Penulis : Syamsun Niam
Abstaksi: Abu al-Hasan al-Syadzili adalah salah satu tokoh sufi besar Maroko, pewaris ajaran tasawuf Sunni. Dengan tarekat Syadziliyah-nya ternyata mampu mengantarkannya sebagai sufi termasyhur dan aspek-aspek pemikiran tasawufnya telah banyak diminati dan diikuti oleh banyak kalangan. Hal ini yang kemudian dapat menjulukinya sebagai quthb spiritual dunia. Tarekat dan pengikutnya juga menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, tidak hanya di wilayah Timur, namun juga Barat, sehingga ajaran-ajarannya selalu dikenang dan dilestarikan hingga kini. Banyak di antara para pengamat, pemerhati masalah-masalah agama, khususnya tasawuf ikut andil untuk memberikan komentar-komentarnya, baik dari Barat maupun Timur
Kata Kunci: Sufi Sunni, Falsafi, Tarekat Syadziliyah, Quthb
LATAR BELAKANG MASALAH
Pada abad VI dan VII Hijriyah, kehidupan sufistik mewarnai dunia Islam. Pada saat itu perkembangan tasawuf mencapai puncaknya, para sufi telah mentransmisikan ajaran tasawuf secara melembaga. Martin Lings (1971: 14) dalam Syaikh Ahmad Alawy, mengatakan bahwa fenomena demikian ini nampak setelah kemenangan dinasti Sunni atas dinasti Syiah (Buwaihi di Baghdad tahun 1055 M dan Fatimiyah di Mesir tahun 1171 M), juga pendudukan Baghdad oleh para penakluk Mongol tahun 1258 M, yang diiringi dengan migrasi sufi secara besar-besaran. Mereka menjadikan desa sebagai perkotaan dan mengadakan gerakan spiritual yang kemudian melembaga menjadi tarekat.
Tiga wilayah utama sebagai pusat tasawuf, yang selanjutnya berkembang menjadi tarekat adalah Mesopotamia, Khurasan dan Maghrib (Trimingham, 1979: 31). Berdasarkan penelusuran silsilah spiritual, tasawuf Mesopotamia berasal dari Junaid, sufi Iraq yang mewarisi tradisi Arab; tasawuf Khurasan dari Abu Yazid al-Busthami; dan dari kedua sufi tersebut selanjutnya berkembang sebagai madzhab tarekat di kawasan itu dan sekitarnya. Adapun tasawuf maghrib menyebar dari Abu Madyan (w. 1197 M), seorang sufi yang pernah menjadi guru Ibnu Arabi (w. 1240 M), dan juga pernah bertemu dengan Ahmad Rifai, pendiri tarekat Rifaiyah ketika ke Timur untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian melakukan kontak spiritual dengannya.
Dalam perkembangan selanjutnya, al-Syadzili, yang merupakan cucu dari spiritualis Abu Madyan, dapat mewarisi ajaran tasawuf Maghrib, dan berhasil mengembangkannya menjadi tarekat besar Syadziliyah setelah ia dan pengikutnya pindah ke Mesir. Dengan demikian reputasi al-Syadzili semakin besar dan kontribusi pemikirannya dalam bidang tasawuf semakin diperhitungkan dalam kancah perkembangan tasawuf di dunia Islam.
Masalah pokok yang ingin diangkat dalam penelitian ini adalah Aspek apa saja yang dikembangkan Abu al-Hasan al-Syadzili dalam pemikiran tasawufnya, sehingga banyak berpengaruh dan ditransfer oleh para pemikir dan para praktisi sufi di dunia?
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini adalah menggunakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang menggunakan sumber-sumber atau data-data kepustakaan yang memiliki kaitan dengan masalah yang sedang diteliti, dan oleh karena itu, penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif.
Terkait dengan penelitian ini, Ali Syariati menuturkan bahwa untuk mengetahui manusia besar semisal Abu al-Hasan al-Syadzili-- terdapat dua jalan, dan kedua jalan tersebut harus digunakan bersama-sama untuk memperoleh hasil yang sebenarnya, yaitu memahami orang besar yang akan dibahas.
Cara pertama, dengan mempelajari dan meneliti karangan-karangan intelektual dan ilmiah dari orang yang kita teliti, teori-teorinya, kuliah-kuliahnya, gagasan-gagasan serta buku-buku yang ditulisnya. Cara kedua, dengan mempelajari biografi. Cara ini umpamanya-- akan menjawab pertanyaan-pertanyaan; kapan dan dimana ia dilahirkan, keluarga, suku, dan rasnya, negerinya, bagaimana hidupnya semasa kecil, bagaimana pendidikan yang diberikan kepadanya, dalam lingkungan apa ia dibesarkan, dimana ia belajar, apa saja yang ia pelajari, kejadian-kejadian apa yang melintasi hidupnya, apakah kegagalan dan kesuksesan yang dialami dan diperoleh (Ali, 1990: 49; Sururin, 2000: 9-10), dan sebagainya.
Terkait dengan obyek yang hendak diteliti adalah tentang kehidupan dan pemikiran tasawuf al-Syadzili, maka untuk menerapkan kedua cara tersebut hanya dapat diperoleh melalui buku-buku yang berbicara tentang kehidupan al-Syadzili dan ajaran-ajarannya. Dengan demikian, buku-buku tersebut yang dijadikan sebagai sumber data, sehingga penelitian kepustakaan mutlak diperlukan.
Adapun metode pembahasan dalam penelitian ini adalah mempergunakan metode diskriptif analitis yang dipergunakan untuk mendiskripsikan data-data yang diperoleh. Metode kedua adalah metode komparatif yang digunakan untuk membandingkan antara data-data yang ada untuk dianalisis secara kritis sehingga menghasilkan kesimpulan yang memadai.
HASIL PENELITIAN
Sekilas tentang al-Syadzili
Al-Syadzili merupakan julukan yang diberikan kepada Abu al-Hasan al-Syadzili, seorang sufi termasyhur dari Maghrib (maroko), pendiri tarekat besar al-Syadziliyah (Lings, 1971: 57). Ia dilahirkan di Ghumara Maroko Utarapada tahun 593/1175 dalam lingkungan keluarga buruh tani (Haeri, 1993: 108). Secara genealogis, dari pihak ayah, al-Syadzili berasal dari keturunan darah biru (mulia). Rantai keturunannya dapat dipertemukan dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. (Rabi, Ed., 1993: 15).
Al-Syadzili menghabiskan masa kecil dan dan masa mudanya di Maghrib. Di daerah ini ia mulai mendapatkan bimbingan spiritual, sampai akhirnya ia menemukan seorang quthb yang mengantarkannya menjadi seorang sufi. Namun ia tidak mengembangkan tasawufnya di daerah ini. Mengenai kondisi Maghrib saat itu, Trimingham (1979: 46), menjelaskan bahwa perkembangan kehidupan sufisme di Maghrib relatif lamban. Di daerah ini ada sebagian pengikut madzhab Maliki, dan sekelompok aliran yang tidak jelas identitasnya telah menyebarkan fatwa yang menyalahkan dan melarang karya-karya al-Ghazali, dengan maksud untuk meraih kedudukan di pemerintahan pada masa pemerintahan Almovarid (1056-1147 M). aksi seperti itu juga pernah tumbuh subur di bawah kekuasaan Almohades (1130-1269 M). Dalam suasana intoleran dan kecurigaan seperti ini, sufisme tidak dapat berkembang dengan cepat dan terbuka. Hal demikian juga pernah dialami oleh Ibnu Arabi (1165-1240 M), sufi besar Spanyol, yang doktrin-doktrinya ditentang oleh kalangan terpelajar madzhab Maliki.
Demikian pula al-Syadzili, ia dapat mencapai karir sufinya yang tinggi, sebagai quthb dan pemimpin tarekat besar, bukan di daerah Maghrib tapi di Mesir. Di daerah yang disebut terakhir ini pula ia bangkit (656/1258), tepatnya di Humaithra dekat Laut Merah ketika dalam perjalanan balik dari ibadah haji tahunannya (Trimingham, 1979: 48). Dalam The Elements of Sufism dijelaskan, bahwa tempat keramatnya yang kelihatan di tengah padang pasir masih ada hingga sekarang, dan sangat dihormati. Di dekat makamnya terdapat dua keajaiban, salah satunya mengandung air manis, dan yang satunya mengandung air pahit. Ia adalah penghubung jarak antara dua lautan, lautan hukum pada bagian luar, dan lautan realitas pada bagian dalam (Haeri, 1993: 109). Dengan kata lain, ia merupakan salah seorang figur sufi yang mampu menggabungkan antara syariah dan hakekat tasawuf praktis.
Secara intelektual, al-Syadzili pertama-tama belajar di Fez (Maroko). Ketika duduk di Qurawiyyin University (Fez), ia bertemu beberapa guru yang memperkenalkan berbagai ilmu fiqh kepadanya (Haeri, 1993: 108). Di kota ini juga, ia berguru kepada tokoh tasawuf, Syekh Abu Abdullah Muhammad ibn Ali ibn Harazim (w. 633/1236), murid Abu Madyan Syuaib ibn al-Husain al-Tilimsani (1126-1197 M). Dari Syekh ini, al-Syadzili menerima khirqah (jubah kebesaran bagi seorang pneganut tarekat) pertamanya. Kemudian ia mengembara ke Timur pada tahun 615/1208. Tiga tahun kemudian, ia tertarik kepada madzhab al-Rifai dan mendapatkan Abu Fath al-Wasithi sebagai syekhnya. Ia pun tergoda untuk mencari quthb semesta (Trimingham, 1979: 48), sebagaimana dikutip dalam The Mystical Teachings of al-Syadzili, al-Syadzili menyampaikan:
Ketika saya datang ke Iraq, saya bertemu dengan Syekh Abu Fath al-Wasithi, saya tidak pernah melihat orang seperti dia di kota ini. Pencarianku ini adalah bertemu quthb. Sebagai sufi ia berkata kepadaku, apakah engkau sedang mencari quthb di Iraq, sementara ia berada di negerimu, kembalilah engkau ke tanah airmu, niscaya engkau akan mendapatkannya (Rabi, Ed., 1993: 15).
Akhirnya al-Syadzili kembali ke Maghrib dan mendapatkan Syekh Abu Muhammad Abd al-Salam ibn Masyisy (w. 1228) dari Fez, murid dari Abu Madyan Syuaib ibn al-Husain. Menurut penuturannya, ibn Masyisy merupakan quthb, pembimbing spiritual dan yang mempersiapkan dirinya untuk walayah (jabatan spiritual). Darinya, ia mendapat banyak pengetahuan tasawuf dan tarekat. Sampai di sini, al-Syadzili terus melakukan pendakian spiritualnya hingga mencapai puncaknya, sehingga menjadi sufi yang patut didegani dan dijadikan rujukan oleh sufi-sufi berikutnya di dunia hingga kini.
Genealogi Tasawuf al-Syadzili
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa al-Syadzili mempunyai banyak guru. Di samping guru-guru tersebut, menurut John Renard (1993: 49), Abu Madyan (1126-1198), paling tidak secara tidak langsung memiliki pengaruh formatif penting pada diri al-Syadzili. Oleh karenanya, ia dipandang sebagai kakaek spiritual al-Syadzili. Dikatakan demikian, karena al-Syadzili berguru kepada Abd al-Salam ibn Masyisy (w. 1228) yang dikenal dengan sebutan Ibn Masyisy atas petunjuk Abu Abdullah ibn Muhammad ibn Harazim (w. 1236), yang juga murid Abu Madyan. Setelah menerima jubah bertambal (khirqah) dari murid Abu Madyan yang lain, yaitu Abu Abdullah ibn Muhammad ibn Harazim dari Fez, dia mencari quthb spiritual. Seorang syekh mengatakan kepada al-Syadzili bahwa ia akan menemukan quthb itu di sebelah Barat. Ketika pemuda ini bertemu dengan Masyisy di Fez, maka ia mengetahui bahwa dirinya telah menemukan quthb alam semesta. Ibn Masyisy kemudian menyerahkan jabatan penuh kesabaran ini kepada al-Syadzili (Renard, 1993: 50).
Terkait dengan pemikiran Masyisy, Renard (1993: 50) mengatakan, bahwa pemikiran teologinya ada empat yang dianggap paling menonjol, yaitu: 1) keesaan Allah, seperti yang disadari melalui kezuhudan; 2) takut akan hukuman; 3) meyakini bahwa Allah Maha Hadir; dan 4) tenggelam akan kesadaran sifat-sifat Allah. Ibn Masyisy menekankan agar orang memenuhi kewajiban agamanya dan menjauhkan diri dari ambisi. Dia mengajarkan bahwa rahasia pengetahuan mendalam ada dalam pengetahuan kosmis Nabi Muhammad saw., sebagai penyebab final segala ciptaan. Dengan begitu, akan dapat dicapai tujuan untuk menyatu dengan Allah swt.
Di samping menerima pelajaran-pelajaran dari para gurunya, al-Syadzili juga banyak mempelajari kitab-kitab tasawuf yang dijadikan sumber pemikiran taswufnya. Di antara kitab-kitab tasawuf yang dikuasai al-Syadzili juga oleh muridnya, al-Mursi adalah kitab Khatam al-Auliya oleh al-Hakim al-Tarmidzi (w. 923) dan kitab al-Mawaqif karya Syekh Muhammad Abd al-Jabbar al-Niffari (w. 965). Selain itu, ada beberapa kitab tasawuf yang dijadikan al-Syadzili sebagai sumber ajaran-ajaran tasawufnya, termasuk kedua kitab yang telah disebutkan di atas, ketujuh kitab tersebut adalah:
a. Khatam al-Auliya, karya al-Hakim al-Tarmidzi. Kitab ini memuat berbagai masalah, di antaranya adalah masalah kewalian dan kenabian. Dalam pengajiannya, al-Syadzili memberikan syarah terhadap kitab ini.
b. al-Mawaqif wa al-Mukhatabah, karya Syekh Muhammad Abd al-Jabbar. Kitab ini memuat pengertian-pengertian yang tinggi dan khusus bagi mereka yang memiliki dzauq tasawuf. Diceritakan, kitab ini adalah pemberian Tuhan ketika pengarangnya tengah berkhalwat. Dalam kitab ini, pengarangnya menempatkan diri di suatu tempat (muwaqif) sedang berdialog dengan Tuhan, dan dari dialog ini akhirnya melahirkan ajaran tasawuf.
c. Quth al-Qulub, karya Abu Thalib al-Makky. Kitab ini ditulis menurut acuan syara dengan uraian dan pandangan sufi, sehingga syariat dan hakikat sejalan dan bersatu.
d. Ihya Ulum al-Din, karya Imam al-Ghazali. Kitab ini merupakan pengembangan dari ketiga kitab di atas. Al-Syadzili mengatakan, bahwa kitab ini mewariskan kepada kita dengan segudang ilmu. Sedang Quth al-Qulub mewariskan cahaya yang terang-benerang.
e. al-Syifa, karya Qadli Iyadh. Kitab ini dipakai al-Syadzili untuk mengambil berkah dan menjadi sumber syarah dengan melihat tasawuf dari sudut pandang fiqh.
f. Risalat al-Qusyairiyah, karya Imam al-Qusyairi. Al-Syadzili mempelajarinya sebagai kitab permulaan dalam perjalanan tasawufnya.
g. al-Muharrar al-Wajiz, karya Ibnu Athiyah. Kitab ini merupakan salah satu sisi dari pengajian dalam rangka melengkapi pengetahuan, dan disyarahi oleh al-Syadzili.
Demikian kitab-kitab yang dipelajari al-Syadzili, sehingga sangat berpengaruh pada pemikiran dan gerakan tasawufnya. Mengingat kitab-kitab tersebut adalah karya-karya ulama sufi Sunni, maka secara genealogis, tasawuf yang diajarkan dan dikembangkan al-Syadzili adalah tasawuf Sunni.
Aspek Pemikiran Tasawuf al-Syadzili
Abu al Wafa al-Ghanimi al-Taftazani (1985), A.J. Arberry (1985), dan Fazlur Rahman (1987), mengatakan bahwa al-Syadzili adalah salah seorang tokoh sufi terkenal dengan tarekatnya, al-Syadziliyah. Tarekat Syadziliyah adalah tarekat besar sebagaimana tarekat al-Qadiriyah, al-Rifaiyah, dan al-Suhrawardiyah. Dalam kaitan ini, Martin Lings (1991: 112) mengatakan, tarekat Syadziliyah adalah tarekat yang paling layak disejajarkan dengan tarekat al-Qadiriyah dalam hal penyebarannya, karena hampir semua tarekat dengan beragam namanya berasal dari salah satu tarekat ini. Bahkan ibn Athaillah memandang al-Syadzili sebagai orang yang ditetapkan Allah menjadi pewaris Nabi saw. Allah telah menegaskan universalitas peranan perantara al-Syadzili, melalui karamah-karamah, yang selanjutnya menunjukkan posisinya sebagai poros-spiritual alam semesta (Renard, 1993: 60). Walaupun demikian, menurut Schimmel (1981: 250) dan Rahman (1987: 258), ia tidak meninggalkan karya tulis. Di antara faktor yang menyebabkan ia tidak menuliskan ajaran-ajaran tasawufnya adalah karena ksibukannya untuk memberikan pelajaran kepada murid-muridnya yang banyak jumlahnya. Di samping juga karena kegiatan sosial yang dilakukannya, sehingga menyita waktu (Mansur, 1996: 206). Ajaran-ajarannya dapat dikenal oleh khalayak karena disebarkan oleh murid-muridnya.
Menurut Rahman (1987: 257-8), al-Syadzili tidak muncul untuk mengembangkan disiplin sufi tertentu, tetapi membiarkan orde sufi dilembagakan secara tersendiri. Arah ajarannya nampak secara umum sebagai ortodoksi (dia merekomendasikan ajaran tasawufnya kepada al-Ghazali) dengan penekanan ketaatan kepada Tuhan. Karena itu, aspek-aspek pemikiran tasawuf al-Syadzili dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. al-Syadzili membasmi pertapaan dan melarang para pengikutnya untuk meninggalkan profesi dunia. Dalam pandangannya, pakaian, makanan dan kendaraan yang layak dalam kehidupan sederhana, bisa menumbuhkan rasa syukur, mengenal nikmat Ilahi dan tidak berlebih-lebihan meninggalkan dunia. Meninggalkan dunia secara berlebihan akan menghilangkan arti syukur atas nikmat; dan sebaliknya, memanfaatkan dunia secara lebih akan membawa kepada kedzaliman. Manusia harus memanfaatkan semua nikmat yang diberikan Allah dengan sederhana dan sebaik-baiknya, sesuai dengan bimbingan Allah dan rasul-Nya (Mansur, 1996: 204).
2. Sebagaimana al-Ghazali, al-Syadzili adalah tipe seorang sufi yang tidak mengabaikan syariat. berkali-kali ia menegaskan bahwa seorang yang ingin memperdalam ilmu tasawuf, maka ia terlebih dahulu harus memperdalam ilmu syariat (Mansur, 1996: 204). Penegasan ini dijadikan salah satu aturan dalam tarekat Syadziliyah. Yang dimaksud dengan tasawuf di sini ialah latihan-latihan jiwa dalam rangka beribadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan-ketentuan Ilahi. Dengan pengertian tersebut, tasawuf mengandung empat aspek penting yang terdiri dari: a) berakhlak dengan akhlak Allah; b) senantiasa melaksanakan perintah-perintah Allah; c) menguasai hawa nafsu dan selalu malu kepada Allah; dan d) berketetapan dan berkekalan dengan Allah secara sungguh-sungguh (al-Sabbagh, 1993: 107).
3. Bagi al-Syadzili, jalan yang harus menjadi pegangan seorang sufi menuju Tuhan, ada empat hal. Apabila seorang sufi dapat menjalani (menyelesaikan) keempat hal tersebut, berarti ia telah mengetahui tasawuf dengan benar dalam pengetahuan yang hakiki (shiddiqin, muhaqqin). Namun apabila ia hanya menjalani tiga hal, ia termasuk seorang wali Tuhan. Sedangkan bila ia hanya menyelesaikan dua hal, ia termasuk seorang syahid. Akan tetapi, bila ia hanya sanggup menjalankan satu hal, ia dikategorikan sebagai orang yang melayani Tuhan dengan penuh keikhlasan. Keempat hal tersebut ialah: a) dzikir. Fondasinya adalah perbuatan-perbuatan yang benar, buahnya (hasilnya) adalah illuminasi; b) meditasi (tafakkur). Landasannya adalah ketekunan, buahnya adalah pengetahuan; c) kefakiran. Landasannya adalah rasa syukur, buahnya adalah meningkatkan rasa syukur; dan d) cinta (hubb). Pangkatnya adalah tidak mencintai dunia dan isinya, buahnya adalah persatuan dengan penuh rasa cinta (al-Sabbagh, 1993: 109).
4. Menurut al-Syadzili, ada beberapa cara untuk memperoleh argumentasi (dalil), dengan melihat tingkatan-tingkatannya. Dalil dapat diperoleh melalui akal (intellect), ini dimiliki oleh para ulama; dalil dapat juga diperoleh melalui anugerah Ilahiyah (karamah), ini dimiliki oleh orang-orang suci (para wali); dan dalil juga dapat diperoleh melalui jiwa yang dalam (sirr), ini dimiliki oleh para Nabi dan orang-orang yang sangat ikhlas (shiddiqun).
5. Berkaiatan dengan marifat (mystical knowledge), al-Syadzili sependapat dengan para filosof, bahwa marifat datang dari Tuhan dengan melalui dua cara: a) dengan melalui sumber kemurahan (ain al-jud), dengan merujuk kepada orang-orang yang diberi anugerah Ilahiyah (karamah) oleh Tuhan. Dengan karamah Tuhan, seseorang akan mencapai ketaatan kepada Tuhan; dan b) dengan cara mengerahkan usaha, seseorang akan mendapatkan karamah.
6. al-Syadzili juga menjelaskan istilah-istilah kunci dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, seperti keyakinan, hakikat, marifat, dan lain-lain. Menurutnya, yang disebut keyakinan (yaqin), adalah sesuatu yang meliputi pengertian tentang realitas-realitas Ilahiyah (haqaiq) tanpa ragu dan tanpa adanya sesuatu penghalang (hijab). Marifat adalah penyingkapan tentang pengetahuan yang terselubung, ketika tirainya terbuka, tentu kita dapat memanggilnya. Seseorang yang telah mengakses (memasuki) hakikat, ia digambarkan bahwa dirinya laksana dalam keterpesonaan. Sedang orang yang telah mencapai marifat, ia diangkat (maslub) dari dalam dirinya sendiri. Ilmu tasawuf, menurut al-Syadzili, adalah kumpulan khazanah yang berharga; illuminasi ialah pengetahuan spiritual yang mendalam (bashair); pengetahuan mistik (tasawuf) adalah ayunan Ilahiyah (sia); keesaan (tauhid) ialah ketulusan hati (shidq); hikmah adalah pengajaran (talim); dan cahaya (nur) adalah penjelasan.
7. Berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan, ia membaginya kepada pengetahuan yang diperoleh melalui pemeberian/pelimpahan Ilahiyah (mawahib) dan pengetahuan yang diperoleh melalui usaha (makasib). Sedang makasib dapat diperoleh melalui pengajaran (talim) dan juga dapat diperoleh melalui perenungan (nazhar).
8. Berkaitan dengan uzlah (mengasingkan diri dari keramaian), al-Syadzili berpendapat, bahwa apabila kita berhasrat untuk mencapai kesatuan (wushul) dengan Tuhan, kita harus meminta pertolongan kepada Allah, duduk di atas permadani ketulusan (shidq), meditasi (tafakkur), dan mengingat-Nya dengan ingatan yang benar, serta mengikatkan hati kepada ibadah, agar dapat menghasilkan marifat. Kemudian langgengkan rasa syukur, perhatian atau konsentrasi penuh (muraqabah), dan taubat untuk memohon ampunan Tuhan. Dzikir (mengingat Tuhan) dengan cara apapun akan mewariskan atau menimbulkan muraqabah dengan taqwa, ketika berhenti atau menghindarkan diri dari perbuatan dosa, akan mendapatkan beberapa kebaikan dari diri kita.
9. Bagi al-Syadzili, duduk di atas permadani keikhlasan, merupakan suatu realitas dari sifat-sifat kefakiran, kelemahan (kekurangan), ketidakmampuan, dan kerendahan hati manusia yang wujudnya adalah pengabdian (ubudiyah) kepada Tuhan sambil memperhatikan sifat-sifat kecukupan, kekuasaan, keperkasaan dan keagungan yang hanya dimiliki Tuhan semata.
Demikian aspek-aspek pemikiran tasawuf yang diajarkan dan dikembangkan oleh Abu al-Hasan al-Syadzili, yang tentunya menjadi khazanah yang tak ternilai harganya bagi yang mau mengambil dan mengamalkannya.
KESIMPULAN
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa al-Syadzili adalah tokoh besar sufi Sunni yang mewarisi tradisi-tradisi yang dikembangkan tokoh-tokoh sufi sebelumnya, yaitu al-Ghazali, al-Qusyairi, al-Makky, al-Jabbar, Qadli Iyadh, dan lain-lain. Pandangan sufistik mereka tidak sejalan dengan sufi falsafi, sebagaimana pernah diajarkan dan dikembangkan oleh Ibn Arabi, al-Hallaj, al-Busthami, dan lain-lain. Karena itu, tarekat yang dikembangkan al-Syadzili pun selalu berpijak pada tasawuf Sunni, dan pengembangan tarekatnya, al-Syadziliyah merupakan salah satu proses pelestarian terhadap ortodoksi Sunni.
Karena itu, ajaran yang ditekankan oleh al-Syadzili untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan adalah dengan di antaranyacara mengingat-Nya, mensyukuri atas egala nikmat-Nya; di samping juga harus adanya pengakuan dan penyadaran pada manusia akan adanya kelemahan, kekurangan, dan kefakiran; dan senantiasa memperhatikan akan kekuasaan, keperkasaan, dan keagungan-Nya.
BIBLIOGRAPHY
Abu Rabi, Ibrahim M. The Mystical Teachings of al-Shadzili. New York: State University of New York Press, 1993.
al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. Al-Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islam. Sufi dari Zaman ke Zaman. Terj. Ahmad Rofi Usman. Jakarta: Penerbit Pustaka, 1985.
Arberry, A.J. Sufism an Account of The Mystics of Islam. London: George Allen and Unwin Ltd., 1979.
Haeri, Syekh Fadhlalla. The Elements of Sufism. New York: Element Inc, 1993.
Ibn al-Sabbagh. The Mystical Teaching of al-Syadzili, Durrat al-Asrar wa Tuhfat al-Abrar. Terj. Elmer H. Douglas. New York: State University of New York Press.
Lings, Martin. Syekh Ahmad Alawy, A Sfi Saint of the Twentieth Century. London: George Allen and Unwin Ltd., 1971.
.............. What is Sufism, Membedah Tasawuf. Terj. Ahmad. Jakarta: CV. Pedoman Ilmu, 1991.
Mansur, H.M. Laily. Ajaran dan Teladan Para Sufi. Jakarta: Srigunting, 1996.
Rahman, Fazlur. Islam, Islam. Terj. Senoaji Saleh. Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Renard, John. Ibnu Abbad of Ronda, Surat-surat Sang Sufi. Terj. M.S. Nasrullah. Bandung: Mizan, 1993.
Schimmel, Annemarie. Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: The University of North Carolina Press, 1981.
Trimingham, J. Spencer. The Sufi Orders in Islam. London: Oxford University Press, 1979
Selasa, 24 Mei 2011
ASPEK PEMIKIRAN SUFISME ABU AL-HASAN AL-SYADZILI (1196-1258)
06.46
darussholah
No comments
0 komentar:
Posting Komentar