Selasa, 24 Mei 2011

Melacak Identitas Politik Islam


 Judul buku : Naqd al Siyasah, al Daulah wa al Dn
Penulis : Burhan Ghalioun
Tahun terbit : 1993
Tebal buku : 690 halaman
Penerbit : Dar al Faris li al Nashr wa al Tauzi’
Resensator: Ani Fitria FWS.

Agama dan negara, kadangkala dapat diibaratkan bagai dua sisi yang terdapat dalam sebuah mata uang, meski pada hakikatnya terdapat dalam satu benda, namun arahnya selalu berlawanan. Karena mau tidak mau, hubungan antar keduanya sama-sama melibatkan politik sebagai bahasan utama, meski masih juga dihujani dengan berbagai macam argumentasi individual sebagai konsekwensi untuk mencapai satu titik yang benar-benar menjadi impian sejagad, yaitu masyarakat madani.

Berawal dari hal yang patut disayangkan, bahasan tentang bagaimana sejatinya hubungan antara agama dan negara yang ternyata baru menggema setelah abad-abad terakhir ini, muncul dua sisi yang menjadi layak di’obrol’kan dalam bingkai sejarah politik Islam, khususnya diwilayah Arab, yaitu antara pembabibutaan’ terhadap nilai-nilai agama dan kenyataan yang bertumpu pada nasionalisme Barat. Darisini dapat di katakan bahwa umat Islam seakan dihadapkan pada dua pilihan yang serius antara religiusitas dan nasionalisme dalam berpolitik dan bernegara. Dan memang akan menjadi suatu pilihan yang sulit manakala ada segolongan yang masih bersikukuh mempertahankan kemesraan antar keduanya, sementara ada segolongan lain yang menganggap dua terma tersebut tidak bisa disatukan, dan mengklaim bahwa agama mempunyai dimensi yang berbeda dengan negara ataupun politik.

Bagi Burhan Ghalioun sendiri, golongan yang lahir dengan semangat pembaharuan pasti akan berceloteh bahwa apa yang menjadi spirit untuk menyatukan dimensi agama dan politik merupakan dalih dari usaha untuk menenggelamkan serta mengaburkan makna sebuah pemerintahan menjadi kekuatan atau kekuasaan yang dipengaruhi oleh undang-undang kekhalifahan, khususnya seperti apa yang terjadi pada masa Otoman. Selama ini, bisa dikatakan Bangsa-bangsa Arab masih belum menemukan kelamin’ yang jelas dalam menentukan apa yang harusnya menjadi prototype politik mereka dalam bernegara. Karena pada kenyataannya, akibat dari kemerosotan reformasi Islam dan terkotak-kotaknya Islam itu sendiri, sudah dapat diterka bahwa saat seperti itulah yang menjadi puncak invasi Barat pada pan Arabisme yang dalam hal ini selalu diwakili dengan nama Islam.

Yang lebih memilukan lagi, ternyata umat Islam belum juga bisa menjawab, manakala muncul selentingan pertanyaan tentang bagaimana relasi antara turats agama dan politik atau kehidupan sosial umatnya, juga bagaimanakah jamahan Islam terhadap ranah politik serta letak prinsip Islam tentang kekuasaan dan negara serta teokrasi atau demokrasikah politik bernegara dalam Islam itu sendiri (?!), semua itu seakan masih terkesan buram. Umat Islam tidak memiliki kepedulian terhadap realita yang menjadi pemicu munculnya anggapan bahwa penyatuan antara sekulerisme dan religiusitas sekaligus dalam tatanan perpolitikan di negara-negara Arab adalah hal yang mustahil. Justru keyakinan yang bertolak dari keputus-asaan umat Islam ini sebenarnya yang menjadi bumerang atas kerancuan tersebut. Tidak menuhankan agama dan juga tidak meng’agama’kan negara, menjadi kalimat penting yang membutuhkan perenungan sejenak bagi umat Islam sendiri. Paling tidak, berawal darisinilah pemahaman tentang bagaimana Islam memperlakukan manusia secara utuh dapat terungkap. Karena sejatinya, Islam datang untuk merangkul manusia, bukan untuk mengekangnya.



Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates