Senin, 23 Mei 2011

Tafsir Sufistik: Humanis, Idealis dan Hermeneutis


Penulis : Ani Fitria WS

Sejarah peradaban Islam semakin mengalami tantangan hebat ketika harus dihadapkan pada persoalan-persoalan yang sifatnya mendasar. Bidikan-bidikan yang tertuju pada nilai-nilai dan idealisme teks al-Qur'an dan al-Sunnah pun memancing kecenderungan sebagian umat Islam membongkar rahasia sejarah dibalik kausalitas pengkultusan teks-teks tersebut dan mulai meracik ulang dengan mengklarifikasi muatan-muatan yang sejatinya bukan merupakan bagian dari orisinalitas teks. Dari jeritan sejarah itu pula, muncul keinginan untuk melakukan sebuah perubahan atau reformasi yang dirintis dari sisi pemikiran bermodal keberanian untuk mengkritisi langsung keautentikan al-Quran sebagai bahan dasar' Islam.

Keberagaman metodologi tafsir pun mulai bermunculan, mulai dari tafsir ilmiah hingga hermeunetik. Meski jauh sebelumnya, bersamaan dengan munculnya tarekat kubrawiyah yang dirintis oleh Najmuddin al-Kubra pada abad ke-6 H, tafsir sufistik telah menjadi sebuah wacana dan alternatif yang dinilai bisa menjadi salah satu jalan untuk mewujudkan Islam sebagai pemenuh kebutuhan jagat alam dan bukan hanya terfokus pada umat Islam secara khusus. Metodologi tafsir sufistik ini terlahir dari pemahaman bahwa, makna esensial dari ayat-ayat al-Quran tidak seharusnya dilihat dari sisi syariah, hukum dan ketentuan-ketentuan lainnya yang bersifat dzahiri seperti yang umumnya terjadi, karena sisi hakekat juga menjanjikan terpenuhinya kebutuhan manusia bahkan tidak lagi secara umum, namun juga dapat diukur lewat nilai-nilai yang tersirat dari esensi individualnya.

Tiga hal yang menjadi pegangan dalam metode tafsir sufistik adalah bahwa dalam siklus kehidupan manusia pasti akan melewati tiga tahapan: pertama syariah; kedua tarekat; dan yang ketiga hakekat. Ketiga tahapan ini seakan telah menjadi sebuah keniscayaan. Oleh sebab itu, masing-masing mempunyai tempat dan lakon yang berbeda namun harus terus saling berkesinambungan. Penafsiran metode sufi inipun memiliki ciri khas yang sedikit bertolakbelakang dan terkesan lebih simpel jika dibandingkan dengan metode tafsir lainnya. Tafsiran tentang hakekat syariah hingga tauhid pun dikupas tuntas dengan menggunakan pisau tasawuf.

Sejatinya, benih tafsir sufistik ini muncul atas kekawatiran akan hilangnya makna esensial dari al-Quran sebagai rujukan utama umat Islam. Pemaknaan dan penafsiran yang sebatas linguistik dan terkesan kaku tanpa sadar telah menempatkan al-Quran sebagai teks biasa yang bisa saja diseret kesana-kemari sesuai keinginan para interpreternya. Pembacaan sosio-historis yang biasanya dikait-kaitkan dengan metode tafsir hermeunetik sebenarnya telah lama digunakan oleh para interpreter klasik, hanya saja desakan' keadaan mengharuskan para interpreter baru untuk lebih kreatif dalam mendulang kekayaan al-Qur'an tidak hanya dari perbendaharaan linguistik dan syariah. Terobosan-terobosan dalam bidang tafsir pun dirasa perlu sekali guna terus berusaha melakukan rekonstruksi pondasi-pondasi Islam yang telah berkarat karena sudah lumayan lama tidak terasah.

Seperti halnya tasawuf, dalam metodologi tafsir sufistik juga dikenal tafsir simbolik ini sarat akan muatan subjektifitas. Pengaruh dan pembacaan masing-masing tokohnya sangat beragam, meski Najmuddin al-Kubra sebagai pelopor tafsir sufistik telah menklasifikasikannya menjadi dua bagian: pertama metode langsung yang dikhususkan bagi orang-orang awam; dan kedua metode tidak langsung yang diperuntukkan bagi kalangan khusus dan mumpuni dalam bidang tafsir khususnya melalui pendekatan tasawuf. Selain Najmuddin al-Kubra, sebelumnya telah ada beberapa tokoh tasawuf yang juga intens mengkaji tafsir ala sufi meski belum diramu secara khusus. Sebut saja: Ja'far Shadiq, al-Tasturiy, al-Ghazali dan masih banyak lagi tokoh tasawuf lainnya yang sebenarnya telah lama memasukkan gaya tasawuf ke dalam ranah tafsir.

Sama halnya dengan menelaah bagaimana kecenderungan aliran-aliran dalam tasawuf, metode tafsir sufistik pun tergolong berdasar pada beberapa paham. Filsafat, Sunni dan Syi'ah menjadi tiga pokok penting yang menghiasi metodologi ini. Perbedaan merupakan salah satu dari sekian banyak kekayaan yang hingga saat ini masih ada ditangan Islam. Satu hal yang tidak perlu dijadikan sebuah permasalahan atau malah melahirkan perpecahan. Tetapi sangat disayangkan, umat Islam masih belum siap dan kurang percaya diri untuk melakukan sebuah perubahan yang notabene sarat akan hal-hal baru. Padahal metode tafsir sufistik ini juga lebih banyak menawarkan terma-terma baru khususnya yang berhubungan langsung dengan tasawuf.

Sampai saat ini, tasawuf merupakan salah satu inventaris Islam yang masih belum sepenuhnya terjamah. Nilai-nilai tasawuf sendiri yang masih dipandang aneh hingga sulit diterima adalah kendala utama memasukkannya kedalam lingkup tafsir. Padahal, sebuah keanehan tidak bisa lagi dinilai penting untuk diperhatikan ketika desakan keadaan dan kebutuhan untuk merajai kembali khazanah keislaman timbul. Pun ternyata, perhatian lebih untuk tasawuf banyak didapat dari tetangga peradaban kita sendiri, Barat. Pengekoran (atau epigonisme) dan keseragaman dalam metode tafsir juga dapat menjadi cikal bakal keruntuhan dan kemandulan Islam dalam berperadaban jika hal tersebut terus dipertahankan. Sejauh ini, model takfir dan taqdis terus saja berlaku sebagai justifikasi ketika sebagian orang atau sebuah komunitas berusaha melakukan akselerasi-akselerasi guna mengencangkan sabuk intelektualitas Islam yang (mulai) mengendur.

Tafsir sufistik sebenarnya dapat menjadi batu loncatan untuk mulai memupuk-ulang metodologi tafsir yang masih gersang. Dengan mengangkat bahasan hakekat dalam gugusan tafsir, setidaknya menumbuhkan wacana, gambaran atau malah kenyataan bahwa Islam bangkit kembali dengan bermodalkan kekayaannya sendiri tanpa harus timbul wacana ala Timur atau ala Barat. Namun, karena metode tafsir sufistik ini masih belum terangkat ke permukaan, maka seyogyanya dari awal telah dibuat sebuah rancang-bangun yang kokoh untuk tetap mempertahankannya sebagai salah satu kekayaan Islam melihat tantangan-tantangan dan desakan kondisi umat yang dinamis namun selalu mendapat jawaban yang statis.

Melalui metode ini pula, diharapkan mampu memberi kontribusi pada dunia tafsir supaya tafsir al-Qur'an yang benar-benar kongkret dan ideal serta humanis dapat terwujud. Karena, subjektifitas tasawuf tidak akan lagi dirasa ada manakala ia mulai merambah pada ranah yang bisa melahirkan sebuah keobjektifitasan untuk semua khalayak.



Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates