Senin, 23 Mei 2011

Telaah Historis dan Teologis Muktazilah ( 1 )


I. Sejarah Muktazilah

Penelusuran kembali terhadap puing-puing pemikiran teologi Muktazilah dan Asy\'ariah, menandakan sebuah usaha untuk memahami cara pandang teologis kebanyakan umat Islam. Sajarah telah mencatat bahwa dua sekte di atas adalah sekte besar, yang sedikit banyak- berhasil mewarnai pola dan karakter umat Islam. Sebab itulah, studi-studi kontemporer terhadap dua aliran tersebut baik Islam maupun orientalis- telah banyak dilakukan. Dan yang menarik, pembacaan atas turats Muktazilah dan Asy\'ariah tersebut telah menghasilkan kesimpulan yang berbeda satu dengan lainnya seiring dengan perbedaan sudut lihat masing-masing. Oleh karena itu, dalam kajian singkat ini, penulis berharap dapat merangkum kesimpulan-kesimpulan yang berbeda tersebut dalam kerangka komparatif meskipun dalam bentuknya yang paling sederhana.

Montgomery Watt, seorang orientalis asal Inggris dalam Free Will and Predestination In Early Islam (1942) mengatakan bahwa kesimpulan Horten yang menemukan adanya kemiripan antara Muktazilah dan Pemikiran Liberal Barat utamanya pada abad 19 dan 20 M. - adalah kesimpulan keliru. Masih menurut Watt, kemauan bebas (free will) dalam tradisi Islam berbeda dengan pemahaman yang berkembang di Barat. Dalam Islam free will memiliki makna yang lebih detil dan mendalam, sebab dalam tradisi Islam hanya Tuhanlah yang memiliki kehendak secara mutlak. Dr. Ali Syami al-Nassyar dalam Nasy\'ah al-Fikri al-Falsafi fi al-Islam, juga menemukan kesimpulan bahwa Muktazilah bukanlah pembawa bendera rasionalitas dalam Islam, seperti yang diyakini selama ini. Menurutnya, Muktazilah hanyalah kelanjutan dari dua sekte yang berbeda yaitu, Jahmiah (Jabariah) dan Qadariah. Kedua sekte itu meski secara prinsip berbeda; yang pertama fatalis; yang kedua sebaliknya- tetapi keduanya memiliki kesamaan yaitu, pada metode takwil yang rasional. Nah, Muktazilah kemudian menciptakan semacam cocktail pemikiran dari dua sekte di atas. Kesimpulan serupa juga dikatakan oleh Dr. H.S. Nyberg. Menurutnya Muktazilah bukanlah penganut faham rasionalis seperti disinyalir oleh mayoritas pemikir abad 19 dan 20 M.

Sedang dalam konteks Asy\'ariah misalnya, kesimpulan para orientalis -seperti Watt, Ignaz Goldzier, Wensinck dll.- bahwa hengkangnya al-Asy\'ari dari aliran Muktazilah disebabkan oleh faktor-faktor materialis dan eksternal belaka. Namun Dr. Hamudah Gharabah dalam Abu al-Hasan al-Asy\'ari (1973) memberikan satu fakta bandingan atas kesimpulan Goldzier dan kawan-kawan. Gharabah mengatakan bahwa para oreintalis telah menisbatkan kesimpulan yang salah kepada Asy\'ari. Keterpakuan orientalis pada al-Ibanah dan perhatian yang kecil pada al-Luma\', membuat mereka sempit dalam melihat Asy\'ari. Migrasi yang dilakukan Asy\'ari dari Muktazilah menuju metode barunya adalah murni sebuah hijrah pemikiran. Asy\'ari seolah telah menemukan setitik \'noda\' dalam tradisi berpikir Muktazilah dan menemukan secercah sinar pencerahan pada manhaj baru yang ia gagas. Masih dalam konteks Asy\'ariah, Dr. Jalal Muhammad Hamid Musa dalam al-Asy\'ariah wa Tathawwuruha juga memberikan satu pengantar menarik. Dr. Jalal mengatakan bahwa mengetahui mana yang lebih awal antara kitab al-Ibanah dan al-Luma\' adalah sebuah keharusan. Menurutnya dari situlah kita akan mengetahui secara pasti posisi al-Asy\'ari atas kelompok Hanabilah atau Salafiah.

Dari penemuan-penemuan singkat di atas, penulis semakin yakin bahwa silang pendapat yang terjadi di antara para pemerhati sekte-sekte Islam akan menambah runyamnya pemahaman, jika ego sepihak masih mendominasi. Oleh karena itulah mengapa penulis \'memaksa\' untuk menghidangkan sajian ini dalam bingkai komparatif, meski dalam kapasitas yang singkat. Namun target akhir yang ingin dicapai dari catatan ini adalah upaya untuk menguak ufuk pemikiran teologi pada tiga abad pertama Hijriah secara umum. Dan dialektika antara Ahlussunnah/Asy\'ariah dan Muktazilah bersama dengan sekte-sekte semasanya cukup untuk dijadikan sampel 3 abad pertama H., yang Ahmad Amin menamakannya dengan Dhuha al-Islam.

a. Sejarah Muktazilah


Muktazilah adalah salah satu dari sekian banyak julukan yang dimiliki sekte ini. Di samping Muktazilah, aliran pemikiran yang lahir di penghujung abad dua Hijriah ini, masa di mana peradaban Islam sedang berada pada titik kulminasinya, juga di kenal dengan Ahlu al-Adli wa al-Tauhid, seperti yang diakui oleh imam Ibn al-Murtadha, salah seorang pemikir Muktazilah. Selain daripada itu nama-nama semisal: Ahlu al-Haq; al-Qadariah; al-Tsanawiah al-Majusiah; al-Jahmiah; al-Khawarij; al-Wa\'idiyah dan al-Mu\'thilah, juga menjadi sapaan akrab sekte ini. Semua nama-nama di atas memiliki relevansinya masing-masing, seperti tang telah dikupas oleh Prof. Zuhdi H. Jarullah dalam al-Mu\'tazilah. Namun nama al-Muktazilah adalah yang paling sering dipakai dan menjadi identitas utama dari kelompok pengagung rasio ini. Oleh karena itu nama yang terakhir inilah yang akan kita telaah dalam paparan selanjutnya.

Sejarah Muktazilah merupakan salah satu pembahasan yang menyita perhatian banyak pihak. Hal ini mengingat perbedaan riwayat yang merekam detik-detik lahirnya sekte ini. Karenanya kapan dan apa yang melatarbelakangi munculnya Muktazilah masih menjadi perdebatan. Dr. Nassyar juga berpendapat demikian. Menurutnya apakah Muktazilah muncul dari perdebatan yang terjadi antara Washil bin Atha\' (131 H.) dan Hasan al-Basri (110 H.) dalam hal ini ada tiga riwayat-, ataukah ia merupakan sekte yang lahir dari keniscayaan sosial saat itu, atau ia lahir dari suatu keyakinan tertentu yang kemudian berkembang, berproses lalu membentuk sebuah wadah yang dinamakan Muktazilah. Semua itu masih dalam tanda tanya besar. Namun, seperti disinyalir banyak kalangan bahwa orang pertama yang menyatakan konsep al-manzilah bayna al-manzilatain yang menjadi prinsip utama Muktazilah- adalah Washil bin Atha\'. Itu berarti, Muktazilah sebagai suatu faham lahir di sela-sela 110-131 H.

Berbeda dengan Carlo Alfonso Nellino, seorang pemikir asal Italy yang memiliki tesis lain. Berdasar pada riwayat al-Mas\'udi dalam Muruj al-Dzahab, ia menyimpulkan bahwa istilah Muktazilah tidaklah ditujukan pada mereka yang memisahkan diri dari Ahlussunnah. Tetapi lebih ditujukan pada sekelompok orang yang berusaha menjauh dari tokoh agama dan politik serta menghindar dari pertikaian yang terjadi di kalangan umat Islam. Karenanya istilah Muktazilah bukan julukan dari Ahlussunnah, melainkan nama yang mereka pilih untuk gerakan yang mereka lakukan. Dr. Nassyar dalam kesempatan ini telah memberikan klarifikasi yang panjang sehubungan dengan kesimpulan Nellino tersebut. Senada dengan Nellino, Montgomery Watt juga berpendapat demikian. \"Perbedaan mendasar antara Muktazilah dan sekte-sekte semasanya atau bahkan sebelumnya adalah kecilnya peran politik pada sekte ini\", demikian kata Watt. Padahal, masih menurut Watt, Muktazilah adalah sekte yang memiliki pandangan politik yang jelas.

Al-Qadhi Abdul Jabbar (w. 415 H.)sebagai tokoh Muktazilah- memberikan satu komentar unik sehubungan dengan asal-usul Muktazilah ini. Menurutnya, orang pertama yang mencetuskan ilmu kalam adalah imam Ali R.A. Kemudian muncul penerus Ali yaitu kedua putra beliau, Muhammad bin al-Hanafiah dan Abu Hasyim. Dari kedua generasi Ali inilah Washil bin Atha\' berhasil mengilhami konsep-konsep i\'tizal. Namun sejauh penelusuran terhadap data-data sejarah, belum dapat dipastikan bahwa kedua generasi imam Ali tersebut pernah mengarungi kehidupan i\'tizal. Bahkan, menurut data sejarah pula, diketahui bahwa imam Ali sendiri termasuk sosok yang melarang untuk intens dalam masalah-masalah qadar/predestination. Meski demikian Ibn al-Murtadha (850 H.) juga berupaya untuk sebisa mungkin menisbatkan Muktazilah kepada imam Ali. Dengan tujuan agar Muktazilah tidak dipandang sebagai aliran yang keluar dari frame Ahlussunnah.

Ahmad Amin dalam Fajrul Islam, juga memberikan informasi lain seputar sejarah Muktazilah ini. Menurutnya salah satu riwayat menunjukkan bahwa Muktazilah adalah sebutan bagi kelompok yang tidak ikut serta dalam peperangan Jamal dan Sihiffin. Seperti kita ketahui bahwa kedua \'perang saudara\' itu sarat dengan nuansa politis, baik yang berdasar atas terbunuhnya Utsman maupun yang disebabkan oleh perseteruan politik antara Ali dan Muawiyah. Apapun yang terjadi, sangatlah jelas bahwa pertikaian tersebut telah terbungkus rapi oleh baju agama. Dengan demikian istilah Muktazilah dalam konteks ini- akan lebih dekat kepada Khawarij, sebagai kelompok yang mangkir dari perhelatan politik yang terjadi antara Ali dan Muawiyah. Namun jika diteliti lebih dalam maka, kemungkinan yang terakhir ini akan sangat jauh bila kita bandingkan dengan kasus Washil bin Atha\' di Bashrah. Dari kasus itu, kesimpulan yang paling kuat menyebutkan bahwa Muktazilah secara mendasar- memiliki perbedaan tajam dengan aliran-aliran yang hidup di masanya, baik Khawarij, Murji\'ah maupun Azariqah. Khwarij seperti diketahui- memiliki konsep iman yang menegaskan bahwa iman adalah bagian dari perbuatan. Dari konsep ini lahirlah keyakinan bahwa seorang pendosa besar akan masuk neraka. Demikian pula dengan Murji\'ah. Salah satu sempalan Khawarij ini memiliki dasar yang berbeda. Menurut mereka iman adalah urusan hati, bukan perbuatan. Karenanya bagi mereka yang tidak melaksanakan beban agama semisal shalat- tidaklah termasuk pendosa besar. Nah, Muktazilah sebagai sekte yang baru lahir saat itu memiliki konsep yang berbeda yaitu konsep al-manzilah bayna al-manzilatain. Bahwasanya seorang pendosa besar tidak diktegorikan kafir sebagaimana tidak dianggap beriman.

Abu Zahrah dalam \"Sejarah Sekte-Sekte Islam\", menemukan satu konklusi yang ia sarikan dari Fajrul Islam. Menurutnya Muktazilah adalah kembaran dari salah satu sekte Yahudi, Pharisees, yang berkembang saat itu. Pharisees dalam bahasa Arab bermakna Muktazilah. Bukan hanya itu kemiripan antara kedua Muktazilah ini Islam dan Yahudi- juga ditemukan dalam konsep dan metode berpikir mereka. Pharisees, dalam menafsirkan Taurat memakai logika-logika filsafat, selain itu mereka juga memiliki konsep Predestination(qadar). Karena itu, dari kedua karakter ini paling tidak- pengaruh Pharisees, terhadap Muktazilah dapat dilacak.

Apapun yang terjadi Dr. Nassyar telah mengambil dua kesimpulan menarik sehubungan dengan sejarah Muktazilah ini. Pertama, istilah Muktazilah adalah nama yang mereka gunakan sebagai identitas diri mereka. Kesimpulan ini dikutip al-Razi dari Qadhi Jabbar yang mengatakan bahwa, kalimat i\'tizal yang termaktub dalam al-Qur\'an bermakna; al-i\'tizal \'an al-bathil. Dalam hal ini Qadhi Jabbar mencantumkan sebuah hadits; \"Umatku akan terbelah menjadi 70 kelompok, dan kelompok yang selamat adalah Muktazilah\". Kedua, bahwasanya sikap i\'tizal yang mereka lakukan adalah sebuah protes atas naiknya Muawiyah sebagai khalifah. Mereka tidak lagi peduli dengan kondisi sosial dan politik, dan menjauh dari problematika masyarakat. Yang mereka lakukan hanyalah ibadah dan perenugan. Namun, kenyataannya, perhelatan politik yang terus melilit, mendorong mereka untuk kembali terjun dalam politik. Dari sinilah lahir dua kecenderungan dalam sekte Muktazilah, yang pertama Murji\'ah dan yang kedua adalah Muktazilah seperti yang kita kenal sekarang, Muktazilah yang dicetuskan oleh Washil bin Atha\'.

Tidak lengkap kiranya jika kita membahas sejarah sekte tertentu, tanpa mengetahui kondisi sosial, politik dan keagamaan yang melingkari munculnya sekte itu. Karena itu penulis -dengan sekuat otot- akan berusaha menyajikannya dalam bentuk yang simpel. Setidaknya ada beberapa premis-premis penting yang mengiringi lahirnya Muktazilah. Pertama, terjadinya perselisahan di antara umat Islam. Tarik tambang kepentingan politik yang terus terjadi, dimulai dari terbunuhnya Utsman, pembunuhan Ali, hingga naiknya Mua\'wiyah ke pucuk khilafah, masih terus menorehkan rasa getir di kalangan umat Islam. Ruh keagamaan yang besar yang dimiliki umat Islam saat itu, mendorong mereka untuk berusaha memberikan solusi-solusi agamis. Di antara permasalahan yang marak saat itu adalah masalah pendosa besar (grave sins). Permasalahan ini sangat berhubungan dengan kondisi umat Islam yang semakin gemar melontarkan terma kafir, iman dsb. Keadaan semacam inilah yang kemudian melahirkan suasana saling tuduh (kafir) yang berujung pada penghalalan darah. Perdebatan terus terjadi, perhelatan pemikiran terus berlanjut seiring dengan bercabangnya pola ijtihad masing-masing.

Ahlussunnah sebagai salah satu komponen sosial saat itu, menyatakan bahwa pendosa besar selain syirik- tidaklah tergolong kafir, ia tidak keluar dari bingkai keimanan, namun ia akan mendapatkan ganjaran. Hal ini selaras dengan konsep iman Ahlussunnah yang menyatakan bahwa iman adalah pembenaran hati. Berbeda dengan Khawarij yang justru menyatakan sebaliknya. Menurut mereka, para pendosa baik kecil atau besar- adalah kafir, mereka akan kekal di neraka. Dalam pandangan Khawarij iman dan amal adalah satu kesatuan yang tak terpisah. Dari kedua kubu di atas muncul pula kelompok ketiga, Murji\'ah dengan konsepnya yang baru. Menurut mereka, para pendosa besar tidak masuk dalam kategori kafir. Mereka tetap seorang mukmin, ia tidak berhak dihukum di dunia, biarkan Allah yang menyelesaikannya di akhirat kelak.

Dari kondisi umat Islam yang menghawatirkan tersebut lahirlah Muktazilah dengan ufuk pemikiran yang lain. Di awali dari perdebatan antara Washil bin Atha\' dengan sang guru Hasan al-Bashri, muncullah konsep al-manzilah bayna al-manzilatain, seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya. Menurutnya pendosa besar tidaklah kafir sebagaimana ia tidak mukmin. Ia berada pada posisi tengah.

Tetapi sejalan dengan gesekan yang terus terjadi, persengketaan pemikiran terus berkembang. Bukan hanya masalah dosa besar, tema-tema politik, khilafah, imamah dan lain sebagainya juga menjadi komoditas pemikiran saat itu. Oleh krena itu, dari gambaran singkat ini, dapat kita ketahui bahwa Muktazilah sebagai makhluk sosial- cukup peka dalam merespon gejala-gejala sosial keagamaan zamannya. Muktazilah berusaha menjadi penengah dari pertikaian yang terjadi, setidaknya itulah kesimpulan H.S. Nyberg dalam pengantar al-Intishar.

Kedua, pengaruh peradaban dan agama asing. Sebagaimana kita ketahui bahwa abad ke 2 Hijriah adalah abad keemasan Islam. Di abad ini, Islam berkembang dengan pesat, merayap hampir ke seluruh wilayah Arab, Afrika dan lain-lain. Oleh karena itu, persentuhan Islam dengan budaya dan peradaban lain tidak dapat dihindarkan. Proses pembauran yang berjalan sangat cepat, secara alami telah menyulap budaya yang asalnya asing menjadi budaya yang tidak lagi sepenuhnya asing. Sehingga masing-masing budaya secara alami pula- saling tawar menawar dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya.

Jika kita lihat lebih lanjut proses lahirnya Muktazilah, maka bekas-bekas agama pendatang benar-benar terlihat. Muktazilah dalam konsep teologinya- memiliki kesamaan dengan Yahudi dan Kristen. Sangat dimungkinkan kesamaan ini bukanlah hal yang kebetulan. Bahkan ditemukan indikasi bahwa Muktazilah telah mempelajari dan mendalami teologi agama-agama itu. Tentang Khalqul Qur\'an misalnya, sangat dimungkinkan Muktazilah terpengaruh oleh Yahudi. Seperti yang ditulis Ibn al-Atsir, bahwa orang pertama yang mengatakan itu adalah Lubaid bin A\'sham, seorang tokoh Yahudi. Lubaid disinyalir telah menyatakan bahwa Taurat adalah Makhluk. Kemudian konsep ini turun temurun hingga diterima Bisyr al-Mursi (218 H) tokoh Muktazilah yang getol mengumandangkan konsep tersebut.

Belakangan diketahui bahwa pengaruh Kristen terhadap Muktazilah ternyata lebih dominan. Kesimpulan ini berdasar pada bukti sejarah yang menyatakan bahwa pergumulan Muktazilah dengan Yahya al-Dimasqy cukup intim. Yahya adalah tokoh dan pembesar agama Kristen di Timur. Ia adalah prototipe pemikir sekaligus teolog Kristen Timur. Lewat bukunya The Ortodox Faith Concernig, Yahya benar-benar seorang teolog tulen. Thomas Aquinas (673 H.) seorang teolog Nasrani juga mengakui hal itu. Oleh karena itu, \'persetubuhan\' Muktazilah dengan Yahya, menguatkan indiksi keterpengaruhan tersebut. Namun Watt, juga Ahmad Amin membantah indikasi itu. Menurutnya Muktazilah adalah murni anak didik Islam. Sekte itu lahir dalam kondisi dan lingkungan yang Islami. Namun hubungan Muktazilah dan Yahya bukan hanya hubungan biasa. Perdebatan dan diskusi seputar tema-tema teologi yang intens antara keduanya, semakin menguatkan adanya pengaruh itu. Bahkan bukan hanya Muktazilah. Qadariah dan Jahmiah, saudara tua Muktazilah juga banyak terpengaruh oleh nalar-nalar teologi Kristen.

Secara rinci keterpengaruhan Muktazilah setidaknya- termanifestasi dalam beberapa poin berikut: (1) Tuhan adalah sumber segala kebaikan. Dari konsep Yahya ini kemudian Muktazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak pernah melakukan kejelekan dan Dia tidak kuasa melakukannya. (2) Tuhan selalu memberikan yang terbaik. Semua yang akan diberikan Tuhan pastilah yang terbaik. (3) Meniadakan sifat-sifat Tuhan. Menurut Yahya, manusia tidak akan mampu mengindera esensi Tuhan. Tuhan adalah Esa, menisbatkan sifat-sifat kepadaNya akan bertentangan dengan keesaan Tuhan karena sifat adalah sesuatu yang terpisah dari dzat. (4) Majaz dan ta\'wil. (5) Kebebasan berkehendak (free will). Seperti kita ketahui bahwa kelima konsep Yahya ini, juga menjadi konsep-konsep penting Muktazilah.

Ketiga, Semangat untuk mempertahankan identitas Islam. Muktazilah saat itu- adalah satu-satunya sekte yang sangat bersemangat untuk membela Islam. Bahkan kelompok ini juga aktif menjalankan dakwah, mengajak kepada Islam. Indikasi ini diperoleh dari riwayat yang menyatakan bahwa Washil, secara intens selalu mengirimkan utusannya ke wilayah-wilayah di luar Iraq. Adapun usaha-usaha Muktazilah dalam mempertahankan kemurnian Islam adalah dengan mementahkan pendapat-pendapat yang membahayakan Islam. Dari catatan sejarah, agama-agama Persia seperti Majusi, Jahmiah, Rafidhah dll. adalah lawan-lawan diskusi Muktazilah. Usaha-usaha Muktazilah ini, bahkan sampai pada tahapan menterjemahkan buku-buku mereka. Untuk kemudian membantah dan membumihanguskan pendapat-pendapat mereka. Seiring dengan ini, produktifitas Muktazilah juga semakin meningkat. Banyak sekali karya-karya intelektual mereka yang lahir pada abad ini.

Keempat, mempelajari filsafat. Untuk mengimbangi deerasnya pengaruh aliran-aliran asing itu, Muktazilah mulai gemar mendalami filasfat. Hal ini disebabkan oleh kelihaiaan lawan-lawan mereka dalam berfilsafat. Penguasaan musuh-musuh Muktazilah pada turats Yunani, Bizantium dan filsafatnya mendorong Muktazilah untuk melakukan hal serupa. Teks-teks dan dalil-dalil keagamaan saja tidak cukup untuk membuat mereka \'tunduk\'. Karena mayoritas mereka adalah jebolan madrasah-madrasah filsafat dan teologi, baik yang berada di Irak, Syiria dsb. Oleh karena itu, ilmu teologi, logika, perbintangan, kedokteran, kimia, fisika dan lainnya mulai saat ini telah menjadi bahan mentah Muktazilah untuk diolah menjadi argumentasi yang kuat.

Namun, pada perkembangannya sejalan dengan merasuknya naluri filsafat- tujuan awal mempelajari filsafat mulai menjadi kabur. Setidaknya ada dua hal yang mengindikasikan hal itu. Pertama, Muktazilah mulai menghambakan dirinya pada para filsuf Yunani. Bahkan mereka hampir-hampir menyamakannya dengan nabi. Dan yang paling unik adalah, mereka mendudukkan filsafat pada posisi yang \'qudus\', filsafat adalah bagian dari agama. Sejak saat ini, Muktazilah mulai gencar melakukan kompromi-kompromi dan pengawinan antara filsafat dan agama. Tradisi inilah yang kemudian mengilhami generasi Islam selanjutnya seperti, al-Kindi, al-Farabi dan Ibn Rusyd. Kedua, Muktazilah mulai meniggalkan pembahasan teologi. Gairah filsafat yang tinggi mendorong mereka secara perlahan-lahan beranjak dari permasalahan teologi. Mereka mulai melepas baju keagamaan lalu kemudian mencebur untuk selanjutnya menyelam dalam lautan filsafat an sich.

Nah, perkembangan signifikan yang terjadi dalam tubuh Muktazilah ini, telah memberikan implikasi yang besar pada generasi akhir Muktazilah dan pemikiran Islam secara umum. Paling tidak, itulah kesimpulan Nicholson dan De Lacy O\'leary dalam Arabic Thougt and Its Place in History.

b. Dua Narasi Besar Muktazilah

Mengungkap konsep teologi Muktazilah terasa cukup berat. Hal ini mengingat konsep teologi sekte ini tersebar dalam pemikiran tokoh-tokoh pendirinya. Oleh karena itu membedah satu persatu tokoh dari aliran yang lahir di Bashrah ini adalah jalan terbaik. Namun proses tersebut rasanya akan sulit direalisasikan mengingat hal itu akan menyita banyak waktu. Oleh karena itu penulis akan berusaha menghadirkannya dalam bentuk yang umum serta dalam kapasitas yang singkat.

Sebelum menghujam lebih dalam pada jantung permasalahan ini, penulis mendapatkan data yang berbeda sehubungan dengan siapakah sejatinya pendiri madzhab ini. Montgomery Watt dalam Free Will and Predestination In Early Islam mengatakan bahwa Abu al-Hudzail al-\'Allaf (135 H.) adalah pendiri dari Muktazilah yang sebenarnya meski bukan satu-satunya-. Pendapat Watt ini setidaknya mengisyaratkan bahwa konsep teologi Muktazilah menjadi \'sempurna\' di tangan al-Hudzail. Sehingga mengetahui secara detil pemikiran al-Hudzail akan sangat membantu dalam menguak konsep-konsep Muktazilah. Di lain pihak Dr. Nassyar mengatakan bahwa hampir semua kalangan sepakat bahwa Washil bin Atha\' adalah dedengkot Muktazilah yang pertama. Namun apakah Washil adalah penyerpurna dari konsep al-ushul al-khamsah atau ia hanya mengusung konsep al-manzilah bayna al-manzilatain, itu semua masih dalam upaya penelusuran. Namun demikian, semua sepakat bahwa Muktazilah memiliki dua narasi besar pemikiran. Yang pertama adalah Bashrah dan yang kedua adalah Baghdad.

Adapun tokoh-tokoh Bashrah adalah sebagai berikut: Washil bin Atha\' (Washiliyah); \'Amr bin Ubaid (Amriah); Abu al-Hudzail al-Allaf (Hidzailiah); Ibrahim al-Nadzzam (Nadzamiah); Mu\'ammar bin Abadi al-Sulami Hawali (Muammariah); Hisyam al-Fauthi (Hisyamiah); Abbad bin Sulaiman (Abbadiah); Amr bin Bahr al-Jahidz (Jahidziah); Abu Ya\'qub al-Syahham (Syahhamiah); Abu Ali al-Jubba\'i (Jubbaiyah); Abu Hasyim al-Jubba\'i (al-Bahsyamiah).

Sedangkan tokoh-tokoh Muktazilah di Baghdad adalah sebagai berikut: Bisyr bin al-Mu\'tamar; Abu Musa al-Mirdar; Ja\'far bin Harb; Muhammad bin Abdillah al-Iskafi; Abu Bakr al-Akhsyidi; Abu al-Hasan al-Khayyath. Dari sekian tokoh-tokoh Muktazilah ini dua di antaranya memiliki hubungan erat dengan al-Asy\'ari yaitu Abu Hasyim dan al-Jubbai\'. Kedua tokoh itulah yang banyak mempengaruhi al-Asy\'ari sebelum ia menemukan metode barunya.

Secara garis besar semua kolompok Muktazilah ini memiliki lima konsep pokok yang menjadi kesepakatan di antara mereka. Konsep itu kemudian dikenal dengan al-ushul al-khamsah, yang mencakup: tauhid, keadilan, janji dan ancaman, al-manzilah bayna al-manzilatain, serta amar ma\'ruf nahi munkar. Al-Khayyath menegaskan bahwa tidak berhak seseorang disebut Muktazilah sebelum ia berikrar akan pokok yang lima. Oleh karena itu pada baris-baris selanjutnya kita akan menjelaskan sejarah munculnya istilah ushul al-khamsah untuk kemudian memperjelas maksud dari lima pokok tersebut...Bersambung pada bab Telaah Historis dan Teologis Muktazilah( 2 )



Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates