Selasa, 24 Mei 2011

PENDIDIKAN AKIDAH, IBADAH, DAN MORAL BAGI ANAK DALAM KELUARGA


Penulis : DR. Syamsun Niam (Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Jember)

(Perspektif Luqman al-Hakim)

Abstract: This article analyzes the discourse of children education in the quran. Family environment is the first milieu through which every child undergoes. The success of childrens future will depend very much on family condition where the children grow up. It is here that parents have a very significant role in educating their children. It is becouse in its very idealistic level, Islamic education is directed to establish perfect human being (insan kamil). In other words, Islamic education means humanising human being in accordance with Gods rule. The basic form of family education has initially been pioneered by Luqman al-Hakim whose spiritual wisdom (al-hikmah) different to other human being. In addition, he teaches theology, ritual, and ethics to their children in a comprehensive paradigm. These three aspects are interrelated package which can not be sparated to each other. If these three aspects can be realized, then, the Muslim children will be more educated, as it has been pointed out by the direction of Islamic education designed by the Quran.

Key Words: Luqman al-Hakim, Pendidikan Akidah, Ibadah, Moral, al-Hikmah dan Insan Kamil

Keluarga adalah unit sosial terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Pembentukan keluarga dalam Islam bermula dari terciptanya hubungan suci antara seorang laki-laki dengan perempuan yang diikat melalui perkawinan yang sah menurut syariat. Oleh karena itu, suami dan istri merupakan dua unsur utama dalam keluarga, dan ketika keduanya dikaruniai seorang anak atau lebih, maka anak-anak itu menjadi unsur ketiga dalam keluarga tersebut. Dalam hidup berkeluarga, kebahagiaan lahir dan batin adalah tujuan utama yang hendak dicapai. Keberadaan anak merupakan harapan kebahagiaan bagi pasangan suami istri. Oleh karena itu, tidak sedikit dari pasangan suami istri mengalami goncangan jiwa dan tidak merasa tenang dalam hidupnya, dikarenakan tidak mempunyai keturunan. Namun, pada suatu saat, anak juga dapat menjadikan orang tua sengsara dan menderita, jika anak tersebut tidak menyadari akan hak dan kewajibannya.

Untuk menjadikan anak sebagai sumber kebahagiaan (qurratu ayun), maka kedua orang tua mempunyai kewajiban untuk mengantarkannya menuju jalan lurus (hanif) sesuai dengan aturan yang telah dipesankan al-Quran dan al-Sunnah Nabi saw. Dalam rangka tersebut, pendidikan menjadi instrumen penting dalam membimbing mereka untuk meraih kebahagiaan hidup. Dalam institusi keluarga, orang tua merupakan pendidik utama dan pertama. Artinya, mereka mempunyai peran penting dalam mendidik anak-anaknya, karena semenjak dalam kandungan sampai usia dewasa (baligh), mereka mempunyai tanggung jawab untuk mendidik anak-anak mereka menjadi manusia sempurna (insan kamil, the perfect man) sesuai dengan tuntunan Ilahiyah (al-abrasyi, 1966: 16).

Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengelaborasi pengalaman pendidikan yang diterapkan Luqman al-Hakim kepada putranya. Contoh yang ditauladankannya merupakan prototipe pendidikan (Islam) ideal yang diabadikan dalam al-Quran, Surat Luqman: 12-19. Dalam menganalisis, penulis menggunakan pendekatan filosofis-humanistik-edukatif dan secara metodologis memberikan frame penafsiran tematik.

Sekilas Backround Teologis dan Historis Luqman al-Hakim
Luqman adalah salah seorang manusia istimewa yang namanya telah diabadikan Allah swt. dalam al-Quran, bahkan menjadi nama sebuah surat di dalamnya. Ada beberapa pendapat di kalangan sejarahwan, mufassirin, maupun para ahli mengenai latar belakang kehidupan Luqman atau biografinya. Dalam kaitan ini, Wahab mengatakan bahwa Luqman al-hakim adalah anak saudara Ayyub. Pendapat ini didukung oleh Muqatil (al-Qurthubi, tt.: 39). Sementara al-Zamakhsyari berpendapat bahwa Luqman al-Hakim adalah putra Baurah bin Nahur, suadara perempuan Ayyub, yang hidup selama seribu tahun. Selama hidupnya, ia pernah bertemu dengan Nabi Dawud, dan Nabi Dawud sempat menuntut ilmu kepadanya. Sebelum Dawud hidup dan diutus menjadi Nabi, Luqman al-Hakim memberi fatwa kepadanya. Ketika Dawud menjadi Nabi, Luqman al-hakim tidak berfatwa lagi (al-Qurthubi, tt.: 39).

Dengan memperhatikan silsilah tersebut, Luqman al-Hakim mempunyai hubungan darah dengan Azar, ayah Nabi Ibrahim, sehingga nama lengkapnya adalah Luqman bin Baur bin Nahur bin Tarik bin Azar. Ada juga yang mengatakan, Luqman berasal dari bangsa kulit hitam Afrika, sehingga ia dicatat sebagai seorang yang berkulit hitam, berbibir tebal (Tim Penulis IAIN Syahid, 1992: 580), berperawakan pendek, dan berhidung pesek (Depag., 1987: 540). Sedang anaknya bernama Tharan (Ibn Katsir, tt.: 444). Figur Luqman diangkat sebagai seorang pendidik yang tipikal, dikarenakan ia memiliki keutamaan berupa suatu integritas kepribadian dan personalitas yang patut dicontoh dan diteladani. Hal ini telah dibuktikan dengan beberapa kesaksian secara historis maupun teologis tentang keadaan tersebut berikut ini.

Pertama, kesaksian Ibn Abbas, bahwa Luqman adalah seorang budak dan memiliki kepandaian sebagai tukang kayu (Depag, 1987: 540). Kedua, kesaksian Nasr bin Abd al-Rahman al-Awdi dan Ibn Hamid yang menyatakan Luqman yang bijak adalah seorang qadi bani Israil keturunan Habashi (al-Thabari, tt.: 43) yang memiliki ketajaman lidah dan keteguhan prinsip. Ketiga, kesaksian Isa bin Uthman bin Isa al-Ramla yang mengatakan bahwa Luqman adalah seorang berkulit hitam yang memiliki cita rasa bahasa yang mulia dan teguh pendirian. Keempat, kesaksian Abbas bin Muhammad yang menyebutnya sebagai seorang yang berkulit hitam yang berasal dari Sudan, Mesir. Bahkan diriwayatkan juga bahwa Luqman adalah salah seorang dari tiga tokoh Sudan yang terkemuka lainnya, yaitu Mahja dan Bilal. Kelima, kesaksian Ibn Hamid dari al-Hukam dari Umar bin Qays yang mendapatkan informasi bahwa Luqman sebelumnya adalah seorang peneggembala domba.

Sementara itu, keutamaan Luqman bila dilihat dari sudut teologis, selain terungkap seperti dalam ayat 12, tersebut pula penegasan bahwa ia telah dianugerahi hikmah oleh Allah swt., namun tidak mendapatkan misi kenabian apapun, sebagaimana dinyatakan Muhammad bin Umar, al-Harith, Bashar, Qatadah, Yaqub bin Ibrahim, dan Ibn al-Mathna (al-Suyuthi, tt.: 509-511). Dalam kaitan ini, qatadah meriwayatkan bahwa Allah memberi kesempatan kepada Luqman al-hakim untuk memilih salah satu di antara dua karunia yang akan diberikan Allah, yaitu nubuwwah dan hikmah. Ternyata Luqman memilih hikmah, bukan nubuwwah. Luqman al-Hakim ditanya oleh Jibril, kenapa memilih hikmah, ia menjawab: sekiranya aku diutus untuk menyampaikan nubuwwah, maka hal itu adalah tugas berat, dan aku dapat menegakkannya dan berhasil. Akan tetapi, karena Allah memberi kesempatan untuk memilih, maka saya menjadi kuatir tidak kuat memikul tugas nubuwwah itu, sehingga aku lebih condong dan lebih suka memilih hikmah (Depag, 1987: 540).

Menurut al-Thabari, sebagaimana dikutip Ibn Kathir, hanya Ibn Waqilah, seorang yang memandang bahwa Luqman al-Hakim adalah seorang nabi. Sedangkan menurut al-Suyuthi, hanya ada dua riwayat tentang itu, yaitu riwayat Ibn Jarir dan Ibn Hatim. Dalam kaitan ini, penulis lebih condong kepada pendapat yang mengatakan bahwa Luqman adalah bukan seorang nabi, karena penulis melihat bukti tentang kenabiannya baik secara kualitatif maupun kuantitatif tidak pernah ditemukan secara signifikan. Hal ini juga bisa dilihat dari surat Luqman yang menyatakan al-hikmah bukan al-nubuwwah. Di samping adanya kesaksian yang menyatakan bahwa Luqman adalah seorang manusia biasa yang memiliki keutamaan-keutamaan belaka. Oleh karena itu, tampaknya Luqman al-hakim secara paedagogis telah layak dipandang sebagai seorang yang berprototipe pendidik. Pendapat tersebut tampaknya diperkuat oleh sebuah hadith Nabi saw., yang diriwayatkan oleh Ibn Umar sebagai berikut: Saya mendengar Nabi saw. bersabda: bahwa Luqman al-Hakim itu bukanlah seorang Nabi, melainkan ia adalah seorang manusia biasa yang banyak berfikir, punya keyakinan yang kokoh, ia sangat mencintai Allah dan Allah pun mencintainya, dan ia tergolong manusia ahli hikmah (filosof) (al-Qurthubi, tt., vol. xvi: 60).

Kata al-hikmah itu sendiri berakar kata dari huruf ha, kaf, dan mim. Dari sudut etimologis, al-hikmah bermakna mencegah (Ibn Zakariya, 1970: 91). Secara leksikal, al-hikmah bermakna menyelesaikan atau dan memutuskan suatu urusan, mengekang dan mencegah seseorang dari keinginannya (Anas, tt.: 189). Menurut al-Isfahani, al-hikmah adalah sesuainya kebenaran dengan ilmu dan akal (al-Isfahani, 1990: 190). Secara terminologis, al-hikmah dapat disebut sebagai pengetahuan tentang segala yang ada dan perbuatan-perbuatan kebajikan. Dalam terminologi terakhir inilah kiranya Luqman memperoleh karunia al-hikmah. Adapun menurut al-Barusawi, al-hikmah diartikan sebagai penetapan kebenaran dengan lisan, membenarkan pikiran dengan hati, dan menetapkan perbuatan dengan kemuliaan berbicara, berfikir dan berbuat dengan hikmah (al-Barusawi, tt.: 19-20). Al-Zuhayli juga berpendapat bahwa al-hikmah merupakan kesempurnaan jiwa kemanusiaan dengan menerapkan ilmu-ilmu yang dimiliki dan berupaya memilki sifat yang sempurna atas semua perbuatan yang terpuji (al-Zuhaili, 1991: 143). Al-hikmah diberikan kepada waliyullah sebagaimana wahyu diberikan kepada para Nabi. Sementara itu, al-nubuwwah diperoleh bukan melalui usaha, tetapi ia merupakan keutamaan yang diberikan Allah kepada yang dikehendaki-Nya, begitu juga al-hikmah. Siapa saja yang diberikan al-hikmah, maka ia akan menadapatkan kebaikan yang banyak (QS. Al-Baqarah: 269).

Barangkali dengan al-hikmah yang diberikan Allah kepada Luqman inilah yang kemudian Luqman menjadi seorang yang bijak, bajik dan memiliki keutamaan-keutamaan yang dimiliki para Nabi yang pada akhirnya diberikan predikat oleh Allah dengan sebutan al-hakim. Figur Luqman al-Hakim adalah figur seorang pendidik yang sagat ideal. Hal ini dapat dilihat dari integritas kepribadian dan moral yang ia miliki, baik dari segi ucapan, sikap maupun perbuatannya.

Materi Pendidikan Anak tentang Akidah, Ibadah dan Moral
Materi ini sebagaimana telah disebutkan dalam surat Luqman ayat 12-19:
Dan Kami (Allah) telah memberi al-hikmah kepada Luqman agar ia bersyukur kepada Allah sw., karena barang siapa yang bersyukur kepada Allah, pada hakekatnya ia telah mensyukuri dirinya sendiri dan barang siapa yang mengkufurinya (ingkar), maka sesungguhnya Allah swt. adalah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya seraya memberi nasehat: Wahai anakku, janganlah kamu syirk kepada Allah, karena sesungguhnya syirk itu adalah kedzaliman (dosa) yang besar. Dan Kami (Allah) berwasiat kepada manusia bahwasannya orang tuanya (ibunya) telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan telah menyapihnya selama dua tahun. Karena itu, bersyukurlah kamu kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, karena hanya kepada-Kulah tempat kembali. Dan jika orang tuamu memaksamu untuk berbuat syirk kepada-Ku, sedangkan kamu tidak mengerti, maka janganlah kamu menaati keduanya. (Walaupun begitu) pergaulilah mereka di dunia ini dengan cara yang maruf, dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku, lalu kepada-Kulah tempat kembalimu dan Aku akan memberi tahu apa saja yang telah kamu kerjakan. Wahai anakku, jika kamu mempunyai sebutir biji sawi yang kamu taruh di atas batu besar atau di muka bumi ini, pasti diketahui Allah. Karena sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Lembut lagi Maha Mengetahui. Wahai anakku, kerjakanlah shalat, beramar maruflah kamu, cegahlah yang munkar, dan bersabarlah terhadap cobaan yang menimpamu, niscaya semuanya itu menjadi suatu yang terbaik bagimu. Dan janganlah kau palingkan mukamu dari manusia dan jangan pula kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang membenggakan diri. Dan sederhanakanlah berjalanmu dan pelankan suaramu, karena sesungguhnya suara yang paling mungkar (jelek) itu adalah suaranya himar.

Dari ketujuh ayat tersebut dapat ditarik beberapa fokus persoalan mendasar yang layak dikaji dan diuji mengenai materi pendidikan yang diterapkan Luqman sebagai subyek pendidikan dan anaknya sebagai obyek pendidikan. Materi pendidikan tersebut, menurut hemat penulis dapat diklasifikasikan menjadi tiga poin, yaitu pendidikan aqidah, ibadah dan akhlak/moral/budi pekerti.

Pertama, pendidikan aqidah. Penanaman aqidah merupakan landasan pertama dalam pembentukan karakteristik dan moral anak. Hal ini telah dicontohkan Luqman al-Hakim dalam ayat 13: Wahai anakku, janganlah kamu berbuat syirk kepada Allah, karena sesungguhnya perbuatan syirk itu adalah kezaliman yang besar. Dalam ayat tersebut, jelas-jelas Luqman menasehati anaknya untuk tidak melakukan perbuatan syirk. Nasehat Luqman adalah ajaran tauhid kepada Allah swt. Bila dilihat secara leksikal, kata yaidzu dalam klausa di atas merupakan fiil mudlari dari kata waadza. Adapun fungsi fiil mudlari itu adalah sebagai petunjuk peristiwa yang sedang atau akan terjadi di masa mendatang (al-Ghalayini, 1987: 33). Kata waadza berasal dari kata waw, ayn dan dza, yang bebrarti memberikan peringatan dengan baik yang dapat menggugah dan melunakkan hati (Zakariya, tt.: 126). Dengan kata lain, upaya pemberian nasehat dan peringatan kepada orang lain untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dengan ucapan yang dapat menyentuh maupun yang dapat menggerakkan hati. Nasehat sebagai salah satu metode pendidikan berarti peringatan yang mempunyai pengertian yang bersifat bimbingan dan pengarahan yang dapat membangkitkan emosi dan perasaan orang lain untuk mau melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik (al-Razi, 1994: 647).

Sementara itu, syirk secara etimologis berarti bercampurnya suatu persekutuan kepemilikan otoritatif dari dua orang atau lebih. Sedangkan secara terminologis, syirk dalam pandangan Islam dibagi menjadi dua: pertama, syirk besar, yaitu mengakui adanya sekutu bagi Allah. Dalam Islam, hal ini merupakan puncak kekufuran dari seorang hamba (al-Baqi, 1986: 159). Kedua, syirk kecil, yaitu adanya kecenderungan mengingkari Allah. Termasuk dalam kategori ini adalah sifat riya dan nifaq. Syirk dalam persoalan aqidah merupakan suatu ancaman utama dalam sistem kepercayaan dan keyakinan kolektif umat Islam. Begitu pentingnya persoalan ini, Allah seringkali menekankannya dalam al-Quran. Tercatat setidaknya 169 kali persoalan syirk diungkap dalam berbagai surat dalam al-Quran (al-Baqi, 1986: 159). Terlebih lagi larangan Luqman terhadap perilaku syirk ini menurut al-Qusyairi disebabkan pada masa sebelumnya baik anak maupun istrinya masih dalam keadaan kafir, sehingga Luqman senantiasa memberikan mauidzahnya hingga keduanya memeluk Islam (al-Qurthubi, tt.: 62).

Dalam potongan ayat di atas (ya bunayya la tusyrik billah), dapat dipahami bahwa sebagai orang tua, ajaran yang paling dasar dan mesti ditanamkan pada seorang anak adalah ajaran ketauhidan. Dengan kata lain, orang tua punya kewajiban untuk membimbing, mendidik dan mengantarkan anaknya untuk senantiasa bertauhid kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Hal demikian dapat dipahami dari munasabah kalusul ayat berikutnya, yaitu Dan jika orang tuamu memaksamu untuk berbuat syirk kepada-Ku, sedangkan kamu tidak mengerti, maka janganlah kamu menaati keduanya. (Walaupun begitu) pergaulilah mereka di dunia ini dengan cara yang maruf dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali pada-Ku, lalu kepada-Kulah tempat kembalimu dan Aku akan memberi tahu apa saja yang telah kamu kerjakan.
Selain persoalan syirk, perlu juga ditanamkan kesadaran dalam diri setiap anak didik bahwa Allah Maha Mengetahui setiap apa yang tersembunyi di lubuk hati sekalipun. Isyarat tersebut secara implisit diungkap dalam ayat 16 yang berbunyi: Wahai anakku, jika kamu mempunyai sebutir biji sawi yang kamu taruh di atas batu besar atau di muka bumi ini, pasti diketahui Allah. Karena sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.

Al-Quthubi menjelaskan bahwa ayat tersebut menunjukkan bahwa betapa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak. Inilah materi pendidikan aqidah tahap kedua setelah syirk yang ditanamkan Luqman kepada anaknya. Dalam ayat tersebut digunakan terma khardal (Musthafa, 1990: 313) untuk menunjukkan sesuatu yang tak terserap indera karena kehalusan dan keabstrakannya (al-Qurthubi, tt.: 66), serta terma sakhrah sebagai ungkapan hiperbolik yang menunjukkan betapa besar dan kerasnya batu tempat tersembunyinya sebiji khardal tadi (Ibn Katsir: 449). Menurut al-Qurthubi, ayat ini diturunkan sebagai jawaban atas pertanyan putra Luqman yang bertanya, Apakah Tuhan dapat mengetahui sebutir atom yang tersimpan di dasar lautan? (al-Qurthubi, tt.: 67). Dalam ayat ini menunjukkan bahwa sebagai orang tua/pendidik dianjurkan untuk senantiasa menunjukkan tentang absolutisme Tuhan kepada anak didiknya. Karena yang demikian akan menimbulkan rasa tanggung jawab baik secara individual maupun sosial, dalam setiap tingkah lakunya merasa senantiasa diawasi oleh Allah swt.

Kedua, pendidikan ibadah. Pendidikan ibadah merupakan keharusan bagi setiap individu untuk mengantarkan anak sebagai hamba Allah yang sejati. Pendidikan ibadah ini harus diberikan kepada anak-anak, sebagaimana tertuang dalam ayat 17 yang menekankan akan pentingnya shalat dan amar maruf nahi munkar (ya bunayya aqim al-shalata wamur bi al-marufi wanha an al-munkar wasbir ala ma ashabak).
Pendidikan merupakan proses pencetakan manusia dengan mengembangkan segala potensi dan bakat yang dimiliki anak didik. Dengan kata lain, fitrah yang dimilki anak harus dibina, dikembangkan dan dipupuk dengan hal-hal yang positif, sehingga nantinya anak-anak tidak hanya berfungsi sebagai makhluk individu, namun juga sebagai makhluk sosial. Ayat di atas, jelas-jelas telah menunjukkan bahwa kesalehan yang dituntut tidak hanya kesalehan individu, namun sekaligus juga kesalehan sosial. Hal demikian telah ditunjukkan ayat 17 di atas, di mana Luqman al-Hakim telah menginstruksikan anaknya untuk melakukan shalat, sebagai menifestasi kepedulian akan dirinya sebagai individu, dan perintah bar-amar maruf wa nahi munkar, sebagai wujud dari concernnya terhadap persoalan-persoalan sosial. Keadaan yang demikian nampak sekali pada ayat tersebut, yakni keterkaitan perintah shalat dan perintah amar maruf wa nahi munkar (ya bunayya aqim al-shalata wamur bi al-marufi wanha an al-munkar).

Menurut hemat penulis, agaknya dikaitkannya ibadah individual (shalat) dengan kewajiban ber-amar maruf nahi munkar sebagai ibadah sosial merupakan konsekuensi logis dari pandangan filosofis tentang manusia sebagai makhluk pribadi dan sosial, di samping sebagai makhluk yang berdimensi lahiriah dan spiritual. Inilah salah satu tujuan pendidikan dalam level yang paling tinggi (the highest level).
Ketiga, pendidikan moral. Nilai-nilai pendidikan akhlak mulia juga ditunjukkan ayat di atas, mulai dari ayat 12 sampai dengan ayat 19, dengan komposisi bahwa ayat 12 dan 14 tentang bersyukur, ayat 14 dan 15 tentang berbakti kepada kedua orang tua, ayat 17 tentang sabar, ayat 18 tentang etika berkomunikasi, berjalan dan bersuara (bergaul dengan masyarakat).

Pada ayat 12 dan 14 Allah telah menunjukkan dua kali tentang pentingnya syukur, baik syukur kepada Allah maupun syukur kepada kedua orang tua. Syukur kepada Allah sebagai manifestasi dari segala nikmat dan anugerah yang telah diberikan oleh-Nya kepada manusia. Syukur kepada kedua orang tua merupakan manifestasi dari segala perhatian dan curahan kasih sayang yang diberikan orang tua kepada anaknya. Syukur adalah aktualisasi diri dari nikmat yang Allah berikan dengan penggunaan yang semestinya, pada penggunaan yang diridlai Allah swt. Dengan demikian, hakekat syukur adalah proporsionalisasi, yaitu menempatkan nikmat yang diperoleh pada tempatnya sesuai dengan tempatnya, dan internalisasi, yaitu peresapan dan penghayatan yang sangat mendalam dalam rangka marifat (mengenal) sang pemberi, untuk apa dan bagaimana nikmat itu diberikan.

Berkaitan dengah hal tersebut, dalam aktualisasinya syukur itu bisa dikategorisasikan menjadi tiga; yaitu syukur dalam hati, berupa kesadaran spiritual terhadap nikmat; syukur dengan lisan, berbentuk ucapan puja dan puji terhadap Allah; dan syukur dengan seluruh anggota badan, yakni pendayagunaan segenap nikmat sesuai dengan tuntunan Allah. Bersyukur kepada Allah pada dasarnya adalah bersyukur kepada dirinya sendiri. Banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang ini, sebagaimana firman Allah swt: wa man yasykur fa innama yasykuru linafsihi. Perintah bersyukur tidak hanya kepada Allah semata, namun juga kepada kedua orang tua. Keadaan ini menunjukkan betapa terhormat dan agungnya orang tua di hadapan Allah. Akan tetapi, posisi orang tua bukan berarti sama dengan Allah. Allah masih tetap dalam posisi mutlak, absolut adanya, tidak ada yang menyamai-Nya. Perintah bersyukur kepada kedua orang tua, karena dalam kehidupan anak, dia menjadi tanggung jawab orang tuanya sampai dia menginjak dewasa. Begitu sengsara dan payahnya orang tua mengasuh, mendidik, membimbing, dan membesarkan anak-anaknya. Adalah sangat ironis bila anak-anak tidak pernah tahu akan rasa terima kasihnya dan tidak tahu diri akan hal ini

Perintah berbakti kepada kedua orang tua yang dimuat dalam ayat 14-15 memiliki latar belakang historis (asbab al-nuzul), yaitu menceritakan kisah Saad bin Abi Waqash yang dibenci oleh ibu kandungnya sendiri karena memeluk Islam. Si ibu diriwayatkan, melalui aksi mogok makan dan minum demi menuntut anaknya agar kembali kepada agama semula. Namun Saad tetap bersikeras memeluk Islam meskipun diancam ibunya yang tercinta itu. Sampai akhirnya, si ibu tersebut luluh mengalah, sehingga menghentikan aksinya demi menyaksikan keteguhan anaknya tersebut (al-Suyuthi, tt.: 521). Bila dilihat secara seksama, seorang ibu ketika melahirkan adalah dalam keadaan yang sangat payah dan semakin bertambah payahnya ketika ia menyususuinya selama 2 tahun. Oleh karena itu, seorang anak sangat wajar dan memang seharusnya selalu berbakti dan menghormati kedua orang tuanya itu.

Keadaan yang demikian akan membawa implikasi paedagogis yang nyata dalam kehidupan anak. Yakni, anak akan menempatkan dirinya pada posisi sebenarnya dengan melihat Allah sebagai Dzat yang Mutlak adanya. Selain itu, anak akan dapat memilih dan memilah mana ajaran yang mestinya didahulukan, dan dia pasti akan memihak pada aqidah sebagai landasan setiap berperilaku. Dalam ayat 17, Luqman memerintahkan anaknya agar bersikap sabar terutama dalam menjalankan perintah Allah, menegakkan yang maruf dan mencegah yang mungkar, karena semua itu membutuhkan tenaga dan usaha yang tidak sedikit serta keteguhan hati yang tak berisiko tinggi. Dalam konteks inilah, idealnya sabar harus dimiliki setiap anak, karena dengan kesabaran, anak akan dapat mengahadapi segala persoalan yang arif dan dewasa serta tidak cepat putus asa. Di sinilah pentingnya materi sabar dalam pendidikan untuk anak-anak, dan ini telah dibuktikan Luqman al-Hakim kepada anaknya.

Pendidikan moral lainnya dapat disaksikan dalam ayat 18-19 yang menyangkut masalah etika berkomunikasi, berjalan, bertutur kata, dan bertutur sapa (bergaul dengan masyarakat). Ayat tersebut terdapat dalam term sebagai berikut: wala tushair khaddaka li al-nasi wala tamsyi fi al-ardli maraha. Al-Shar secara etimologis berarti memalingkan leher dan muka ke arah lain dengan perasaan sombong (Musthafa, 1990: 515; al-Suyuthi, tt.: 524)). Yang demikian itu secara langsung akan mengakibatkan munculnya kebencian pada orang lain, karena merasa dilecehkan dan tidak dihormati. Oleh karena itu, sikap yang demikian mestinya tidak dimiliki seorang anak. Karena pada dasarnya sikap sombong dan menyombongkan diri itu merupakan hak prerogatif Allah, karena Allah adalah Dzat Mutlak yang memiliki sifat sombong (al-Mutakabbir).

Adapun ayat 19 memuat larangan bersuara terlalu keras, memekik maupun berteriak. Sebaliknya, seorang Muslim dianjurkan bersuara dengan pelan, lemah lembut, menyenangkan orang lain, dan tidak menyinggung perasaan. Dengan gaya bahasa metaforis telah dinyatakan bahwa suara yang paling dibenci adalah suara pekik dan suara yang menyerupai ringkikan keledai (inna ankara al-aswati lashaut al-hamir). Karena suara keledai (khimar) adalah suara yang paling jelek dan tidak mencerminkan suara yang membawa kepada kesejukan. Untuk itu, suara yang dianjurkan adalah suara yang membawa pada kesejukan dan menyenangkan orang lain. Hal ini harus dilakukan dalam pergaulan sehari-hari. Barangkali, inilah nilai-nilai ajaran moral yang terkandung dalam surat Luqman ayat 12-19 yang sangat sarat dengan nilai-nilai etika keteladanan, kejujuran, kesederhanaan, kebenaran yang mesti dilakukan dalam kehidupan keseharian, sebagaimana yang teladankan Luqman al-Hakim dalam keluarganya.

Penutup
Luqman al-Hakim adalah manusia biasa yang dapat menembus sifat-sifat, kebiasaan-kebiasaan serta karakteristik manusia pada umumnya. Dia memiliki keutamaan (al-hikmah) yang sangat jarang dimiliki manusia lain. Keadaan inilah yang dapat membawa dirinya pada derajad yang sangat terhormat di hadapan Allah. Ia diposisikan hampir sama dengan para Nabi, walaupun pada hakekatnya tidaklah sama.

Ajaran-ajaran Luqman yang berupa nasehat-nasehat adalah ajaran-ajaran essensial dan fundamental, seperti pendidikan aqidah, ibadah dan akhlak/moral. Ketiga ajaran tersebut merupakan satu paket yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Bila ketiga tata nilai tersebut bisa diajarkan kepada anak-anak dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, mereka akan menjadi manusia kamil sebagaimana yang diidealkan oleh pendidikan Islam. Wallahu alamu bi al-shawab!



DAFTAR PUSTAKA

Al-Abrasyi, Muhammad Atiyah. 1996. fi Falsafat al-Tarbiyah al-Islamiyyah. Beirut: Dar al-Fikr.
Anis, Ibrahim. Tt. al-Mujam al-Wasith. Mesir: Maktabat al-Islamiyah.
Baqi, Muhammad Abd al-Baqi. 1986. al-Mujam al-Mufahras li Alfadz al-Quran al-Karim. Mesir: Dar al-Maarif.
Al-Barusawi, Ismail, tt. Tafsir Ruh al-Bayan. Vol. IV. Beirut: Dar al-Fikr.
Depag. 1987. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Depag RI.
Al-Ghalayini, Musthafa. 1987. Jami al-Durus al-Arabiyah. Vol. 1. Beirut: Mansurat al-Maktabat al-Mishriyah.
Ibn Katsir, Imad al-Din Abu al-Fida Ismail. Tt. Tafsir al-Quran al-Adzim. Tp. Vol. 3.
Ibn Zakariya, Abu Husayn Ahmad bin Faris. 1970. Mujam Manayis al-Lughat. Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi.
Al-Isfahani, Abu al-Qasim al-Husayn bin Muhammad al-Raghib. 1990. Mujam al-Mufradat al-Fadz al-Quran. Damaskus: al-Manayiz.
. 1980. al-Mufradat fi Gharib al-Quran. Mesir: Dar al-Marifah.
Musthafa, Ibrahim. 1990. al-Mujam al-Wasith. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Qurthubi, tt. Abu Abdullah Muhammad al-Anshari. al-Jami li Ahkam al-Quran. Mesir: Dar al-Maarif.
Al-Razi, Muhammad Ibn Abi bakr Abd al-Qadir. 1994. Mukhtar al-Shihah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Suyuthi, Jalaluddin. Tt. al-Durar al-Mathur fi Tafsir al-Mathur. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Thabari, Abu Jafar Muhammad Ibn Jarir. Tt. Tp. al-Jami al-Bayan fi Tafsir al-Quran. Vol. 21.
Tim Penulis IAIN Syahid. 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Al-Zuhaili, Wahbah. 1991. Tafsir al-Munir. al-Qahirah: al-Fikr al-Muashir 



Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates