Senin, 23 Mei 2011

MEMPERTANYAKAN OTENTISITAS TASAWUF


Penulis : Balya Hidayat
Judul Buku : At-Tasawuf Baina At-Tafrith Wa Al-Ifrath
Pengarang : Dr. Umar Abdullah Kamil
Penerbit : Dar Ibn Hazm
Tebal : 279 Halaman

Sampai saat ini para ulama belum sepakat tentang makna kata tasawuf. Berbagai persepsi bermunculan, mencoba memaknai arti kata tasawuf tersebut. Sebagian ada yang menisbatkan tasawuf berasal dari nama satu kelompok (safah) yang pernah ada pada zaman Rasulullah SAW. Kelompok ini dikenal sebagai kelompok orang-orang miskin yang diizinkan Nabi untuk mendiami Masjid. Kelompok ini dikenal sangat loyal terhadap Islam. Selain kegiatan ibadah yang terus menerus dilakukan, mereka juga sangat antusias ketika tenaganya dibutuhkan untuk berperang. Maka tidaklah mengherankan jika ada yang mengembalikan akar kata tasawuf kepada golongan ini. Pendapat Kalabidi dalam kitabnya " At-Ta'arruf " ketika ditanya tentang arti Tasawuf, beliau mengatakan: "Salah satu golongan pernah mengatakan: "Dinamakan tasawuf karena jernihnya hati para pengikutnya dari segala bentuk maksiat". Masih banyak pendapat lain tentang tasawuf, namun para ulama belum benar-benar sepakat dengan salah satu pendapat.

Hampir semua ulama sepakat ketika tasawuf diartikan secara istilah. Tasawuf adalah sebuah jalan yang ditempuh oleh seseorang untuk mengungkap rahasia di balik alam materi dengan jalan-jalan tertentu. Salah satu ritual inti dari tasawuf ini adalah berdzikir, "menghadirkan" secara intens Dzat Maha pencipta. Seorang sufi tidak hanya dituntut untuk terus melakukan ritual dalam bentuk dzikir ataupun bentuk ritual yang lain, seorang sufi juga harus melaksanakan perintah-perintah agama sebagaimana tertuang dalam Al-Qur'an dan Sunnah.

Istilah tasawuf pada masa kenabian belumlah familiar di kalangan para sahabat. Hanya saja, Gejala yang nampak saat itu banyak para sahabat Nabi yang berzuhud (memalingkan diri dari dunia). Fenomena ini mengindikasikan bahwa tunas-tunas tasawuf sebenarnya sudah mulai muncul sejak zaman kenabian. Bahkan Rasulullah sendiri sebenarnya telah bertasawuf. Dan bahwa tasawuf sebenarnya memang berasal dari ajaran-ajaran Islam, bukan ajaran agama lain. Kalau kita cermati dari ajaran-ajaran tasawuf maka kita akan banyak menemukan banyak kesamaan nilai antara ajaran Tasawuf dan islam. Karena tasawuf memang berangkat dari Islam.

Ketika kita mengkaji Al-Qur'an dan Sunnah, kita akan banyak mendapati ajaran-ajaran luhur. Dan seringkali kita akan selalu diingatkan akan bahaya dunia, Akhirat adalah tujuan hakiki, Tuhan adalah pencipta Surga dan Neraka.

Pada Awal kemunculannya tasawuf masing berjalan "lempeng". Ketika Islam mulai berkembang dan problematika umat semakin kompleks, tasawuf mulai terpengaruh oleh keadaan masa itu. Perkembangan ilmu pengetahuan waktu itu sangat "menggembirakan". Diantara disiplin ilmu yang berkembang cukup pesat waktu itu adalah Ilmu filsafat. Ilmu ini banyak diminati oleh masyarakat islam waktu itu, sehingga bisa dikatakan bahwa filsafat hampir tidak bisa dipisahkan dari realitas masyarakat muslim waktu itu. Banyak cabang ilmu baru muncul, akan tetapi nuansa filsafat belum bisa lepas begitu saja, artinya pengaruh filsafat masih selalu ada dalam beberapa disiplin ilmu. Begitu juga dengan tasawuf dalam perjalanannya, persinggungan dan dialektikanya dengan Filsafat juga tidak bisa dihindarkan.

Setelah masa itu banyak ulama melihat perubahan yang terjadi pada "diri" tasawuf. Berbagai macam tuduhan banyak terlontar. Dalam buku ini pengarang sempat merekam tuduhan-tuduhan tersebut. Diantara tuduhan paling santer adalah tuduhan yang diarahkan kepada Ibnu 'Arabi dan Al-Hallaj. Sayangnya "penyelewengan" tasawuf tidak banyak disinggung dalam buku ini. Tampaknya Abdullah Kamil menginginkan adanya upaya untuk mengembalikan "roda" tasawuf pada "rel"nya. Menurutnya tasawuf perlu introspeksi dan merevitalisasi kembali tujuan awal kemunculannya yaitu tasawuf sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Tasawuf Antara Pro dan Kontra

Penulis buku ini membagi penilaian terhadap tasawuf menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang mendukung habis-habisan terhadap tasawuf. Mereka membenarkan apapun yang berhubungan terhadap tasawuf. Menurut mereka tasawuf adalah sebuah upaya untuk menggembleng batin dan kepribadian manusia, dengan tasawuf manusia akan selalu dekat dengan tuhannya. Dengan anggapan seperti ini akhirnya mereka membenarkan semua aliran tasawuf yang beraneka ragam itu. Mereka tidak bisa memilah antara tuntunan yang diperbolehkan dan yang dilarang oleh Islam. Padahal dalam tasawuf sendiri terdapat dua "warna" dasar yang membentuk tasawuf.

Kedua, kelompok yang menolak mentah-mentah kemunculan tasawuf. Anggapan yang mereka pertahankan adalah bahwa Tasawuf tidak lebih dari salah satu tindakan bid'ah yang jelas-jelas "dikutuk" oleh Islam. Menurut mereka tasawuf adalah aliran "asing" yang menyusup ke dalam Islam. Tasawuf adalah aliran yang berangkat dari tradisi agama Budha dan Kristen.

Ketiga, kelompok moderat yang berusaha melihat tasawuf dengan kacamata paling bijak. Menurut Abdullah Kamil, salah satu tokoh yang menghuni kelompok ini adalah Syaikhul Islam


Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim, termasuk salah seorang ulama kontemporer saat ini Yusuf Qardhawi. Penilaian mereka terhadap tasawuf menurut Abdullah Kamil tergolong penilaian yang cukup bijak. Mereka tidak menganggap tasawuf sesat secara mutlak, dan tidak pula membela mati-matian akan kebenaran tasawuf. Menurut mereka kesesatan tasawuf adalah akibat adanya pergeseran tujuan mendasar dari tasawuf itu sendiri. Mula-mula tujuan tasawuf adalah berupaya untuk selalu melatih jiwa dan tindak-tanduk seorang muslim. Namun dalam perjalanan selanjutnya tasawuf nampak sangat berbeda ketika filsafat mulai masuk ke dalamya. Fenomena yang tidak diduga muncul, statemen-statemen "gila" banyak terucap dari beberapa kaum sufi, seperti ucapan "Anal Haq" Al-Hallaj yang sempat menggegerkan masyarakat Islam pada jamannya. Begitu pula konsep "berbahaya" yang dikembangkan oleh Ibnu 'Arabi sang sufi kesohor. Selain penyimpangan yang bersifat esesensi tersebut, penulis tampak tidak setuju pula dengan penyimpangan yang ditimbulkan oleh tasawuf ini, diantara penyimpangan yang dimaksud:
1. Pandangan berlebihan kaum sufi yang menganggap bahwa hal keduniaan tidaklah penting sama sekali, menurut Abdullah Kamil hal ini tidak sesuai dengan apa yang digariskan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah.
2. Penancapan doktrin berlebihan yang dilakukan oleh kaum sufi terhadap para pengikutnya, hingga seakan-akan menimbulkan kesan bahwa nasib manusia sudah digariskan oleh Tuhan, tidak ada peluang bagi manusia untuk berusaha (Musayyar la Mukhayyar).
3. Pandangan berbahaya yang masih mengakar kuat di kalangan kaum sufi, bahwa segala hal yang bersumber dari syeikh (Mursyid) adalah selalu benar, yang pada akhirnya memunculkan anggapan bahwa nasib seseorang ada di tangan seorang mursyid, pengikut (murid) yang menentang tidak akan bisa selamat dan sebaliknya, pengikut yang taat pada mursyid kelak akan selamat dunia akhirat.

Pentingnya Menyegarkan Kembali Pemahaman Tasawuf

Sebagaimana telah disinggung di muka, bahwa penulis buku ini sebenarnya menginginkan atau mengajak pembaca untuk menelaah kembali konsep-konsep tasawuf yang telah ada . Karena penulis menganggap konsep otentik yang pernah dikembangkan oleh para ulama klasik telah mengalami kontaminasi dan pergeseran. Dalam buku ini penulis mencoba menawarkan atau mungkin mengingatkan para pembaca terhadap konsep otentik yang telah kabur. Sehingga menurutnya sangat penting untuk membersihkan tasawuf dari hal-hal yang mengarah kepada tindakan berlebihan, bidah, dan kekufuran. Karena tasawuf sebenarnya menduduki posisi vital dalam interaksi manusia.

Saat ini perkembangan zaman menjadi sangat cepat, lalu-lintas aktifitas manusia semakin hari juga semakin tidak karuan, perkembangan tekhnologi juga tidak bisa terbendung. Dalam keadaan seperti ini jiwa manusia juga akan ikut terpengaruh. Manusia akan kehilangan esensinya sebagai manusia. Mereka akan semakin lupa dengan diri dan Tuhannya. Fenomena seperti ini semakin tampak jelas dan menyemesta. Dalam keadaan yang seperti ini peranan tasawuf sanagatlah dibutuhkan. Ia dituntut untuk merubah keadaan manusia untuk kembali menemukan jatidirinya. Melepaskan segala egoisme yang sempat melekat pada dirinya. Dengan sentuhan tasawuf diharapkan manusia akan mudah kembali ketika dia ?diserang oleh hiruk pikuk urusan keduniaan.

Atas motif-motif seperti itulah penulis mencoba menggagas kembali konsep tasawuf yang otentik, walaupun dalam kenyataannya konsep ini adalah satu pengulangan terhadap konsep yang pernah digagas oleh ulama klasik. Buku ini menarik untuk dibaca, karena dari sini kita akan mendapatkan banyak informasi secara sistematis tentang konsep otentik tasawuf, walaupun ide-ide yang digagas penulis sebenarnya bukanlah gagasan yang baru. Tidak hanya itu, Abdullah Kamil juga berusaha menyajikan pandangannya tentang konsep tasawuf ketika dihadapkan dengan hukum Islam. Konsep yang dimaksud di sini adalah segala hal yang berkaitan dengan tasawuf semisal dzikir yang diperbolehkan dan yang dilarang, ahwal, Syaikh Mursyid, karamah, wilayah dan ilham.

Tasawuf yang otentik menurut penulis sebagaimana yang telah dikatakan oleh para ulama bahwa tasawuf adalah suatu upaya pembinaan sisi batiniyah, baik yang mengarah pada peningkatan ilmu maupun amal dengan tujuan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit hati, menundukkan hawa nafsu dan melatih diri untuk terus meningkatkan sifat sabar, ridho dan taat terhadap agama. Untuk mencapai tujuan tersebut seseorang diharuskan melakukan kegiatan-kegiatan ritual tertentu semisal berpuasa, berdzikir, dan bentuk ritual yang lain. Selain itu, seseorang juga dituntut untuk menjauh dari segala bentuk maksiat, karena ia nantinya akan membuat seseorang jauh dari Tuhannya dan akhirnya akan tersesat.

Tasawuf juga berarti mengenali Allah Dzat pencipta serta meyakini-Nya bahwa Dialah pemilik alam raya ini. Dialah yang Esa, tiada Tuhan selain Dia. Tunduk terhadap segala yang ketentuan dan Syariatnya-Nya.

Pada bagian akhir buku ini Abdullah Kamil memaparkan tentang perlunya menumbuhkan sikap hati-hati terhadap praktik ritual yang dikembangkan oleh aliran tasawuf tertentu. Praktik ritual yang dimaksud di sini adalah praktik yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi, Sahabat ataupun para ulama salaf. Praktik ini menurutnya sudah tidak sesuai lagi dengan ajaran-ajaran luhur Islam. Seperti praktik dzikir dengan tarian dan mengagung-agungkan syaikh mursyid secara berlebihan dengan cara bersujud dan sebagainya.



Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates