Penulis : Ubaidil Baidowi
PENGANTAR
Sudah sekian lama agama hidup dibawah bayang-bayang teologi. Sehingga begitu wajar manakala sebagian orang berkata: agama mustahil tidak berasoisasi dengan teologi. Seolah-olah jalan menuju Tuhan meniscayakan peran teologi. Sebagai kumpulan ajaran dengan beberapa tuntutan kepercayaan agama jelas membutuhkan penopang, dan teologi telah mengambil peran tersebut, namun akan sangat janggal jika konsekuensinya adalah monopoli teologi atas agama. Sebab, hal ini berarti agama yang notabene berasal dari Tuhan bergantung pada sesuatu yang dibuat manusia.
Sekedar membandingkan, dalam beberapa ayatnya Al-Quran banyak berbicara tentang fenomena alam (kauniyah), tak jarang diantaranya yang bersanding dengan ayat ketuhanan (ilahiyah). Walaupun tidak secara spesifik, hal ini dapat berarti bahwa metode ilmiah memiliki keunggulan dalam menguak misteri ketuhanan dan memiliki kans untuk menjadi penopang agama menggantikan peran doktrin teologi. Bahkan, jika metode ilmiah benar-benar dapat mengambil peran teologi posisinya akan jauh lebih strategis, mengingat metode ilmiah bersifat faktual dan empiris sedang teologi bersifat teoretis.
Dalam tulisan ini penulis berusaha menggali penafsiran kolaboratif dari ayat ilahiyah dan ayat kauniyah dan mencoba mendiskusikan kemungkinan bagi pengamatan ilmiah untuk menggantikan teologi sebagai jalan menuju Tuhan. Namun, sebelumnya perlu kami tegaskan bahwa pembahasan kita kali ini tidak berhubungan dengan upaya untuk membenarkan atau tidak menyetujui doktrin-doktrin keagamaan, tetapi lebih pada deskripsi dan penyelidikan ilmiah mengenai fenomena alam (yang disebut dalam Al-Quran) dalam kaitannya dengan isu-isu ketuhanan.
Setiap pembaca al-Quran pasti terbuai oleh susunan alaminya yang unik. Dimana kepala pembaca dibuat tergeleng karena perubahan ritme secara tiba-tiba atau dahi mereka terkerut karena perpindahan tema saat mereka sedang asyik masuk dengan tema sebelumnya. Sebagaimana yang kita saksikan pada tiga ayat dia atas; setelah kita diajak berbincang serius tentang hakikat ketuhanan tiba-tiba kita digiring untuk berfantasi tentang alam semesta.
Pada dasarnya tiga ayat tersebut secara eksplisit ditujukan untuk menunjukkan keberadaan Tuhan dan keesaanNya melalui ajakan untuk merenung dan mengambil pelajaran dari ciptaanNya. Dapat dikatakan perpaduan dari tiga ayat tersebut istimewa dan merupakan bentuk demonstrasi informasi yang amat tajam dan mengena, karena menggabungkan antara ayat ilahiyah yang bersifat filosofis-teologis dan ayat kauniah yang empiris.
Ayat pertama dan kedua yang berisi informasi seputar hakikat ketuhanan walau tampak detonatif secara makna takkan dapat menghasilkan pengetahuan kecuali pengetahuan yang bersifat dogmatis, sebab, bagaimanapun juga hakikat Tuhan bukanlah wilayah empiris yang dapat disentuh observasi dan eksperimen. Untuk mengatasi masalah ini, muncul ayat ketiga yang menyebutkan keagungan angkasa raya, bumi, siang-malam dan bahtera-bahtera sebagai pembenaran dari ayat pertama dan kedua. Karena ayat ketiga berkaitan dengan fakta-fakta empiris, setidaknya status ayat pertama dan kedua yang terlalu dogmatis dapat diminimalisir sehingga lebih dapat diterima.
Al-Biqai melihat fenomena pemaduan seperti ini sebagai upaya untuk merangkul semua kelompok pembaca . Sehingga tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk menolak pesan yang dibawa ayat. Dan di sisi lain juga dapat memperkokoh pengaruh pesan yang dibawa ayat kepada para pembaca .
Tiga ayat di atas terutama ayat ketiga begitu menarik untuk diperbincangkan, apalagi jika melihat opini mayoritas prihal tarik-menarik antara agama dan ilmu pengetahuan. Tetapi ternyata usaha penafsiran ayat-ayat kauniah tidaklah seperti membalik telapak tangan, selain membutuhkan kompetensi terhadap perangkat-perangkat tafsir konsekuensi untuk menguasai geofisika dan astrofisik tak dapat ditawar lagi. Barangkali karena alasan ini, penafsiran ayat kauniyah kurang diminati oleh para mufassir dan jikalau ada penafsiran tersebut terkesan dipaksakan. Mengenai hal ini Hanafi Ahmad (selanjutnya disebut Hanafi) berujar:
Sesungguhnya tidak terealisasinya penafsiran ayat kauniyah disebabkan proses penafsiran tersebut membutuhkan pengetahuan yang baik serta luas terhadap fisik semesta, sedangkan hal itu belum dapat dipenuhi oleh para mufassir bahkan semua manusia pada masa itu sampai munculnya penemuan-penemuan ilmiah baru
Oleh karena itu, menurut Hanafi kita tidak punya hak untuk memberi nilai atas posisi para mufassir terhadap ayat kauniah, justru kita berkewajiban menghargai usaha para mufassir yang telah menafsirkan ayat kauniyah sesuai dengan kemampuan mereka, lebih dari itu para mufassir telah menunaikan tugas fenomenal yaitu: menggali dasar-dasar aqidah dari ayat-ayat kauniah .
Pernyataan Hanafi sekalipun terkesan apologetis, tetapi cukup masuk akal dan dapat dipertanggung jawabkan, karena saya kira kita sepakat bahwa Al-Quran bukanlah sebuah rujukan ilmiah atau buku sains tetapi sebuah kitab suci agama .
MENCARI TUHAN DENGAN AYAT KAUNIAH
Harus diakui, dewasa ini banyak sarjana muslim berusaha mengadaptasikan khazanah pengetahuan dan tradisi islam dengan penemuan ilmu modern yang sedang trend, kita tak boleh mengasumsikan hal ini sebagai problem sebagaimana kita tidak mengasumsikannya sebagai berkah. Yang jauh lebih penting dari masalah ini adalah memperhatikan perbedaan antara penemuan ilmu pengetahuan dengan landasan filosofisnya.
Permasalahan ini sebenarnya adalah permasalahan klasik, para sarjana muslim kawakan pada masa lampau kurang lebih juga melakukan hal serupa. Sebut saja Fakhruddin Al-Razi, saat berbicara tentang fenomena alam Razi banyak berkiblat pada wawasan pengetahuan dari Yunani. Sinyalemen ini dapat terbaca dengan jelas dalam paparan Razi tentang alam semesta yang cenderung geosentris , tidak hanya Razi masih ada Ikhwan As-Safa , Mulla Shadra dan mungkin masih banyak nama-nama lain melakukannya.
Namun yang perlu kita acungi jempol dari nama-nama di atas adalah kemampuan mereka memisahkan pengetahuan dari landasan filosofis pengetahuan itu, dalam bahasa sederhana, walaupun mereka mengambil pengetahuan dari Yunani mereka tidak memandang realitas seperti yang dilakukan orang Yunani.
Dari tesis di atas kita akan mafhum jika Razi, Ikhwan As-Safa, Mulla Shadra justru mempergunakan pengetahuan asing sebagai justifikasi bagi ajaran Islam terutama dalam masalah ketuhanan.
Kembali pada ayat, Berkaitan dengan penetapan wujud Tuhan dari penciptaan langit Razi melihat ada empat belas poin , penulis tidak menyebutkannya satu-persatu tapi cukup mengangkat beberapa saja sebagai sample:
1. Proporsi benda-benda di jagad raya: Di jagad raya ini terdapat milyaran bahkan trilyunan bintang, planet, satelit planet, komet, asteroid dan meteorid. Walaupun semuanya tunduk pada aturan hukum alami semesta (thabiah falakiyah) tapi masing-masing juga memiliki karakter dan pola kerja (behavior) tersendiri. Seperti bumi yang berotasi pada porosnya serta berevolusi mengelilingi matahari atau bulan yang mengelilingi bumi dan matahari pada saat bersamaan. Kita tak dapat mengatakan semuanya menjadi sangat teratur secara alami atau kebetulan, karena hal ini telah terjadi selama jutaan atau bahkan milyaran tahun. Tentu saja ini mengisyaratkan sesosok Maha pengatur dan Maha pemelihara .
2. Keunikan benda-benda tersebut: Dari jumlahnya yang tak terhingga, masing-masing benda di jagad ini memiliki ciri-ciri tersendiri. Ada Venus yang berwarna putih, Mars yang kemerah-merahan atau Saturnus yang seperti memakai sebuah cincin. Diantara bintang-bintang ada yang muncul di siang hari ada pula yang muncul di malam hari, ada yang tampak terang ada pula yang berkedip-kedip. Orang yang bijak tidak akan melihat keunikan ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada aktor dibelakangnya . Dialah Allah Tuhan seluruh alam.
Selanjutnya, mengenai penetapan wujud Tuhan dari penciptaan bumi sebagaimana dikatakan Razi tidaklah rumit, sebab benda-benda yang berada di bumi bersifat dinamis dan mudah menerima perubahan . Lebih dari itu, benda-benda bumi juga sangat kompleks dalam ragam, pengambilan posisi dan kecepatan perubahannya, jika demikian maka akan sulit sekali untuk mengatakan bahwa fenomena yang terjadi pada benda-benda bumi berasal dari sifat alamiahnya (thabiah) atau karena sebuah kebetulan (the chance processes) seperti yang digembor-gemborkan para Darwinis. Inilah bukti adanya Sang Maha Pengatur.
PENUTUP
Dari uraian di atas yang begitu singkat kita memang belum sampai pada kesimpulan bahwa pengamatan ilmiah dapat menggantikan teologi sebagai jalan menuju Tuhan, tapi setidaknya kita sedang merenda jalan ke sana.
Keterangan :
Ibrahim Umar Al-Biqai, Nudzum al-Duror fi Tanasub al-Ayati wa al-Suwar, vol 1, hal 233, Maktabah al-Syamilah
2 Ibid, 229
3 Hanafi Ahmad, Tafsir al-Ilmy lil ayat al-kauniah fi Al-Quran, 47, Dar al-Maarif, tanpa tahun
4 Ibid, 33
5 Syaikhul Islam, Tafsir Ilmy why not, 2006, makalah
6 Teori yang mengatakan bumi merupakan poros semesta, dan matahari, bulan, juga planet berputar mengelilinginya. http://en.wikipedia.org/wiki/Geocentrism teori geosentris banyak dianut oleh para penganut aristoteles (arestotelian). Lawan dari teori geosentris adalah teori heliosentris yang mengatakan bahwa poros alam adalah matahari dan semua planet termasuk bumi berputar mengelilinginya. Teori ini digagas oleh Phytagoras. Hanafi ahmad, Op cit, 46
7 Lihat Rasail Ikhwan As-Safa, vol 2, 27, Dar Beirut, Beirut, 1983
8 Shadr al-Din Al-Syirazy, Tafsir Al-Quran al-Karim, vol 2, 91, Baydar, Qum, cet ketiga 1379 H
9 Fahruddin Ar-Razi, Mafatih Al-Ghaib, vol 2, 487, Maktabah Syamilah
10Ibid, vol 2, 487, data disunting dari referensi dan dikonversi ke bahasa yang lebih sederhana
11 Ibid, vol 2, 488
12 Ibid, vol 2, 492
Senin, 23 Mei 2011
Menemukan Tangan Tuhan Dibalik Setiap Fenomena
21.10
darussholah
No comments
0 komentar:
Posting Komentar