam kaitannya dengan al-Hikam. Dalam hal ini, ungkapan pertama dan isi dari al-Hikam, yaitu tasawuf.
Namun, di dalam rangka membicarakan moral dan akhlak sebagai pedoman hidup, maka yang terlebih dahulu dikaji adalah mengenai hikmah, mengenai tauhid, dan mengenai tasawuf. Jadi paket kita adalah "Hikmah, Tauhid, dan Tasawuf", sehingga kita harus mengerti kata-kata hikmah, tauhid, dan tasawuf.

Kata "hikmah" ditemukan sebanyak 20 kali di dalam Al-Qur'an. Salah satu ayat yang paling menonjol adalah Qs. al Baqarah, 2: 269, "Yu'ti al-hikmata man yasyaa' wa man yu'ta al-hikmata faqad uutiya khairan katsfiran" (Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak).
Jadi, memang kata-kata hikmah ini diungkapkan. Akan tetapi, ada lagi tambahan bahwa pengertian kata-kata hikmah adalah ahkama yuhkimu. Sebelum menjadi ahkama yuhkimu, maka mujarat tsulaatsinya berdasarkan pada sharaf (gramatika Bahasa Arab)nya adalah hakama yahkumu, kemudian menjadi ruba'i, yaitu ahkama yuhkimu, masdarnya adalah hikmah. Ahkama berarti memperkukuh, memperkuat, sedangkan hakama artinya menetapkan, menetapkan sesuatu, atau memutuskan.
Oleh sebab itu, ada istilah hakim. Hakim itu adalah bahasa Arab, kemudian menjadi bahasa Indonesia. Hakim artinya seseorang yang berwenang menetapkan sesuatu, memberikan vonis. Kemudian, proses lanjutan adanya hakim yaitu adanya hukum, adanya hukuman, adanya kepastian hukum, dan sebagainya.
Berbicara mengenai dunia hukum adalah berbicara mengenai dunia kepastian. Jadi, adanya kepastian itu memang diperlukan sebagai satu pedoman hidup. Orang yang hidupnya stabil adalah orang yang mempunyai kepastian. Orang yang tidak mempunyai kepastian akan terombang-ambing di dalam hidupnya, mudah dipermainkan oleh segala macam godaan.

Dengan demikian, orang yang mempunyai kepastian pandangan hidup adalah orang yang bersikap kukuh di dalam kepastian yang dia pegang. Itulah orang yang sukses hidupnya dalam pandangan tasawuf.
Tegasnya, orang yang memiliki keyakinan begitu kuat, sehingga tahan banting maka ia termasuk di dalam kategori yang namanya istiqaamah. Arti istiqaamah adalah kontinuitas, berkesinambungan beramal, atau konsisten betul.
Jadi, itulah yang menyangkut tambahan pengertian saya mengenai kata "hikmah". Dan, semuanya tergambar di dalam butir-butir kitab al-Hikam.
Himpunan hikmah-hikmah ini adalah salah satu buku standar di dalam ilmu tasawuf dan ini digunakan oleh dunia Islam di mana pun. Bahkan, banyak ilmuan yang hafal kitab al-Hikam ini.
Terakhir yang memberikan komentar yang up to date adalah Syekh Abdullah al-Syarkawi, salah seorang mufti di Mesir. Kira kira dua ratusan tahun yang lalu. Yang up to date syarahnya dan sekarang ditulis oleh Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud, Syekh al-Azhar yang telah wafat. Dia adalah guru Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Dia adalah syekh al-Azhar.

Di al-Azhar itu ada dua jabatan, yaitu Syekh al-Azhar dan Rektor al-Azhar. Syekh al-Azhar lebih tinggi daripada Rektor al-Azhar. Rektor itu hanya mengurusi soal administrasi, sedangkan syekh adalah tokoh ilmuwannya. Syekh al-Azhar itu di dalam protokoler negara Mesir sama dengan perdana menteri. jadi, terhormat sekali.
Sebenarnya, kitab al-Hikam adalah satu buku standar di dalam ilmu tasawuf. Tasawuf itu diibaratkan satu gedung yang indah, di dalamnya merupakan satu salon kecantikan untuk merawat kalbu atau hati nurani.
Hasil rawatannya itu disebut akhlaaq kariimah (moral yang luhur). Akhlak bisa mulia atau indah dan bisa buruk atau jahat. Begitu juga dengan moral, ada moral luhur dan ada moral bejad.
Jadi, moral itu acuannya, ada yang baik tetapi ada juga yang buruk. Begitu juga akhlak, ada akhlak yang mulia atau akhlaaq kariimah dan ada akhlak yang buruk atau akhlaq radii'ah.

Kemudian, ada istilah lain yang dipakai yaitu akhlaaq mahmuudah (moral yang terpuji) dan lawannya yaitu akhlaaq mazmuumah (moral yang tercela).
Akhlaaq (akhlak), padanannya di dalam bahasa asing adalah moral dan di dalam bahasa Indonesia adalah perilaku atau kelakuan. Kalau bahasanya yang dianggap modern adalah moral. Bahasa agamanya adalah akhlaaq.
Dalam hal ini, baik moral, perilaku maupun yang namanya akhlak' merupakan wujud sesuatu kondisi mental, yang dalam bahasa Arabnya disebut "haiatun fii al-nafsi". Bahkan, ditambahkan oleh para pakar dengan "haiatun raasihatunfii al-nafsi", yakni satu kondisi yang mantap yang mempengaruhi perilaku (moral). Dengan ungkapan lain, suatu kondisi mental yang mantap yang mempengaruhi moral orang.
Jadi, kalau yang mantap itu keburukan maka mentalnya menjadi buruk. Kalau yang mantap itu kebaikan maka moralnya menjadi luhur atau baik. Begitulah kondisi mental yang namanya moral. Dan, itu pula sebenarnya yang menjadi objek garapan dari ilmu tasawuf.

Untuk memudahkan penggambaran di atas, saya ingin memakai istilah dokter. Di dalam dunia kedokteran, seorang dokter selalu ingin menciptakan suatu kondisi kesehatan di dalam diri manusia. Dokter-dokter itu membantu menciptakan kondisi sehat di dalam diri manusia.
Pada dasarnya, manusia itu sehat tetapi karena berbagai faktor, misalnya, bisa dari faktor makanan, lingkungan dan bisa dari faktor air, maka kemudian manusia menjadi tidak sehat.
Demikian pula halnya dengan kondisi mental manusia yang pada dasarnya adalah baik. Hal ini ditegaskan di dalam QS. al-Tin (95): 4, "La-qad khalaqnaa al-insaana fii ahsani taqwiim" (Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik baiknya). Ayat ini menggambarkan kondisi mental manusia yang seimbang, sehat, dan baik. Tetapi, karena berbagai faktor, misalnya, ada faktor iblis, hawa nafsu, kawan, lingkungan, dan faktor pendidikan, maka semua itu bisa menimbulkan gangguan kepada mental yang pada dasarnya baik menjadi sakit.
Oleh sebab itu, Al-Quran banyak berbicara mengenai "fii quluubihim maradhun", yang berarti, di dalam hati nurani mereka (manusia) itu ada penyakit.

Jadi, tasawuf ini tugasnya adalah menggarap, yaitu yang pertama, melakukan diagnosis, dalam bahasa tasawufnya disebut "tahliil al-qalb" atau "tahliil al-nafs", yakni memeriksa dahulu kondisi mental, sejauhmana ia sehat, sejauhmana ia mendapat gangguan.
Kemudian, yang kedua, dari hasil diagnosisnya itu disodorkanlah terapinya, yang disebut "dawaa` al-qalb" atau "dawaa' amraadh al-qalb". Di dalam rangka diagnosis tadi adalah chek up keadaan kondisi batin.
Salah satu di antaranya itu untuk mengantarkan kepada terapinya. Karena itu, untuk menjadikan kondisi hati nurani menjadi sehat dan cemerlang, maka dikenal salah satu upaya yang namanya "riyaadah" (training).
Jadi, semua orang yang masuk di dalam ruang tasawuf harus bersedia diperiksa, diuji kesehatannya untuk mendapat terapinya. Jalan menuju terapi itulah yang disebut riyaadah, yaitu ditraining. Kalau misalnya di dalam penyakit fisik telah ditemukan penyakitnya, maka itu harus dioperasi.
Orang yang mau diopersi harus berpuasa. Begitu juga, orang yang masuk dalam perawatan tasawuf disuruh berpuasa; yaitu paling sedikit, tiga hari; yang biasa-biasa, tujuh hari; yang kondisi rawan, empat puluh hari; dan yang kondisi gawat, enam puluh hari.
Jadi, bertingkat-tingkat. Riyaadah yang paling ringan, selain puasa adalah zikir. Zikir yang kontinu namanya "wirid' (wirid); dan wirid itulah riyaadah yang paling ringan.

Dalam pada itu, semua metode dari berbagai pakar atau mursyid-mursyid adalah berbeda-beda, misalnya, yang Syadzily, yang Rifa'iy, dan lain lainnya. Namun, kalau kita adakan studi pola dasarnya maka semua sama.
Pola dasar mengenai zikir hanya memiliki tiga unsur dan semuanya sama. Singkatnya, pola dasar zikir dalam dunia tasawuf itu semua sama. Yang pertama, istighfar; yang kedua, shalawat Nabi; dan yang ketiga, tahliil.
Tahliil, artinya mengucapkan zikir, "Laa i1aaha illaa Allaah". Jadi, ada istilah-istilah; kalau zikir yang ucapannya, "Laa i1aaha illaa Allaah" namanya tahliil; kalau zikir yang ucapannya, Allaahu Akbar" namanya takbiir; kalau zikir yang ucapannya, "Alhamdulillaah" namanya tahmiid; dan kalau zikir yang ucapannya, "Subhaanallaah" namanya tasbiih.

Perlu saya kemukakan bahwa kalimat "Laa i1aaha illaa Allaah", selain sebagai ucapan zikir, ia juga disebut "kahmat al-tauhid". Tauhid adalah puncak proses perawatan kalbu.
Oleh sebab itu, di dalam hadis Nabi dikatakan, "A'laaha laa ilaaha illaa Allaah". Maksudnya, puncak proses memfungsikan iman dalam diri manusia adalah pada saat manusia betul-betul menghayati makna Laa ilaaha illaa Allaah.
Berbicara mengenai proses, apakah sekedar mengucapkan, "Astagfirullaah" itu sudah cukup. Adakalanya seorang mursyid setelah melakukan diagnosis, dia mewajibkan pasien (murid)nya untuk membaca istigfar 1.000 kali, atau mungkin 10.000 kali sehari, dalam hal ini, tergantung dari diagnosis mursyid nya.

Kemudian, ditraining untuk mendapatkan suatu kondisi mental yang akan membentuk moral yang terpuji. Jadi, proses awal dimulai dari istigfar itu.
Apa sesungguhnya hakikat istighfar itu yang menjadi proses awal dari upaya mempercantik, memperindah hati nurani manusia.
Hakikat istigfar di dalam istilah tasawuf disebut "taubat". "Tobat" dalam bahasa Indonesia. Istigfar adalah formulasi tobat, tetapi hakikat yang menjadi tujuan adalah tobatnya itu. Kalau begitu, apa artinya taubat? Tobat, awalnya adalah keberanian manusia melihat dan mengoreksi dirinya.
Sebab, banyak manusia yang tahunya hanya mengoreksi orang lain, menunjuk-nunjuk orang lain, - dan itu memang pekerjaan paling gampang - tetapi kurang berani atau bahkan tidak berani melihat dan mengoreksi dirinya.
Jadi tasawuf itu, kalau mau memperbaiki moral, maka terlebih dahulu harus melihat diri sendiri. Di situlah pangkalnya tobat. Setelah melihat dirinya pasti akan melihat kekurangannya, karena setiap orang telah diberikan standar kebaikan.

Sekedar sebagai contoh, misalnya disusun satu daftar kebaikan, lalu diuji diri kita berapa poin dari 70 macam kebaikan yang sudah kita miliki. Kalau masih di bawah setengah maka berarti kita masih termasuk orang buruk, tetapi kalau mencapai di atas setengah maka berarti kita baru menjadi orang baik.
Jadi ada daftarnya, yang di dalam istilah tasawuf dinamakan, "muraaqabah" dan "muhaasabah". Kedua-duanya satu paket, yaitu melihat dahulu baru memperhitungkan. Ini merupakan teknik tasawuf.
Tekniknya, mencoba melakukan diagnosis yang muraaqabah, artinya menyoroti dahulu, tanya dahulu, periksa dahulu; kemudian adakan perhitungan. Misalnya, sekarang ini jam 11.00 dan mulai bangun jam 05.00. Daftarnya, jam 05.00, apa yang dikerjakan dan seterusnya sampai jam 11.00. Lalu, diuji dengan poinnya 1, 2, 3, 4; mana yang baik dan mana yang buruk. Kalau begitu bangun jam 05.00 langsung salat subuh maka itu baik, tetapi kalau begitu bangun langsung ngobrol dan tidak salat subuh maka itu tidak baik, demikian seterusnya.

Inilah yang namanya muhaasabah, artinya mencoba mengadakan perhitungan dengan diri sendiri. Proses tobat dari situ. Setelah evaluasi baru mengembalikan kepada dirinya, kemudian kembali kepada Allah. Jadi, jangan kembali dalam keadaan kotor, tetapi kembali dalam keadaan sadar, walaupun belum begitu baik, yang penting sadar. Itu namanya al-nadam, penyesalan atau menyesali diri.

Di dalam. dunia hukum juga sama, ada yang disebut penyesalan. Seorang penjahat yang melakukan kejahatan lalu menyesali kejahatannya, maka akan memperingan hukumannya. Tetapi, kalau seorang penjahat tidak menyesali kejahatannya, maka akan memperberat hukumannya.
Begitu pula halnya di hadapan Allah. Kalau kita menyesali kesalahan-kesalahan maka akan memperingan dosa kita.
Sesudah menyesal, lalu secara spontan mengatakan, "Astagfirullaah wa atuubu ilaika". Itu berarti ungkapan dari kesadaran batin, bukan sekedar ucapan belaka. Sesudah itu, masih ada follow up-nya, tidak terhenti hanya di situ, tetapi ada yang namanya tobat.
Sesudah sadar, harus bertekad di dalam diri untuk tidak akan mengulangi kesalahan yang telah diperbuat. Prosesnya seperti itu, dan itulah yang disebut dengan "taubat nasuuha"
Tobat dalam tasawuf termasuk maqaam. Jadi, ada dua istilah dalam dunia tasawuf, yaitu haal (jamaknya, ahwaal) dan maqaam (jamaknya, maqaamaat). Ada kondisi ada posisi.
Haal itu kondisi dan maqaam itu posisi. Ini semua termasuk diagnosis tasawuf, yang mencoba menganalisis dunia batin manusia. Hal ini menunjukkan bahwa tasawuf itu sangat modern. Manajemennya modern sekali kalau manusia mampu mengungkapkan.

Dengan begitu, harus ada kondisi lebih dahulu baru ada posisi. Posisi awal kalau kita mau masuk ke dalam dunia tasawuf adalah tobat. Awwal maqaamaat, posisi yang paling awal adalah tobat karena dengan tobat itu berarti manusia sudah membersihkan diri. Sama halnya kalau wajah ingin dirias maka harus dibersihkan lebih dahulu. Dibersihkan lebih dahulu baru di make up. Tobat seperti itu posisinya.
Jadi tobat itu adalah salah satu amal, kerja, atau upaya. Kerja manusia ini menimbulkan al-rajaa'. Adanya kerja maka menimbulkan harapan. Dengan begitu, harapan manusia itu tidak khayal. Ada orang yang menganggap bahwa tidak ada kerja itu maka menghayal namanya atau mimpi di siang bolong.
Oleh karena itu, kalau kita ingin mempunyai harapan kepada Allah maka kita harus mempunyai kerja. Jadi, di sinilah hubungan antara kerja dengan harapan, interaksi antara kerja dengan harapan. Manusia itu kan mengharap yang baik-baik semua. Kalau kita beriman kepada hari akhirat maka harapan kita akah masuk surga. Tegasnya, kalau kita mempunyai harapan maka kita harus kerja.

Kembali ke masalah tasawuf visi Ataillah, maka di sinilah peranannya kata-kata hikmah dari Syekh Ataillah. Ia mengatakan, "al-rajaa' 'inda eujuud al-dalal". Jadi, kita jangan putus harapan, harus selalu ada harapan bagaimana pun besarnya godaan atau bagaimana pun jeleknya kondisi yang ada di sekitar kita; jangan putus harapan.
Di dalam kamus seorang sufi, tidak ada kata-kata putus harapan, tetapi selalu ada raja' (harapan). Allah SWT. menjamin dan Rasulullah SAW. pun menjamin.
Allah menegaskan di dalam. QS. AI Zumar, 39: 53, "Laa taknathuu min rahmati Allaah" (Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah). Demikian pula, Nabi mengatakan, "Yuqbalu taubatu al-'abdi maa lani yugargir".
Jadi, pintu kembali kepada Allah itu tidak pernah tertutup sampai ajal di leher. Selama manusia masih hidup, walaupun dalam kondisi yang begitu jelek kesehatannya, tidak bisa berbuat apa-apa lagi, pintu harapan tidak pernah tertutup.

Jangan mimpi bahwa ada dunia tanpa kejahatan. Tidak akan pernah ada dunia tanpa kejahatan. Jangan kita gambarkan ada dunia tanpa kejahatan. Kalau mau dunia tanpa kejahatan, silakan cepat ke surga. Di situ tidak ada kejahatan.
Yang penting, bagaimana kita berjuang melawan kejahatan itu. Maka, itulah sebabnya, ada istilah "orang baik" dan ada "orang jahat". Semoga kita termasuk golongan orang baik, insya Allah.



Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates