Selasa, 24 Mei 2011

Puasa [titik temu agama-agama]


Penulis : dnyl

Bulan Ramadhan sudah tiba. Berbagai penyambutan yang riuh dan ramai bertubi-tubi dilaksanakan di seluruh pojok bumi. Bentuk penyambutan ini pun berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Di Mesir kita melihat tenda-tenda darurat yang berlabel Maidatu `r Rahman mulai dibentang disudut-sudut masjid, persimpangan jalan hingga dipinggiran toko-toko. Ukurannya pun berbeda beda. Ada yang kecil, sedang hingga yang besar.

Di kalangan Masisir penyambutan terhadap bulan Ramadhan juga bernuansa lain. Kegiatan-kegiatan yang terbalut dalam acara Tarhib Ramadhan yang mengetengahkan pembagian sembako, uang hingga doa bersama kerap kita jumpai dipusat-pusat kegiatan mahasiswa. Mungkin semua pemandangan di atas bukanlah hal asing bagi kita, ia adalah sebuah rutinitas tahunan.

Di Indonesia ada upacara yang tak kalah menarik dari sekedar tarhib-tarhiban atau pasang tenda di atas. Di negeri yang 85% muslim itu, bulan ramadhan disambut dengan kenaikan sembako, bahan bakar dan kebutuhan komsumtif lainnya. Menurut catatan seorang teman kenaikan harga itu hampir mencapai 100% dari harga biasa. Benar-benar penyambutan yang aneh dan neko-neko.
Sebelum para pembaca muak dengan tulisan ini, ada baiknya kita beralih dari arena penyambutan, tarhib dan semacamnya itu, menuju bahasan yang agak serius. Hal ini dilakukan sebagai langkah antisipasi agar tulisan ini tidak merangsek ke zabalah.

Baiklah. Jika kita meninjau ibadah puasa ini dari perspektif sejarah maka jelas bahwa puasa adalah titik temu dari agama-agama samawi atau bahkan agama non-samawi sekalipun. Artinya bila manusia selalu merindukan belaian sebuah agama maka demikian pula dengan agama
. Bahwa setiap agama selalu memiliki tradisi puasa dengan berbagai bentuk dan manifestasinya-, tiada agama yang lahir tanpa puasa. Agama tanpa puasa bagai manusia tanpa nyawa. Kira-kira begitulah.

Asumsi di atas tentu membutuhkan bukti-bukti yang valid. Oleh karena itu coba kita simak data-data sejarah yang menyatakan bahwa sejak dulu sampai kedatangan Islam, puasa adalah tradisi yang telah membantu. Di Mesir Kuno misalnya. Aktivitas spiritual pada zaman itu, yang tergambar dalam prilaku-prilaku keberagamaan yang kemudian termanifestasi dalam rangkaian puasa, telah menunjukkan bahwa puasa memiliki arti penting dalam kehidupan Mesir Kuno. Menurut mereka puasa adalah kewajiban agama. Puasa mereka persembahkan untuk Tuhan yang diyakininya dan untuk roh-roh yang telah mati. Dengan puasa mereka merasakan ketentraman jiwa, kesejukan hati dan kedekatan yang sangat kepada Tuhan. Bahkan bagi mereka puasa adalah salah satu proses menuju tingkatan yang lebih tinggi yaitu penyucian diri.

Bagi kaum Sabean puasa juga merupakan unsur terpenting. Mereka mengkaitkan puasa dengan tradisi yang mereka jalani yaitu perbitangan. Mereka memulai puasa sejalan dengan posisi matahari dan juga bulan, mungkin semacam rukyah dalam Islam. Kaum Sabean tidak hanya menganggap puasa sebagai tidak makan, minum dan tidak berhubungan intim. Dalam tradisi mereka ada yang disebut sebgai the great fasting. Yaitu meninggalkan hal-hal yang dianggap dosa dan tercela. Adapun bentuk puasa yang mereka jalani adalah puasa yang dilakukan pada setiap bulan. Hal itu dilakukan gar mereka tidak melewatkan satu tahun berjalan tanpa puasa sama sekali. Dan terkadang kaum Sabean melakukan puasa selama 33 hari berturut-turut.

Jika kita menelisik kehidupan India kuno maka akan kita dapati sebuah tradisi yang sama. Dengan konsep reinkarnasi bangkit kembali setelah mati- mereka memiliki rangkaian ibadah yang dipersiapkan untuk kehidupan yang akan datang. Selain bersembahyang, sedekah mereka juga berpuasa. Dengan puasa mereka meyakini akan adanya jaminan keselamatan. Terkadang mereka berpuasa selama satu bulan penuh dan pada saat tertentu mereka juga berpuasa selama setahun dan hanya berhenti sekali dalam setiap bulannya. Dengan melakukan rutinitas tersebut masyarakat India kuno meyakini bahwa puasa di atas dapat menjamin seseorang masuk surga selama 10.000 tahun. Selain itu mereka juga memiliki puasa kafarat. Yaitu puasa yang dalam 3 hari pertama hanya diperbolehkan berbuka pada setiap pagi hari, kemudian berbuka pada 3 hari sekali yaitu pada sore hari ketiga. Pada tiga hari selanjutnya dalam setiap hari mereka diwajibkan bersedekah dari apa yang dimakan. Selain tradisi Mesir kuno, kaum Sabean dan masyarakat India kuno, masyarakat Yunani, Romawi dan Persia juga memliki satu tradisi yang sama: puasa.

Bagaimana dengan Bani Israil? Kaum nabi Musa ini, kaum yang suka ngeyel, sok kritis dan bandel. Buktinya al-Quran telah begitu banyak memaparkan sifat mereka itu dalam banyak ayat. Salah satunya surat al-Baqarah.

Meski demikian masyarakat Israil juga masyarakat yang relegius. Masyarakat yang kemudian dikenal dengan Yahudi ini memiliki tradisi puasa tersendiri. Kelompok ini lebih suka melakukan puasa pada hari-hari tertentu sesuai dengan kejadian-kejadian penting yang mereka alami. Tak ayal mereka mempunyai bentuk puasa yang bermacam-macam. Misalnya puasa pada 3 Maret, 17 Juli, 9 Agustus, puasa pada setiap akhir bulan, puasa pada hari kematian ortu, guru, nabi Musa dan lain sebagainya.

Umat Kristiani pun demikian. Bagi mereka puasa adalah organ terpenting dalam agama mereka. Puasa menurut mereka adalah pilihan dan bukan sebuah doktrin yang memaksa. Dalam tradisi Kristen puasa berarti menahan makan dari pagi hingga siang. Kemudian berbuka dengan memakan makanan yang tanpa kalori dan lemak. Selain itu mereka juga mentradisikan puasa pada persitiwa penting khususnya yang menimpa nabi Isa, baik pada hari ditangkap, disalib dan wafatnya.

Bagaimana dengan Islam? Sebagaimana tradisi para pendhulu (alladzina min qablikum), Islam juga memiliki tradisi puasa baik yang sunnah maupun yang wajib atau bahkan puasa kafarat.

Sebagai agama pamungkas tentu saja konsep ibadah yang ada dalam agama Islam adalah konsep paripurna, termasuk puasa. Dalam Islam yang paling menarik adalah bahwa puasa bukan merupakan bentuk penyiksaan diri. Puasa dipahami sebagai bentuk ibadah dan riyadhah yang manusiawi. Dalam bulan Ramadhan, meski puasa diwajibkan tetapi bukan berarti wajib yang bersifat kaku dan tak mengenal toleransi. Bagi mereka yang sakit, udzur, ibu hamil yang menyusui dan mereka yang musafir serta yang renta mendapat pelayanan khusus, tentunya dengan syarat dan ketentuan yang sudah berlaku.

Selain itu, dalam Islam puasa juga memiliki kedudukan yang tak ayal tingginya di hadapan Allah. As-sawmu li wa ana ajzi bihi demikian dalam hadits qudsi. Hadits ini menggambarkan bahwa puasa memang sesuatu yang khas, nyentrik dan privatif. Mungkin kita akan tahu bahwa si A tidak berpuasa tapi siapa yang tahu kalau si B sedang berpuasa. Mungkin karena tanggung jawab pribadi yang tinggi inilah Allah membuka poros langit selebar lebarnya bagi hambannya yang berpuasa. Hingga ar-Rayyan, surga nan megah itu adalah tempat berpulang yang dijanjikan Allah bagi orang-orang yang berpuasa.

Belum lagi jika kita berbicara tentang nuansa sosial yang terkandung dalam puasa itu. Sepertinya tidak akan ada celah bagi seseorang untuk membusungkan dada dan merendahkan sesama. Oleh karena itu tidak berlebihan jika dikatakan jika anda tahu urgensi puasa maka anda akan berandai-andai: alangkah indahnya jika setahun (seluruhnya) adalah Ramadhan.

Mungkin karena dua dimensi inilah: dimensi pribadi dan dimensi sosial, puasa menjadi riyadhah yang tak terpisahkan dari sejarah agama-agama. Puasa adalah titik temu agama-agama. Allahumma innaka afuwwun karim, tuhibbul afwa fafu anna. 



Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates