Penulis : Syamsun Niam
(Refleksi Tasawuf Sunni al-Ghazali)
A. Pendahuluan
Ada sementara anggapan bahwa sufisme adalah identik dengan pola hidup asketik dan kepasrahan hidup yang statis. Anggapan ini tidak selamanya benar, minimal bila hal itu dikaitkan dengan konsep sufisme yang diajarkan al-Ghazali, seorang sufi, teolog, filosof, dan juga seorang faqih yang mumpuni.
Dari karya-karya yang dihasilkan, ia menawarkan sufisme yang dinamis dan kreatif dengan melihat kehidupan ini sebagai proses untuk mencapai penyempurnaan diri yang harus dilalui melalui kegiatan yang aktif. Dalam kaitan ini al-Ghazali pernah mengatakan, anna al-saadata la tunalu illa bi al-ilmi wa al-amali (kebahagiaan tidak akan pernah ditemukan tanpa adanya ilmu dan amal).
Inilah salah satu aspek yang cukup menarik untuk ditelaah, dikaji dan diapresiasi secara kritis sehingga konsep yang dirtawarkannya dapat meluruskan sementara anggapan miring tentang tasawuf, dan mencairkan kekentalan sufisme yang bernuansa pasif, pasrah dan lari dari realitas. Di samping itu, al-Ghazali berusaha ingin menyelaraskan suatu konsep ajaran sufi yang tidak hanya mengutamakan ajaran syariah yang bersifat simbolistik-legalistik-formalistik semata, namun juga melalui pengembaraan dan perenungan hati secara mendalam dalam menemukan kebenaran sejati yang langsung datang dari yang Maha Benar, Allah swt melalui kebersihan dan kesucian kalbu. Sehingga cahaya Allah (nur al-Allah) inilah yang selanjutnya dapat membimbing manusia menuju ridla-Nya. Atau dengan kata lain, dengan menjalankan ajaran-ajaran hakikat di samping ajaran-ajaran syariat.
Hal demikian telah dilalui oleh al-Ghazali dalam mencari dan menemukan sebuah kebenaran, yang dimulai dari pemngembaraan intelektualnya sebagai seorang teolog, filosof, ahli batin, yang kesemuanya menurut al-Ghazali tidak dapat menuntunnya menuju kepada kebenaran yang hakiki (ilm al-yaqin), bahkan menjadikan diri al-Ghazali goncang, ragu, dan bimbang. Yang kemudian diakhiri dengan perjalanan spiritualnya. Di sini ia menemukan kebenaran sejati yang langsung diperolehnya dari Allah swt melalui hidayah-Nya. Keadaan inilah yang akhirnya mengilhami diri al-Ghazali sebagai seorang sufi yang arif yang sangat dihormati dan disegani pada masanya.
Melalui karya-karyanya, ternyata al-Ghazali tidak hanya berpengaruh pada dunia Islam, bahkan sampai ke dunia Eropa. Di sini al-Ghazali ingin menawarkan tasawuf yang dinamis dan kreatif dengan memoderasikan antara syariat dan hakikat, yang menurutnya tidak bisa dipandang berat sebelah
B. Pengembaraan Intelektual dan Spiritual al-Ghazali
Sebutan al-Ghazali sebetulnya bukan nama aslinya. Nama aslinya adalah Muhammad saja. Tapi lebih dikenal dengan Abu Hamid. Bila disebut secara lengkap namanya adalah al-Imam Zainuddin Hujjat al-Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi al-Faqih al-Shufi al-Syafii al-Asyari. Ia lahir pada tahun 450 H/1059 M di Ghazaleh, sebuah kota kecil yang terletak di dekat Thus di Khurassan empat setengah abad setelah Nabi Muhammad saw dari Mekkah ke Madinah dan kira-kira bersamaan dengan pengangkatan Sultan Alp Arselan ke singgasana Saljuk. Ia meninggal dunia pada usia sekitar lima puluh lima (55) tahun, pada tanggal 14 Jumadil akhir 505 H atau 19 Desember 1111 M.
Karir intelektual dan spiritualnya dimulai dari ketika ayahnya meninggal dunia, dan sebelum sang ayah meninggalkan al-Ghazali, dia menitipkannya pada seorang guru sufi agar memelihara kedua anaknya, yaitu Muhammad dan Ahmad, namun lama-kelamaan sang sufi yang faqir tersebut tidak bisa melanjutkan memelihara kedua bocah tersebut, karena kehabisan biaya untuk memeliharanya. Akhirnya ia mnyerahkan kedua bocah itu kepada madrasah Thus untuk bisa memperoleh makan dan pendidikan. Di sinilah awal mula perkembagan intelektual dan spiritual al-Ghazali yang penuh arti sampai akhir hayatnya. Secara sepintas di sini dapat digambarkan bahwa karir dan pengembaraan intelektual al-Ghazali dimulai dari pengajaran seorang sufi yang mengajari menulis (khath) di madrasah Thus, dia mulai belajar fiqh Syafii dan teologi Asyari dari seorang guru yang bernama Ahmad bin Muhammad a-Razakani al-Thusi. Dalam usianya yang belum mencapai 20 tahun, dia melanjutkan studinya ke Jurjan di bawah bimbingan seorang ulama, Abu Nasr al-Ismaili, selain belajar ilmu agama, dia juga giat mempelajari bahasa Arab dan Persia. Tidak diketahui berapa lama ia belajar di Jurjan itu, lalu al-Ghazali kembali ke Thus. Selama itu al-Ghazali sempat mempelajari ilmu tasawuf dari Yusuf al-Nassaj (w. 487 H), setelah itu al-Ghazali berangkat ke Nisyapur bersama beberapa orang temannya untuk berguru kepada Abu al-Maali al-Juwaini (w. 478 H), tokoh Asyarisme yang memimpin perguruan tinggi al-Nidzamiyah pada saat itu.
Di sini al-Ghazali memperoleh berbagai macam ilmu pengetahuan yang meliputi bidang fiqh, ushul fiqh, teologi, logika, filsafat, metode brdiskusi dan sebagainya. Di sini pula al-Ghazali sempat belajar sufisme kepada Abu Ali al-Fadlil ibnu Muhammad ibnu Ali al-Farmadhi (w. 477 H) dari segi teori dan prakteknya. Dengan demikian, selama di Nisyapur, kota terbesar di daerah Khurassan, al-Ghazali benar-benar menjadi seorang inteketual paripurna dengan menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Pada tahun 478 H/1085 M, al-Ghazali meningggalkan kota Nisyapur, karena guru tersayangnya, Imam al-Juwaini telah meninggal dunia. Dia menuju Muaskar dengan maksud bergabung dengan kaum intelektual dalam majlis seminar yang didirikan oleh Nidzam al-Mulk, seorang wazir Saljuk, pecinta ilmu dan seorang ulama. Di sinilah nama al-Ghazali mulai diperhitungkan, karena penguasaan ilmunya, kehebatan analisisnya, dan ketajaman argumentasi yang dikemukakannya. Sehingga al-Ghazali menjadi imam atau rujukan para intelektual di wilayah Khurassan waktu itu. Kurang lebih selama 6 tahun al-Ghazali terlibat dalam diskusi ini di Muaskar. Karena keluasan ilmunya al-Ghazali diangkat oleh Nidzam al-Mulk sebagai guru besar dan sekaligus memimpin madrasah tersebut di kota Baghdad pada tahun 484 H/1091 M.
Kedalaman dan keluasan ilmunya menyebabkan dia menjadi ragu (syak) terhadap kebenaran hasil pengetahuan yang diperolehnya melalui panca indera, karena panca indera terkadang tidak dapat dipercaya. Sebagai umpama ia sebut bayangan (rumah) kelihatannya tak bergerak, tetapi akhirnya ternyata berpindah tempat. Bintang-bintang di langit kelihatannya kecil, tetapi perhitungan menyatakan bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari bumi.
Begitu juga ketika al-Ghazali mempelajari ilmu kalam atau teologi dari gurunya, al-Juwaini, di situ ternyata terdapat beberapa aliran yang sangat bertentangan. Sehingga hal ini menyebabkan al-Ghazali menjadi ragu terhadap segala-galanya. Maka timbullah pertanyaan dalam diri al-Ghazali aliran manakah yang betul-betul benar di antara aliran-aliran ini? Sebagaimana dijelaskan dalam bukunya, al-munqidz min al-dlalal (penyelamat dari kesesatan), ia ingin mencari kebenaran sebenarnya, yaitu kebenaran yang diyakininya betul-betul merupakan kebenaran, seperti kebenaran sepuluh lebih banyak dari tiga.
Dengan adanya berbagai pertentangan di tubuh aliran-aliran kalam, maka menurut al-Ghazali ilmu kalam tidak dapat memenuhi tuntutan jiwa. Dalam kaitan ini, al-Ghazali mengatakan, maka kujumpai ilmu kalam adalah ilmu yang telah sempurna sesuai dengan tujuannya. Hanya saja belum mencukupi bagi tujuanku. Tujuan ilmu kalam adalah menjaga akidah ahlus sunnah dan melindunginya dari bisikan bidah.
Sifat rasionalitas dan banyaknya pertentangan konsep-konsep ilmu kalam justru membuat manusia mengambang keyakinannya. Dalam hal ini, al-Ghazali mengatakan, aku tidak meragukan bahwa ilmu kalam hasilnya telah memadai bagi suatu golongan tertentu, akan tetapi hasil yang masih berbau taklid terhadap hal-hal yang tidak bersumber atas pengertian-pengertian awaliyat. Hal ini sedikit faedahnya bagi orang yang menuntut kepastian yang benar-benar meyakinkan.
Setelah al-Ghazali mempelajari ilmu kalam dan dirasa di sana tidak dapat ditemukan kebenaran, maka al-Ghazali mencoba menguak tabir kebenaran menurut filsafat dan pendapat para filosof. Ternyata argumen-argumen yang dikemukakan para filosof tidak dapat memuaskan jiwa al-Ghazali, bahkan dia manganggap bahwa pendapat yang dikemukakan para filosof itu bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam keadaan inilah ia mengarang sebuah kitab maqashid al-fulasifah (pemikiran para filosof). Buku ini ditulisnya untuk mengkritik dan kemudian menghancurkan para filosof dan filsafatnya. Kritikan dan serangan itu dalam bentuk buku yang diberi judul tahafut al-fulasifah (kekacauan pemikiran para filosof: the incoherence of the philosophers).
Al-Ghazali menyerang dan mengkritik para filosof karena diasarkan pada penilaiannya terhadap hasil-hasil pemikiran filosof atas tiga kategori; pertama, pendapat-pendapat yang tidak dapat diingkari kenyataannya; kedua, pendapat-pendapat yang wajib dikafirkan; dan ketiga, pendapat-pendapat yang bersifat bidah. Di antara konsepsi para filosof yang dinilai al-Ghazali menyebkan kekafiran adalah bahwa alam itu qadim dan azali, Allah tidak mengetahui hal-hal secara terperinci (hanya mengetahui garis besarnya saja), dan bahwa yang akan dibangkitkan kembali hanyalah ruh tanpa jasad.
Ternyata al-Ghazali adalah bukan seorang yang mempunyai tipe mudah menyerah dalam mencari dan menemukan kebenaran sejati (ilm al-haqiqi). Maka dia mencoba menerobos dan mempelajari ilmu batin yang diajarkan oleh syiah bathiniyah yang mengharuskan pengikut-pengikutnya untuk bertaklid buta kepada imamnya dalam urusan agama dan keduniaan. Di sini al-Ghazali juga tidak bisa menemukan kebenaran, bahkan dia malah tidak membenarkan ajaran syiah tersebut. Al-Ghazali mengatakan, dari pada berpegang dan beriman kepada sesama pengikut Nabi, lebih baik beriman langsung dan mengikuti langsung kepada petunjuk dan sabda-sabda Nabi.
Setelah api jiwanya merasa tidak terpuaskan oleh jalan yang ditempuh ilmu kalam, filsafat, dan ajaran bathiniyah, al-Ghazali kemudian mengerahkan perhatiannya pada ajaran tasawuf. Berbagai kitab tasawuf ia santap dengan lahapnya, seperti kitab al-Risalat al-Qusyairiyah, Qut al-Qulub, dan lain-lain. Di samping itu, keluarga al-Ghazali juga sangat berperan dalam mengantarkannya dan sangat memberi peluang iklim kondusif baginya untuk mempelajari ilmu tasawuf. Saudaranya sendiri termasuk salah satu tokoh sufi. Ternyata dalam tasawuflah al-Ghazali dapat menemukan yang selama ini ia cari dan dambakan, yaitu kebenaran hakiki yang selamanya dilalui dengan berbagai pengembaraan panjang yang cukup melelahkan.
Akhirnya ia menarik suatu konklusi bahwa tasawuflah satu-satunya metode yang dapat mengantarkan pada konsepsi kebenaran sejati. Dalam kaitan ini dia mengatakan, kini aku menyadari seyakin-yakinnya, para sufilah yang menempuh pada jalan Allah swt, jalan mereka adalah sebagus-bagusnya jalan, cara yang mereka tempuh adalah yang palig benar, akhlak mereka adalah akhlak yang paling suci. Bahkan seandainya para ahli hikmah (kebijaksanaan) dan para ahli pikir serta ilmu para ulama yang berpegang pada syariat berkumpul untuk mengganti jalan dan akhlak yang lebih baik dari pada jalan para sufi mereka tidak akan mampu. Karena gerak dan diam mereka, baik lahir atau batin dipetik dari cahaya kenabian. Tidak ada petunjuk yang benar di dunia ini terkecuali dari cahaya kenabian (nur al-Nubuwwah).
Dari tasawuf inilah al-Ghazali memperoleh cahaya yang diturunkan Allah ke dalam dirinya, itulah yang membuat dirinya memperoleh keyakinan kembali. Mengenai cahaya ini al-Ghazali pernah mengatakan, cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan dan siapa yang menyangka bahwa (kasyaf) atau pembuakaan tabir bergantung pada argumen-argumen sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang demikian luas Cahaya yang dimaksud adalah cahaya yang disinarkan Allah ke dalam hati sanubari seseorang.
Dengan keyakinan yang dipegang al-Ghazali mengenai ajaran sufi itu, maka pada tahun 488/1095 M al-Ghazali mendadak meninggalkan Baghdad menuju Damaskus di Siria untuk menjalankan cara hidup yang sama sekali lain dari kehidupannya selama berada di Baghdad. Dia meninggalkan keluarga dan jabatan yang dipangkunya berikut kehidupan mewahnya, menuju hidup sebagai seorang sufi yang faqir dan zuhud terhadap dunia. Sebagaimana dikatakan al-Ghazali sendiri dalam bukunya, al-Munqidz, di Syam (Damaskus), aku tinggal kira-kira dua tahun melakukan uzlah (menyendiri untuk tafakkur), khalwat (mengasingkan diri di tempat sunyi), riyadlah (latihan diri), dan mujahadah (berjuang melawan hawa nafsu), menurut tasawuf yang pernah aku pelajari, semua itu untuk menjernihkan batin, supaya mudah berdzikir kepada Allah swt sebagaimana mestinya. Lama aku mneyendiri di masjid kota Damsyiq, di atas menara sepanjang hari dengan pintu tertutup. Dari Damsyiq aku pergi bait al-Maqdis, di sana setiap hari aku masuk ke Qubbat al-Salva dan tinggal di situ dengan pintu tertutup. Akhirnya timbullah keinginan di hatiku untuk menunaikan ibadah haji, berziarah ke Mekkah, Madinah dan makam Rasulullah saw, yaitu setelah berziarah ke makam al-Khalil Nabi Ibrahim as.
Faktor yang menyebabkannya adalah bersifat psikologis, karena di puncak karir intelektualnya dia telah mengalami perkembangan intelektual yang unik. Aktivitas sufi ini dijalani al-Ghazali selama kurang lebih 10 atau 11 tahun.
Seperti yang dikutip M. Amin Abdullah dari kitab al-Munqidz, bahwa bagi al-Ghazali sendiri doktrin mistik yang sangat menyentuh petunjuk moral bukanlah secara keseluruhan merupakan hal yang baru bagi al-Ghazali, namun dia hanya mengambil alih doktrin mistik ini dari para sufi pendahulunya. Dia sendiri menyebutkan bahwa dia telah membaca buku-buku sufi, seperti Qut al-Qulub oleh Abu Thalib al-Makki (w. 386/996), karya-karya dari haris al-Muhasibi (w. 243/857), al-Junaid (w. 298/910) al-Sibli (w. 334/945), dan Abu Yazid al-Bisthami (w. 261/875). Dengan demikian, ajaran sufi yang dipegangi dan diyakini al-Ghazali tidak bisa terlepas dari pengaruh para sufi ssebelumnya.
Walaupun begitu, al-Ghazali adalah seorang sufi yang selalu peduli dengan lingkungan yang mengitarinya, dan dia merasa bertanggung jawab atas keadaan masyarakat yang mengelilinginya. Di saat konsentrasi mistisnya memuncak, dia merasa terusik dengan persoalan-persoalan di sekitar, dekadensi moral dan amal muncul di mana-mana, baik yang terjadi dikalangan ummat maupun ulama. Keadaan ini yang kemudian menggugah al-Ghazali untuk berperan aktif dan mengobati penyakit-penyakit rohani yang diderita oleh umat pada waktu itu.
Sehingga pada tahun 499/1106 M, timbul kesadaran baru dalam dirinya bahwa dia harus keluar dari uzlah dan zawiyah (tempat khalwat sufi), karena terjadinya dekadensi moral dan amal di kalangan umat bahkan sampai ke kalangan ulama, sehingga diperlukan penanganan serius untuk menginjeksinya. Dorongan ini diperkuat oleh permintaan wazir Fakhrul Mulk (putra Nidzam al-Mulk) untuk ikut mengajar lagi di madrasah Nidzamiyah di Nisyapur. Di sini dia tidak lama mengajar, kemudian kembali ke Thus, tempat lahirnya. Di Thus ini dia membangun sebuah madrasah untuk mengajar sufisme dan teologi dan membangun sebuah khanqah untuk tempat praktikum para sufi di samping rumahnya. Akhirnya pada tanggal 14 jumadil akhir 505H atau tepatnya 19 Desember 1111 M, al-Ghazali meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.
C. Corak Tasawuf al-Ghazali
Mendiskusikan corak tasawuf dalam dunia sufi memang bermacam-macam ragam, pandangan, dan corak yang muncul. Namun kesemua pendapat yang dikemukakan berada pada satu tujuan. Yang berbeda barangkali adalah terletak pada sudut pandang yang mereka pakai. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani misalnya, memandang bahwa corak tasawuf yang berkembang di kalangan sufi itu ada dua; pertama, corak tasawuf sunni, dimana para pengikut memagari tasawuf mereka dengan al-Quran dan al-Sunnah serta mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah mereka dengan keduanya; kedua, corak tasawuf semi-filosofis, di mana para pengikutnya cenderung pada ungkapan-ungkapan ganjil (syathahat) serta bertolak dari keadaan fana menuju pada penyatuan tentang terjadinya penyatuan ataupun hulul.
Said Agil Siradj juga melihat bahwa corak tasawuf pada dasarnya ada dua; pertama, tasawuf sunni, yaitu tasawuf yang mempunyai karakter dinamis, karena selalu mendahulukan syariat. Seseorang tidak akan mencapai hakikat bila tidak melalui syariat. Sedangkan proses pencapaian kepada hakikat itu harus melalui maqamat (terminal-terminal). Dzun Nun al-Misri (w. 245 H) menyebutkan empat maqam, lalu berkembang menjadi tujuh maqam, yaitu taubat, zuhud, wara, faqir, sabar, tawakkal,dan ridla. Bahkan thariqat Qadiriyah menyebutkan empat puluh maqam. Dalam melewati suatu maqam menuju maqam yang lain, seseorang akan mendapati suatu kondisi efek (baca hal), seperti khauf, raja, fana, fana al-fana, dan seterusnya; dan kedua, tasawuf falsafi, dikatakan falsafi karena konteks (maudlu)nya sudah memasuki wilayah ontologi (ilm al-kaun), yakni hubungan dengan alam semesta (kosmologi), sehingga wajarlah jika jenis tasawuf ini berbicara masalah emanasi (al-faidl), inkarnasionisme (hulul), persatuan ruh Tuhan dengan ruh manusia (ittihad), keesaan (wihdat), dan seterusnya.
Kemudian bagaimanakah dengan corak tasawuf yang dikembangkan al-Ghazali, termasuk tasawuf sunni ataukah falsafi? Dalam kaitan ini, Simuh misalnya mengatakan, bahwa dengan bukunya, ihya ulumiddin al-Ghazali menuguhkan suatu ajarran konkrit, penyelarasan ajaran tasawuf dengan syariat. Tidak ada buku yang luas dan indah dalam upaya menyelaraskan tasawuf dengan syariat selain ihya ulumiddin. Lebih lanjut Simuh menegaskan, makin menyimpang dari syariat dalam pengamalan tasawuf akan terjerumus ke berbagai kepercayaan yang bersifat tahayyul yang menyesatkan. Mengutamakan perkembangan batin tanpa mengindahkan aturan-aturan lahir, laksana kuda yang tanpa kendali, akan terjerumus ke dalam kesesatan. Pengalaman tasawuf tanpa pedoman dan alat pemersatu syariat akan membawa chaos kerohanian yang memecah umat manusia menjadi beratus-ratus bahkan ribuan aliran. Hal ini berarti menyimpang dari tujuan tasawuf semula. Bertasawuf adalah untuk memperindah pengalaman beragama, dan bukan untuk merusaknya. Sepertinya Simuh lebih condong kepada pendapat yang mengatakan bahwa al-Ghazali adalah seorang sufi yang menganut corak sunni, karena dalam realitasnya, al-Ghazali telah memformulasikan pandangan-pandangannya yang tertuang dalam karya besarnya, ihya ulumiddin yang terdiri dari empat jilid.
Jilid I dan II berisi ajaran syariat dan akidah disertai dasar-dasar ayat suci al-Quran dan al-Hadis beserta penafsirannya, dibahas pula bagaimana tingkat-tingkat pengalaman syariat yang sempurna, baik lahir maupun batin. Pada jilid III dan IV khusus membahas tasawuf dan tuntunan budi luhur bagi kesempurnaan sebuah pengalaman syariat. Dimulai dengan membahas keajaiban hati beserta nafsu ammarah, lawwamah, dan muthmainnah, yang ketiganya saling berebut untuk menguasai batin manusia. Kemudian dilanjutkan tentang ajaran jihad akbar untuk menguasai hawa nafsu ammarah dan lawwamah. Yaitu ajaran tentang penyucian hati, yang dalam ajaran tasawuf diartikan memutuskan setiap persangkutan dengan dunia dan mengisi sepenuhnya hanya bagi Tuhan semata. Kemudian dilanjutkan tentang cara mengonsentrasikan seluruh kesadaran untuk berdzikir kepada Allah swt. Hasil dari dzikir adalah fana dan marifat kepada Allah. Sebenarnya al-Ghazalilah yang membuat tasawuf menjadi halal bagi kaum syariat, sesudah kaum ulama memandang sebagai hal yang menyeleweng dari islam. Demikian komentar Harun Nasution.
Dari dua corak tasawuf tersebut, menurut Abd al-Qadir mahmud, al-Ghazali masuk dalam kelompok tasawuf yang bercorak sunni, bahkan katanya, di tangan al-Ghazalilah tasawuf mencapai kematangannya. Sufisme sunni akhirnya beruntung mendapatkan seorang tokoh pembenteng dan pengawal bagi spirit metode Islam, yaitu al-Ghazali yang menempatkan syariat dan hakikat secara seimbang.
Berbeda dengan Simuh dan Abd al-Qadir Mahmud, Said Agil Siradj berpendapat, bahwa al-Ghazali bukanlah termasuk tipologi sufi-sunni, dia lebih merupakan sufi falsafi. Tentu pendapat ini terlepas dari kontek fiqh dan teologinya. Agil beralasan al-Ghazali dikategorikan sebagai ashhab al-hulul atau iitihad, dia merupakan generasi penerus al-Junaid dalam mengembangkan tauhid teosofis, di mana tasawuf Junaid lebih cenderung kepada tasawuf falsafi. Tentunya Agil Siradj mempunyai alasan kuat dalam pngelompokan ini.
D. Pengaruh Tasawuf al-Ghazali di Dunia
Al-Ghazali adalah seorang teolog, filosof dan juga seorang sufi. Tidak sedikit hasil pemikiran-pemikirannya yang dijadikan rujukan bagi kalangan intelektual muslim maupun non-muslim. Hal ini sebagaimana diungkapkan Yusuf Qardlawi bahwa sebelum al-Ghazali, terdapat para tokoh (aimmat) Islam, seperti al-Imam al-Haramain, Qadli al-Baqillani, Abu al-Hasan al-Asyari, semuanya adalah tokoh intelektual terkemuka di zamannya, namun pengaruh mereka hanya terbatas. Adapun al-Ghazali adalah salah satu tokoh alumni madrasah yang dibina dan dipimpin oleh mereka dalam menyebarkan ilmu dan pemikiran-pemikirannya. Dari pernyataan di atas, nampaknya kemasyhuran guru-guru al-Ghazali tidak bisa dilupakan begitu saja dari kemasyhuran al-Ghazali itu sendiri.
Adapun karya tulis al-Ghazali dalam bidang tasawuf yang sangat besar pengaruhnya terhadap generasi berikutnya, bahkan sering dijadikan rujukan sampai saat ini, anatara lain adlah ihya ulumiddin, bidayat al-hidayah, misykat al-anwar, dan sebagainya. Terutama oleh golongan Sunni. Sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa kekayaan ilmu yang ditinggalkan al-Ghazali yang dianggap lengkap setelah al-Quran dan al-Hadis adalah ihya ulumiddin (qad al-ihya yakunu Quran).
Hujjat al-Islam, Imam al-Ghazali adalah seorang tokoh yang sangat besar pengaruhnya bukan hanya di dunia Islam namun juga di Eropa. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Pacius, bahwa pengaruh al-Ghazali memang cukup luas di kalangan pemuka teolog Yahudi yang menjadikannya sebagai tempat rujukan dalam menuangkan pemikiran-pemikirannya. Bahkan di Indonesia sendiri, al-Ghazali dijadikan idola dalam bidang tasawuf. Setiap kali membicarakan persoalan tasawuf, hampir bisa dipastikan bahwa nama al-Ghazali selalu muncul. Sampai-sampai di kalangan NU al-Ghazali dijadikan madzab resminya dalam bidang tasawuf, di samping Junaid al-Bagdadi. Di antara contoh kuat yang dapat diajukan di sini adalah, pada abad 18 misalnya, di wilayah Melayu-Indonesia, al-Ghazali melalui bukunya, ihya ulumiddin menjadi primadona dan guru sufi par exellence. Azyumardi Azra dari hasil penelitiannya, mancatat bahwa al-Fattani, al-Palimbani, al-Raniri, al-Sinkili, dan al-Maqassari merupakan tokoh-tokoh ulama yang sangat terpengaruh oleh tasawuf al-Ghazali, dan mereka bertanggung jawab atas penyebaran neo-sufisme al-Ghazali, dan hal ini tercermin dalam karyanya, fadlail al-ihya li al-Ghazali. Keadaan ini terbukti dengan munculnya mahakarya al-Palimbani yang beredar luas di nusantara, adalah dua kitab yang erat kaitannya dengan tulisan-tulisan al-Ghazali, hidayat al-salikin fi suluk maslak al-muttaqin dan sayr al-salikin ila ibadat Rabb al-alamin.
Kedua karya tulis itu ditulis dengan bahasa melayu, dan karenanya dimaksudkan agar dapat dibaca para pembaca Melayu-Indonesia secara lebih luas. Hidayat al-salikin yang diselesaikan di Mekkah pada tahun 1778, dicetak beberapa kali di Mekkah (1287/1870) dan (1303/1885), Bombay (1311/1895), Kairo (1341/1922), Surabaya (1352/1933), dan Singapura (tt.), sayr al-salikin yang terdiri dari empat bagian, di tulis di Mekkah dan Thaif antara tahun 1193/1780 dan 1203. seperti hidayat al-salikin, sayr al-salikin juga dicetak di Mekkah 1306/1888) dan Kairo (1309/1893 dan 1373/1953) dan selanjutnya juga dicetak ulang di Singapura, Malasyia, dan Indonesia.
Hidayat al-salikin terutama membicarakan tentang aturan-aturan syariat yang ditafsirkan secara mistis. Seperti dikemukakan sendiri oleh al-Palimbani, dia merukan terjemahan karya al-Ghazali, yaitu bidayat al-hidayah. Di antara keadaan inilah yang kemudian mengilhami munculnya berbagai aliran thariqat yang akhirnya berkembang di dunia Islam.
Dengan munculnya thariqah-thariqah di dunia Islam yang begitu banyak jumlahnya, tentunya juga tidak bisa lepas dari pengaruh ajaran tasawuf yang dibawa al-Ghazali. Walaupun dalam perkembagan selanjutnya ada di antara thariqah-thariqah itu berjalan dan berkembang di luar rel ajaran-ajaran tasawuf yang sebenarnya.
Hal demikian ternyata mendapat perhatian serius bagi Simuh, yang pernah mengatakan bahwa sesudah masa al-Ghazali muncul gerakan-gerakan tahriqah yang ribuan jumlahnya, dan hal ini bisa mengubah citra tasawuf dari gerakan cendekiawan menjadi gerakan rakyat. Di tangan masyarakat awam pengalaman tasawuf tidaklah dapat dijaga kemurniannya, ia bercampur dengan ajaran yang serba magis dan klenik serta berasimilasi dengan tradisi-tradisi kepercayaan masa jahiliyah yang telah lama berkembang di tempat-tempat ajaran tasawuf. Gerakan tasawuf menjelma menjadi ordo-ordo thariqah yang sulit dikendalikan dengan batas-batas tuntunan syariat.
E. Penutup
Perjalanan panjang yang ditempuh al-Ghazali dalam meniti karirnya sebagai seorang sufi yang arif memang cukup melelahkan. Dengan jiwa kesabaran, ketabahan, keuletan, ketekunan, keberanian, dan istiqomah yang dimilkinya, ternyata telah berhasil menemukan jalan menuju kebenaran sejati yang datang dari Allah melalui hidayah-Nya (nur al-Allah).
Al-Ghazali telah berhasil mempertemukan antara ajaran syariat dengan hakikat dengan tidak memandang berat sebelah antar keduanya. Dengan tasawuf sunninya, ternyata sangat relevan dan elegan dengan perkembagan zaman. Karena tasawuf sunni al-Ghazali ini selalu menjunjung tinggi nilai-nilai syariy dan haqiqy, ilmy dan amaly (teori dan praktek). Al-Ghaaali sendiri pernah mengatakan, anna al-saadata la tanala illa bi al-ilmi wa al-amali.
Dengan keluwesan dan kedinamisan tasawuf sunni ini, ternyata telah membawa pengaruh besar di kalangan umat Islam. Keadaan yang demikian dibuktikan dengan munculnya berbagai macam thariqah yang tumbuh dan berkembang subur di dunia Islam dengan memakai nama dan metode yang berbeda dalam setiap prakteknya
Selasa, 24 Mei 2011
CORAK TASAWUF AL-GHAZALI DAN PENGARUHNYA
06.47
darussholah
No comments
0 komentar:
Posting Komentar