Selasa, 24 Mei 2011

MENUJU TAFSIR BARU; AL-IKHLASH SEBAGAI SAMPLE


Penulis : Ubaidil Baidowi

Qul huwaLLahu ahad [1] Allahu al-shshamad [2] Lam yalid wa lam yulad [3] Wa lam yakun lahu kufuwan ahad [4] Artinya: Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa [1] Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu [2] Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan [3] Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia [4] [QS. al-Ikhlash: 112]

Dengarkan (shema), hai orang Israel! Tuhan adalah Allah kita. Tuhan itu Esa (ehad)! Kasihanilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu hari ini haruslah engkau perhatikan [Memra Old Testament: Deuteronomium: 6: 4-6]

Segala sesuatu dijadikan oleh Dia, dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi
[Logos Novum Testamentum: Yohanes: 1: 3][1]

Kita merasa berpikir dan bertindak menurut kehendak atau selera kita, tetapi di belakangnya Roh Semesta mencapai tujuannya. Meskipun di levelnya sendiri manusia bebas dan mandiri, tetapi melalui kemandirian itu Roh Semesta menyatakan diri [Petikan kalam Hegel, filsuf terbesar bagi Karl Marx]

Tuhan adalah ciptaan angan-angan manusia [Renungan Ludwig Feuerbach, murid Hegel di Berlin]

Historisitas Al-Ikhlash; Dialektika Teks dan Realitas

Penghampiran sosio-historis terhadap surat al-Ikhlash merupakan mekanisme eksegetik-hermeneutik yang diaplikasikan untuk menguak dialektika-historis-materialis antara teks dengan realitas. Dialektika antara surat al-Ikhlash dengan struktur sosial, ekonomi, politik, praktik ritus-ritus dogmatik, dan kultus-kultus pagan di Makkah, diharapkan mampu menelanjangi faktor-faktor semiotik yang mempengaruhi proses formatif linguistik surat al-Ikhlash.
Formasi surat al-Ikhlas yang terdiri dari empat frase (Qul huwaLLahu ahad [1] Allahu al-shshamad [2] Lam yalid wa lam ylad [3] Wa lam yakun lahu kufuwan ahad [4]) tidak terbentuk dalam kehampaan konteks, melainkan tersusun melalui proses pergumulan dengan realitas konkret yang melatarbelakanginya. Pengaruh realitas konkret ini pada gilirannya dapat menjadi petunjuk akan adanya relasi komunikatif antara muatan surat al-Ikhlash dengan audiens (mukhathab).

Sumber-sumber sejarah paling outoritatif menyampaikan informasi penting, bahwa pada sekitar tahun 610 M telah terjadi krisis multi-dimesional di Makkah. Pada saat itu, konstruksi sosial Makkah diwarnai oleh hegemoni rasialisme dan etos ekonomi kapaitalistik yang ditandai dengan penghisapan serta eksploitasi kaum borjuis terhadap kaum proletar dan para budak. Sementara itu, dalam ranah dogmatik dan praktik ritus paganisme, surat al-Najm (53: 19-26) memberikan informasi valid terkait sesembahan kaum pagan yang dipersonalisasikan dalam tiga bentuk dewa-dewi, yaitu Al-Lat (Dewi) dan Al-Uzza (Yang Perkasa), masing-masing terdapat di kuil suci Thaif dan Nakhlah, sebelah tenggara Makkah, dan Manat (Sang Penentu) di kuil suci Qudaid, di pesisir Laut Merah. Tiga sesembahan ini sangat dikuduskan oleh kaum pagan sebagai perantara.
Nah, di tengah-tengah kondisi sosio-historis seperti di atas, Imam Ahmad, al-Turmudzi, dan Ibn Jarir meriwayatkan dari Abi bin Kaab bahwa kaum pagan berkata kepada Muhammad saw (sang Khatim al-Anbiya` yang sama sekali tak pernah membaca Yesaya, Yeremia, dan Yehezkiel): Wahai Muhammad, jelaskanlah kepada kami tentang Tuhanmu. Dus, guna merespon permintaan ini, maka dalam momentum yang tepat Allah swt menurunkan surat al-Ikhlash. Dalam transmisi versi lain, Qatadah dan Dhahak menyatakan bahwa turunnya surat al-Ikhlash adalah untuk merespon pertanyaan kalangan Yahudi kepada Muhammad saw: Wahai Muhammad, jelaskanlah kepada kami tentang Tuhanmu! Sesungguhnya Allah telah menurunkan sifat-sifat-Nya dalam Taurat. Lalu berikanlah kabar kepada kami, dari materi dan jenis apakah Tuhanmu? Apakah dari emas atau perak?.


[2] Peristiwa itu dalam tataran empiris mengukuhkan adanya relasi kuat antara surat al-Ikhlash dengan konteks sosio-historis Arab. Relasi kait-kelindan ini dapat ditelusuri melalui pembacaan linguistik terhadap formasi frase-frase surat al-Ikhlash sebagai berikut:

Frase pertama, qul huwaLLahu Ahad. Formasi frase ini terbentuk melalui proses historis-dialektis berkaitan dengan pertanyaan kaum pagan dan Yahudi terkait dengan esensi dan sifat Tuhan. Penegasan monoteisme dalam frase ini merupakan kritik tajam atas proyeksi imaginatif dalam doktrin politeisme yang dikultuskan di Arab dan sekitarnya. Monoteisme pun digariskan sebagai basis rasional teologi Islam. Rasionalitas monoteisme terkukuhkan ketika ayat-ayat Tuhan selalu mempertentangkan antara tauhid-rasional vis a vis syirik-irasional. Tuhan hanya satu, karena Kalau ada Tuhan selain Allah di langit dan bumi, niscaya langit dan bumi ini akan hancur (QS. al-Anbiy [21]: 22).

Frase kedua, Allahu al-shshamad. Formasi frase ini terkonstruk sebagai respon atas fenomena irasional berupa dependensi (ketergantungan) kaum pagan terhadap berhala-berhala mereka. Formasi frase ini menggambarkan persepsi tentang keunikan Tuhan; Realitas Maha Transendental yang menjadi muara semua makhluk. Frase ayat ini banyak dikukuhkan oleh ayat-ayat lain dalam menentang mitos-mitos pemberhalaan benda-benda meterial atau meletakkan kepercayaan pada entitas imanen. Ayat-ayat yang senada juga acap menumpahkan celaan terhadap dewa-dewa yang sama sekali tak mampu berbuat apa-apa. Berhala kaum pagan yang telah dikultuskan oleh nenek moyang mereka sejak zaman antah-berantah itu tak mampu memberikan makanan atau rezeki; tiada gunanya meletakkan mereka sebagai muara kehidupan seseorang karena mereka tidaklah berdaya.

Frase ketiga, lam yalid wa lam ylad. Dialektika antara frase ini dengan realitas historis sangat mudah ditelusuri. Formasi frase ini secara hermeneutik dapat dipastikan tidak akan berbunyi demikian jika dalam realitas sosial tidak terdapatkan penyimpangan keyakinan. Sebagai reaksi terhadap realitas, frase ayat tersebut menolak tiga konsepsi teologis sekaligus yang berkembang pada masa itu: 1) proyeksi imajinatif orang-orang musyrik bahwa malaikat adalah anak perempaun Allah; 2) perkataan Yahudi bahwa Uzair adalah anak Allah, dan; 3) konsep trinitas Kristen.

Frase keempat, wa lam yakun lahu kufuwan ahad. Frase ini secara dialektik menjadi antitesis dari mitos-mitos kaum pagan Arab bahwa malaikat dan berhala-berhala mereka adalah sekutu Tuhan.
Pendekatan di atas --yang secara serempak menganalisis aspek-aspek material-empiris sekaligus aspek-aspek kultus-kultus imaginatif, mitos-mitos, dan khayalan fiktif kaum pagan-- sejatinya merupakan pendekatan antropologi. Pendekatan ini diterapkan sebagai upaya melampaui filologi-historis ala islamologi klasik. Filologi-historis, khususnya yang berkembang pesat pada abad ke-19, merupakan pendekatan yang hanya mengamati fenomena meterial an sich di satu sisi, tetapi mengesampingkan aspek-aspek imaginer, proyeksi ilustratif, dan mitos di sisi lain.
Untuk melampaui metodologi islamologi klasik, maka di sini penulis mencoba menerapkan teori islamologi aplikatif (islamiyyat al-tathbiqiyyah) Muhammed Arkoun yang tak sungkan mendapuk amukan-amukan teoritis antropologi kontemporer. Pendekatan antropologis Arkoun ?€“-yang notabene merupakan approach multi-disiplinermewanti-wanti peneliti untuk tidak hanya mengamati fenomena sosiologis; pertentangan antar strata sosial, politik, ekonomi, dst. yang telah berperan menggerakkan sejarah, melainkan juga harus menganalisis aspek-aspek imaginer, khayalan fiktif, dan mitos. Antropologi kontemporer Arkoun merupakan pisau bedah analitik yang menempatkan aspek imaginer dan mitos dalam posisi kongruen (sebangun) dengan aspek meterial-empiris. Artinya, imaginasi, mitologi, dan cerita-cerita fiktif sama halnya dengan aspek material-sosiologis karena sama-sama memiliki peran penting sebagai penggerak sejarah. Analisis yang concern pada aspek mitologi dan imaginasi ini merupakan transformasi dari kecenderungan saintifik yang berkembang pada abad ke-19.

[3]Intertekstualitas; Sebuah Pembacaan Komparatif
Melalui eufoni Kalam sakral dalam surat al-Ikhlash, Memra Old Testament, dan Logos Novum Testamentum, Tuhan menyatakan dirinya sebagai Maha Esa (baca: ahad/ehad).

[4] Tuhan dalam terminologi Hegel disebut sebagai Roh Semesta yang menjadi dalang penggerak manusia. Manusia seakan-akan hanyalah wayang-wayang dengan kesadaran, pengertian, dan kemauan sendiri, namun sebenarnya tetap berada di tangan Sang Dalang (baca: Allah swt). Jadi, Roh Semesta atau Sang Dalang adalah Roh Objektif yang berperan sebagai pelaku sejarah sebenarnya.

Konsepsi teologis Hegel ini kemudian menjadi objek kritik Feuerbach. Bagi Feuerbach, Hegel telah mereduksi dan memutarbalikkan kenyataan aksiomatis. Hegel memberi kesan seakan-akan yang nyata adalah Allah yang tidak terlihat, sedangkan manusia yang kelihatan hanyalah wayangnya. Padahal, dalam pandangan Feuerbach, yang nyata hanyalah manusia. Feuerbach menambahkan, entitas materiil manusia adalah aksiomatis, sedangkan Roh Semesta hanya berada sebagai objek konsepsi pikiran manusia. Inti kritik Freuerbach terhadap Hegel adalah bahwa filsafat Hegel sejatinya hanyalah kepercayaan terhadap agama yang terselubung.

Dari elaborasi ini dapat ditarik satu benang merah bahwa kritik prinsipil terhadap posisi Hegel tersebut berdasarkan argumen Freuerbach (yang dianggapnya aksiomatis) bahwa realitas yang tak terbantahkan adalah pengalaman inderawi, bukan pikiran teologis spekulatif. Lebih ekstrim Freuerbach melihat manusia yang materiil adalah titik tolak filsafat yang sah, sehingga, sebagai konsekuensi logis, maka teologi harus diganti dengan antropologi.

Kritik agama Freuerbach ini kemudian menjadi basis bagi seluruh pemikiran Karl Marx. Menggaris bawahi pemikiran Freuerbach, Karl Marx menyatakan: Manusialah yang membuat agama, bukan agama yang membuat manusia. Dengan ungkapan lain, agama hanyalah produk proyeksi angan-angan manusia.

[5]Jika pandangan filosof-filosof Barat di atas ditarik dalam perdebatan internal Islam, maka konsepsi teosentris fatalistik Hegel segera menemukan padanan dan konvergensi dengan fatalistisme Jabariyyah. Namun harus dicermati secara kritis, konvergensi ini hanya berkisar pada tataran permuakaan ide, di mana fatalisme Hegel dan fatalisme Jabariyyah sama-sama memposisikan manusia sebagai wayang Roh Semesta. Sementara itu, dalam tataran internal paling dasar, epistemifikasi konsepsi Hegel memiliki konteks dan motif yang sangat bertolakbelakang dengan konteks munculnya fatalisme Jabariyyah. Konsepsi Roh Objektif/Roh Semesta dalam pandangan Hegel harus dibaca dari gagasan filsafat sejarahnya, sementara konsepsi fatalisme Jabariyyah harus dibaca melalui fenomena kesewenang-wenangan politik Dinasti Umawiyyah yang dijustifikasi dengan teologi teosentris-fatalistik.

Dalam filsafat sejarahnya, Hegel memahami sejarah sebagai gerak ke arah rasionalitas dan kebebasan. Dalam pergerakan sejarah ini, Roh Semesta berada di belakangnya. Roh Semesta mendapat objektivitasnya di dalam gerak sejarah. Roh Semesta itu seakan-akan menjelma dan mendapat ungkapan paling kuat dalam institusi negara, karena negara memiliki otoritas dan kehendak, sehingga ia dapat bertindak. Intinya, negara mengungkapkan Roh Semesta dan negara merupakan perjalanan Allah di dunia.

Sejarah benar-benar bergerak menuju ke arah tercetusnya kebebasan pada Revolusi Prancis, di masa orang-orang bebas mengikuti suara hatinya. Kebebasan itu kemudian menjadi struktur hukum dan negara-negara ?€“yang dinilai sebagai ungkapan Roh Semestayang mengakui hak-hak asasi manusia. Nah, negara-negara modern pasca Revolusi Prancis merupakan pengejawantahan rasionalitas (yang melawan despotisme dan kesewenang-wenangan penguasa periode lama) dan kebebasan yang ditandai dengan pengakuan hak-hak asasi manusia. Negara modern yang mengakui hak-hak asasi manusia ini dipandang oleh Hegel sebagai realisasi dari rasionalitas dan kebebasan. Negara modern ini adalah ungkapan paling kuat bagi Roh Semesta; Roh Semesta seakan-akan mengungkapkan dirinya dalam negara modern yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.

[6]Dari sana dapat kita raba, bahwa munculnya konsepsi Hegel tentang manusia sebagai wayang Roh Semesta adalah berangkat dari konteks perlawanan terhadap despotisme dan kesewenang-wenangan negara pra-modern dalam mengeksploitasi hak-hak asasi manusia. Di sisi lain, konsepsi fatalistik Hegel yang mengandaikan penjelmaan Roh Semesta dalam institusi negara sejatinya diproyeksikan untuk mengukuhkan otoritas negara modern pro hak asasi manusia.

[7]Syahdan, munculnya fatalisme Hegel sungguh memiliki faktor-faktor, motif-motif, dan background yang sangat bertolakbelakang dengan fatalisme Jabariyyah. Jika fatalisme Hegel muncul untuk melawan despotisme otoritas status quo negara pra-modern anti hak asasi manusia di satu sisi, dan di sisi lain untuk melegitimasi negara modern pro hak asasi manusia, maka fatalisme Jabariyyah justru dikonseptualisasikan guna menjustifikasi kedzaliman, kesewenang-wenangan, dan anarkisme kekuasaan Dinasti Umawiyyah. Tercatat dalam sejarah Islam bahwa epistemifikasi, teoritisasi, dan konseptualisasi fatalisme Jabariyyah adalah bertujuan untuk melegitimasi despotisme dan kerakusan-kerakusan yang tidak senonoh. Kubu Umawiyyah berdalih bahwa kebijakan despotik dan kerakusan-kerakusannya adalah semata-mata takdir Tuhan. Fatalisme Jabariyyah muncul sebagai upaya untuk memberangus hak-hak asasi manusia. Sungguh, fatalisme Hegel dengan fatalisme Jabariyyah bagaikan dua sisi mata keping uang yang saling berpunggungan atau bagaikan dua bunyi gendang yang tak sepenarian. Keduanya memiliki perbedaan krusial.

[8]Secara tragis dapat disimpulkan bahwa rancang-bangun fatalisme Hegel bertujuan mempersepsikan Tuhan sebagai Roh Semesta Yang Rasional (karena bertujuan melawan despotisme) dan Tuhan Kebebasan (karena pro hak asasi manusia), sementara rancang-bangun fatalisme Jabariyyah diproyeksikan untuk mempersepsikan Tuhan sebagai Penguasa Yang Irasional (karena Tuhan Jabariyyah berlaku dzalim mendukung politik kotor Umawiyyah) dan Tuhan Anti Kebebasan (karena Tuhan mereka dijadikan tameng guna menginjak-injak kebebasan manusia). Tuhan Hegel adalah Tuhan yang dijelmakan dalam sistem negara modern, sementara Tuhan Jabariyyah dijelmakan dalam sistem Khilafah Umawiyah yang notabene merupakan dinasti Arabis, anarkis, despotis, primitif ala Jahiliyyah, dan monarkhi natural (oleh Ibn Khaldun disebut dengan al-Mulk al-Thabii).

Konklusi-konklusi diskursif di atas harus segera digarisbawahi. Sejauh apapun capaian Hegel dan Jabariyyah, yang jelas Tuhan Yang Maha Transendental, Sakral, Tak Terbatas, dan Absolut, telah diseret dan ditarik ke dalam wilayah politik yang imanen, serba terbatas, profan, dan relatif. Tuhan Hegel dan Tuhan Jabariyyah bukan Tuhan Yang Sebenarnya, melainkan hanya tuhan (dengan t kecil) yang dipolitisasi, dipersonifikasikan, dan diilustrasikan oleh angan-angan teologis manusia.

Nah, di sini penulis ingin memodifikasi statemen Ludwig Feuerbach. Jika Feuerbach menyatakan: Tuhan hanyalah ciptaan angan-angan manusia, maka penulis hendak menegaskan: Tuhan adalah Tuhan itu sendiri, sedangkan konsepsi ketuhanan (teologi) adalah produk angan-angan imaginatif dan khayalan teologis-spekulatif manusia.
Konklusi bahwa pemikiran konseptual ketuhanan hanyalah ciptaan imaginasi teologis manusia ini tak terbantahkan oleh realitas sejarah, di mana pelacakan arkeologis dalam lapisan geologis khazanah ilmu kalam membuktikan adanya historisitas formasi konstruktif teologi Islam (tarikhiyyah al-takwin li bunyah al-teolojiyyah al-islamiyyah). Determinisme, predestinasi atau fatalisme Jabariyyah adalah konsep yang muncul guna menjustifikasi despotisme Dinasti Umawiyyah. Sebagai antitesis, konsep free will Qadariyyah-Muktazilah muncul sebagai perlawanan kalangan oposan terhadap kekuasaan tiranik Dinasti Umawiyyah.

[9]Muktazilah memiliki proyeksi imaginatif bahwa Tuhan adalah Entitas Rasional yang terpasung dan terikat oleh standar-standar keadilan dan kemaslahatan.
Untuk menghindari konsepsi ekstrim fatalisme Jabariyyah dan rasionalisme ekstrim Muktazilah, maka kalangan tradisional, yang dimentori oleh Ahmad bin Hanbal mencoba menggunakan metode yang mirip dengan metode teolog-teolog Yahudi. Metode tersebut menekankan pada disparitas antara esensi dengan aktivitas Tuhan. Kalangan tradisional mengklaim bahwa atribut-atribut Tuhan, seperti mendengar, mengetahui, melihat, berkata-kata, berkehendak, dst. --semuanya telah termaktub dalam al-Quran dan harus dipahami secara harfiyyah tetapi tanpa bertanya bagaimana (bila kayfa) adalah sudah ada bersama Tuhan sejak semula dalam cara sama, seperti al-Quran yang bukan makhluk. Atribut-atribut ini berbeda dengan esensi Tuhan yang sama sekali tak dapat diketahui. Pembacaan Ibn Hanbal ini mirip dengan doktrin Yahudi bahwa Taurat telah ada bersama Tuhan sejak awal (azali); bukan makhluk.
Untuk mendukung konsepsi teologis Ibn Hanbal, Asyari, dalam al-Ibanah, secara skriptural dan kurang konsisten ingin kembali pada konsepsi ketuhanan literal dalam al-Quran. Untuk tidak terjebak pada sebuah reduksi konseptual, maka Asyari, sebagaimana Ibn Hanbal, menyimpulkan atribut-atribut Tuhan sudah ada pada Tuhan sejak semula. Atribut-atribut itu adalah real, tetapi berbeda dari hakikat Tuhan itu sendiri. Lebih daripada itu, Asyari senantiasa mengambil posisi kompromistik antara abskurantisme fatalistik Jabariyyah dan free will Muktazilah. Ia mencela kehendak bebas versi Muktazilah, karena menurut Asyari hanya Tuhanlah pencipta perbuatan manusia. Di lain sisi, Asyari menentang determinisme, predestinasi, atau fatalisme Jabariyyah yang mentiadakan kontribusi manusia. Solusi Asyari adalah mengajukan konsep kasb; sebuah ide yang mencoba memanusiakan manusia dengan memberinya kontribusi dalam setiap aktivitasnya.

[10]Banyak kalangan menilai Asyari lebih condong pada fatalisme. Untuk itu, al-Maturidi, dalam al-Tawhid, dengan teknik-teknik rasional Muktazilah hendak mencari titik moderat dalam mengkompromikan antara Jabariyyah dengan Muktazilah. Namun, pada kesimpulan akhir, al-Maturidi lebih condong pada Muktazilah, khususnya dalam persoalan posisi akal dan syariat.

[11]Tak sejalan dengan pandangan para teolog di muka, Hisyam ibn Hakim, seperti dikutip oleh Karen Armstrong, mendefinisikan Tuhan dalam penampilan fisikal. Dengan pendekatan literal ia melangkah lebih jauh dengan pernyataannya: Allah mempunyai tubuh, dimensi-dimensi yang setara, luas, tinggi dan panjang, memancarkan cahaya, berukuran luar dalam tiga dimensinya, di suatu tempat di luar tempat, seperti sebatang emas murni, bersinar dari segala sisinya seperti mutiara bulat, memiliki warna, rasa, aroma, dan sentuhan. Pandangan ini banyak diterima oleh kalangan Syiah, karena bagi mereka, Tuhan adalah Realitas Transenden yang hanya dapat didefinisikan oleh imam-imam mereka.

[12]Dus, beberapa corak konsepsi teologis di atas menjadi bukti paling kuat bahwa pemikiran teologi hanyalah ciptaan angan-angan spekulatif manusia yang berbeda satu sama lain. Dengan demikian, gambaran tentang tuhan (dengan t kecil=tuhan dalam konsep teologis, bukan Tuhan sebenarnya) dapat saja direduksi sebagai tuhan tiranik, tuhan monarkhis, tuhan sosialis, tuhan republik, tuhan kaum teolog, tuhan para fuqaha, tuhan komplotan sufi, tuhan punggawa-punggawa filosof, tuhan sekte Wahabi, Sunni, Syii, dan seterusnya. Sekali lagi, Tuhan adalah Tuhan itu sendiri, sementara konsepsi ketuhanan (teologi) hanyalah produk khayalan imaginatif spekulatif manusia yang dicarikan justifikasi dari teks-teks keagamaan.

Al-Ikhlash; Relasi Teks dan Worldview
Al-Ikhlash merupakan bagian dari wahyu Tuhan yang telah termaterialkan dalam bentuk teks-teks. Dahsyatnya, teks-teks material ini mengandung nilai-nilai primer terkait dengan prinsip monoteisme yang, pada babakan selanjutnya, dipandang menjadi elemen pokok bagi pembentukan worldview kaum Muslim. Teks-teks material al-Quran yang memiliki keindahan stilistika telah menjadi penggerak bagi transisi yang sulit dari masyarakat paganisme menuju monoteisme dalam waktu dua puluh tiga tahun. Peran teks material yang dibawa oleh Muhammad saw berhasil mentransformasikan secara akselaratif terhadap keyakinan masyarakat Arab dalam waktu yang relatif singkat, dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan oleh orang Israel kuno. Konon, mereka membutuhkan waktu 700 tahun untuk memutuskan ketertarikan dengan keyakinan lama mereka dan menerima moniteisme.

Relasi antara teks material al-Ikhlash dengan formasi worldview patut ditelaah. Dalam konteks ini, teori Herder (1744-1803) relevan diadopsi guna menganilisis relasi tersebut. Herder merupakan pemikir Jerman yang menjadi pionir teori relasi antara teks dengan worldview. Baginya, teks bukan hanya instrumen komunikasi, melainkan juga merupakan perangkat yang membentuk pola pandang manusia terhadap entitas-entitas kosmos. Teks dipandang berpotensi menjadi parameter bagi konstruksi pemikiran manusia. Teori relasi intergral antara teks dengan worldview pada abad ke-18 hingga kini dikukuhkan oleh pakar-pakar linguistik dan etnologi, misalnya seperti Edward Siber dan Adam Schaff.

[13]Worldview adalah kepercayaan, perasaan, dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial
dan moral. Menurut Thomas F Wall, worldview mencakup elemen-elemen yang terdiri dari kepercayaan pada Tuhan, konsep ilmu, konsep realitas, konsep diri, konsep etika, dan masyarakat. Ninian Smart mengatakan bahwa elemen tersebut terdiri dari doktrin, mitologi, konsep etika, ritus, pengalaman dan kemasyarakatan. Sementara itu, menurut Naquib Al-Attas adalah terdiri dari konsep tentang hakekat Tuhan, konsep wahyu (al-Quran), konsep penciptaan, konsep jiwa, konsep ilmu, konsep kebebasan, nilai dan kebajikan, konsep kebahagiaan, dan lain-lain.

[14]Pandangan hidup (weltanschaung) Islam telah mulai dibentuk sejak peride Makkah. Formasi teks-teks Makiyyah, antara lain al-Ikhlash, mengekspresikan nilai-nilai monoteisme yang menjadi salah satu elemen pokok worldview Islam (al-tasawwur wa al-mabda al-Islami). Frase qul huwaLLahu ahad menjadi penegasan identitas konsep kepercayaan fundamental Islam terhadap Tuhan. Frase Allahu al-Shamad menjadi basis bagi pandangan kaum Muslim terhadap entitas kosmos ciptaan Tuhan yang senantiasa bergantung pada kemahakuasaan Tuhan. Dengan demikian, teks-teks al-Ikhlash bukan hanya teks meterial yang berpotensi dijadikan seni kaligrafi dan dibaca sebagai media ibadah, melainkan juga ?€“meminjam bahasa Herdermemiliki peran sebagai pembentuk wolrdview. ShadaqaLLahu al-Adzim.


--------------------------------------------------------------------------------

[1] Komparasi antar teks ini merupakan aplikasi dari teori intertextualit (al-tadakhuliyyah al-nashaniyyah) Muhammed Arkoun. Dalam konsepsi Arkoun dan Fyrnan Brudil, komparasi intertekstulitas merupakan mekanisme eksegesis yang amat penting. Kegunaan dari teori ini adalah untuk menyibak adanya konvergensi sinkronik (kepaduan) atau kontradiksi antara satu teks dengan teks yang lain; dalam konteks ini adalah konvergensi antara al-Quran-Pejanjian Lama-Perjanjian Baru, di mana dalam ketiga teks tersebut terekspresikan konsep monoteisme. [Arkoun, Al-Qur`an: min al-Tafsr al-Mawrts ila Tahll al-Khithb al-Dn, Beirut: Dar al-Thaliah, cet. III, 2005, h. 40].
[2] Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariat wa al-Minhaj, Damaskus: Dar al-Fikr, cet. II, 2003, vol. XV, h. 866.
[3] Muhammed Arkoun, Pour une critique de la raison Islamique, diarabkan oleh Hasyim Shalih, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, cet. III, 1998, h. 17. Bandingkan dengan Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-Aql al-Arabi inda Arkoun, Beirut: Dar al-Thaliah, cet. I, 2005, h. 69.
[4] Komparasi intertekstualitas tersebut mengindikaskan bahwa teks-teks Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang mengekspresikan nilai-nilai monoteisme merupakan teks-teks yang belum tersentuh oleh problem originality. Dalam tataran praksis, teks-teks tersebut kontradiktif dengan penyimpangan keyakinan trinitas Kristen maupun statemen Yahudi bahwa Uzayr adalah anak Tuhan. Intertekstualitas di sini diperlebar wilayah aplikasinya oleh penulis dalam komparasi antar konsepsi-konsepsi filosofis.
[5] Franz Magnis-Suseno, Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, cet. I, 1999, h. 66-72.
[6] Ibid, h. 59-60.
[7] Pemikiran Hegel tersebut pada babakan selanjutnya memunculkan perbedaan interpretasi antara Hegelian Kanan dengan Hegelian Kiri. Hegelian Kanan memandang negara modern ?€“yang merupakan ungkapan Roh Semesta-- sebagai pengejawantahan rasionalitas, sehingga harus ditaati. Sebaliknya, Hegelian Kiri, antara lain Karl Mark, menekankan aspek kritis konsep Hegel. Atas nama rasionalitas, Hegelian Kiri merasa harus menolak kebijakan negara modern yang tidak rasional dan merevolusinya agar kembali ke jalan rasional.
[8] Terkait historisitas teoritisasi fatalisme Jabariyyah dapat dirujuk dalam Nashr Hamid Abu Zaid, al-Ittijah al-Aqly fi al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyah al-Majaz fi al-Quran Inda al-Muktazilah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, cet. V, 2003, h. 17-20.
[9] Pandangan determinisme politis Umawiyyah di atas pada babakan berikutnya menyulut reaksi dari kalangan Qadariyyah dengan basis doktrin free will. Doktrin ini menekankan kebebasan kehendak manusia. Secara tragis para pembela ideologi Qadariyyah dibunuh oleh penguasa Umawiyyah; Mabad al-Jahni dieksekusi oleh Khalifah Abd al-Malik bin Marwan pada tahun 80 H., Jad bin Dirham digorok lehernya oleh Khalid bin Abdullah al-Qusry pada tahun 120 H. di bawah mimbar selepas shalat Ied, dan Ghaylan al-Damasyqi dibunuh oleh Hisyam Abd al-Malik. Perlu dijejalkan disini bahwa Mabad bin Dirham mengadopsi doktrin free wiil dari seorang guru Kristen, sementara Jad al-Jahni mengadopsi konsep tersebut ketika ia tinggal di Qalasin, kawasan dekat gereja di Damasqus. (Ibid, h. 18-19).

[10] Pemikiran Asyari secara keseluruhan dapat dirujuk dalam al-Ibanah an Ushul al-Diyanah, Cairo: Dar al-Anshar, 1397.
[11] Pemikiran brilian al-Maturidi dapat ditelusuri dalam karya monumentalnya, al-Tawhid, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. I, 2006.
[12] Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, Bandung: PT Mizan Pustaka, cet. VII, Dzulhijjah 1424 H/Februari 2004, h. 299.
[13] Abid al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Arabi, Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyyah, cet. VIII, 2002, h. 76-77.
[14] Hamid Fahmi Zarkasyi, Islam Sebagai Pandangan Hidup, makalah.



Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates