Selasa, 24 Mei 2011

KARAKTERISTIK SUFISME KH. HASYIM ASY'ARI


Penulis : Syamsun Ni'am

(Kritik atas Tarekat, Konsep Kewalian dan Haul)

Abstaksi: Dalam dunia kesufian, ada dua karakteristik yang sangat menonjol untuk membedakan benar atau sesat. Ajaran sufi yang benar, yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam disebut dengan sufi ortodox. Ajaran sufi yang dianggap sesat, yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam disebut dengan sufi heterodox. Jenis sufi ortodox adalah sufisme Sunni, dan sufi heterodox adalah sufisme falsafi. KH. Hasyim Asyari tampil ke permukaan adalah untuk membentengi umat dari distorsi sufisme heterodox tersebut. Karena itu, beliau mengecam keras praktek-praktek sufi/tarekat yang tumbuh dan berkembang di nusantara (Indonesia), yang dianggapnya menyimpang dari sufisme Sunni sebagaimana yang pernah diajarkan al-Junaid dan al-Ghazali, untuk dikembalikan kepada sufisme yang benar, yang sesuai dengan tuntunan syariat Islam.

Kata Kunci: Tarekat, Wali, Haul, Ortodox, dan Heterodox

LATAR BELAKANG MASALAH
History is the essense of innumerable biographies (Sejarah adalah esensi dari riwayat orang-orang yang tidak terhingga jumlahnya). Demikian kata Thomas Carlyle. Hanya bangsa yang tahu menghargai jasa-jasa pahlawan-pahlawannya, dapat menjadi bangsa yang besar. Demikian juga kata Presiden pertama RI., Ir. Soekarno pada saat pidato untuk memperingati hari Pahlawan, 10 November 1955 (Thalhas, 2002: 1).

KH. Hasyim Asyari (w. 1946 M)selanjutnya disebut Kyai Hasyim--, barangkali adalah salah satu tokoh pelaku sejarah yang disebut Thomas Carlyle dan Soekarno di atas, sehingga beliau bisa disebut sebagai tokoh Islam terkemuka par excellence. Hal ini bisa dilihat dari kontribusinya yang sangat besar dalam memantapkan Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah umumnya, dan tasawuf sunni khususnya. Selain itu, beliau berhasil mewarnai tasawuf dengan citra yang lebih positif dalam menghadapi aliran-aliran lain di nusantara. Pesantren yang merupakan pengembangan dari sistem pendidikan dalam ribath tasawuf berhasil memperoleh posisi yang lebih mantap dalam struktur kelembagaan masyarakat berkat jasa-jasanya. Beliau juga berhasil menghimpun kekuatan ulama dan kyai dalam satu wadah Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikannya, berikut organisasi-organisasi pemuda, seperti Hizbullah dan al-Mujahidun. Beliau juga salah seorang tokoh pendiri Indonesia merdeka (Shihab, 2001: 116).

Tampilnya Kyai Hasyim ke permukaan bukan tanpa alasan. Beliau tampil karena kondisi masyarakat, khususnya masyarakat Muslim pada saat itu sudah berada pada titik nadir, yaitu munculnya aliran-aliran yang dengan sengaja atau tidak, dengan tipu daya atau kekuatan militer berupaya memerangi Islam. Mulai dari penanaman sikap skeptis terhadap nilai-nilai Islam hingga penciptaan suasana intelektual kondusif melalui kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk menyukseskan proses perubahan dari dalam masyarakat sendiri. Kegiatan-kegiatan ini dapat mengambil beberapa bentuk, seperti gerakan kristenisasi, munculnya kelompok-kelompok sempalan, seperti al-Qadiyaniyah, kepercayaan kebatinan, tasawuf falsafi, dan lain-lain. Ironisnya, aliran-aliran tersebut mendapat dukungan dan pengayoman dari kolonial Belanda melalui jasa orang-orang yang cenderung antiagama dan mereka yang bersikap kebarat-baratan (Shihab, 2001: 117).

Dalam kondisi dan situasi genting ini, Kyai Hasyim tampil ke permukaan untuk mempelopori dalam rangka merumuskan sebuah rencana perjuangan bersama melalui sebuah wadah yang diberi nama NU. Di sini dihimpun berbagai rumusan yang tetap mengacu dan berpedoman pada metodologi dan pendekatan para pendahulu (salaf al-salih) yang terikat oleh jalur aqidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah.

Salah satu hal yang menarik untuk didiskusikan dalam pembahasan ini adalah Karakteristik Sufisme KH. Hasyim Asyari, yang menyangkut kritiknya terhadap tiga persoalan, yaitu tarekat, konsep kewalian dan haul. Dalam ketiga hal tersebut, oleh Kyai Hasyim, ada sisi-sisi yang dianggap menyimpang dari tradisi-tradisi kemurnian Islam itu sendiri, sehingga beliau melakukan kecaman keras dan mendudukkan serta mengembalikan ketiga hal tersebut pada kemurnian Islam, dengan kembali dan mengikuti para pendahulu yang terikat oleh jalur Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah, yaitu tetap berpedoman pada aqidah dan syariat yang benar. Padahal, dalam realitasnya ketiga hal tersebut, yaitu tarekat, konsep kewalian dan haul adalah hal yang sangat ditradisikan oleh masyarakat Muslim Indonesia, khususnya masyarakat Nahdliyin (NU). Akan tetapi justru dikecam oleh Kyai Hasyim. Di manakah letak kecamannya dan mengapa?
Dengan demikian, masalah pokok yang ingin diangkat dalam kajian ini adalah Bagaimana kritik KH. Hasyim Asyari terhadap tarekat, konsep kewalian dan haul (upacara kematian)?

METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian ini, model penelitian yang dipakai adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang menggunakan sumber-sumber atau data-data kepustakaan yang memiliki kaitan langsung dengan masalah yang sedang diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif, yang bersifat fenomenologis dengan paradigma naturalistik, artinya peristiwa-peristiwa, pesan-pesan, dan fokus masalah yang diteliti akan diperlakukan secara alamiah dan wajar.

Dalam setiap penelitian, tidak bisa dilepaskan dari sumber-sumber data primer maupun sekunder. Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah karya-karya asli Kyai Hasyim, khususnya yang menyangkut pemikiran tasawufnya. Ada dua kitab yang khusus memuat pemikiran dan kritik terhadap ketiga persoalan di atas, yaitu kitab al-Durar al-Muntathirah fi al-Masail al-Tisa Asyarah dan al-Tibyan fi al-Nahy an Muqathaat al-Arham wa al-Aqarib wa al-Akhwan. Selain dari karya-karya ini, bisa dikategorikan sebagai sumber data sekunder. Misalnya kitab-kitab Adab al-Alim wa al-Mutaallim, al-Tanbihat al-Wajibat li Man Yasna al-Mawlid bi al-Munkarat, al-Risalat al-Jamiah, Ziyadat al-Taliqat ala Mandzumat al-Syaikh Abdullah ibn Yasin al-Fasuruany, al-Qanun al-Asasy li Jamiyat Nahdlat al-Ulama, al-Mawaidz, Hadits al-Mawt wa Asyrat al-Saah, al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin, Hasyiyah Fath al-Rahman, al-Risalat al-Tauhidiyah, dan al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min al-Aqaid.

Selanjutnya teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik dokumenter dan in-depht interviews (wawancara mendalam) dan participant observations (observasi partisipan). Teknik dokumenter digunakan untuk menelusuri tulisan Kyai Hasyim yang telah terpublikasikan atau tidak, seperti catatan pribadi/harian, rekaman pidato, catatan pengajian, dan sebagainya. Sedangkan wawancara mendalam dan observasi partisipan digunakan untuk menguji dan mengembangkan kedalaman makna (konsep) dalam dokumen, sekaligus dalam konteks dan aplikasinya melalui orang-orang dekatnya, seperti istri, anak-anak, sekretaris pribadi, santri, koleganya, maupun orang lain yang mengenal Kyai Hasyim.

Selanjutnya, data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan cara content analysis. Cara ini digunakan untuk menganalisis data tertulis berupa isi komunikasi (Rakhmad, 1989: 122). Isi komunikasi yang dimaksud dalam kajian ini adalah konsep, pendapat, teori-teori, maupun prinsip-prinsip dan pemikiran Kyai Hasyim yang terdapat pada buku-buku, karya penelitian, buku harian, rekaman pidato, catatan pengajian, dan sebagainya. Di samping itu, juga digunakan analisa reflektif, dengan cara mengkonfirmasi temuan content analysis secara empirik, atau sebaliknya, sehingga makna temuannya semakin mendalam. Artinya analisis reflektif adalah pengujian secara bolak-balik antara teoritik dan empirik atau antara deduksi dan induksi.

Adapun metode pembahasan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode diskriptif analitis yang digunakan untuk mendiskripsikan data-data yang diperoleh. Selanjutnya metode yang kedua adalah metode komparatif yang digunakan untuk membandingkan antara data-data yang ada, yang kemudian di analisis secara kritis, sehingga diharapkan bisa menghasilkan kesimpulan yang memadai

HASIL PENELITIAN
1. KH. Hasyim Asyari: Sketsa Biografi
Nama lengkap Hasyim adalah Muhammad Hasyim Asyari. Dia dilahirkan pada tanggal 24 Dzulqadah 1287/14 Pebruari 1871 di desa Gedang Jombang Jawa Timur, dari keluarga elite Jawa (Salam, 1962: 19 dan Nazwar, 1983: 93). Dia juga dari keluarga Basyaiban yang masih memiliki hubungan keturunan dengan para dai Arab dari Ahl al-Bait yang datang membawa Islam di Asia Tenggara pada abad ke-14 H (Shihab, 2001: 117). Dia lahir di pesantren milik kakeknya ?€“dari pihak ibu, yaitu Kyai Usman yang didirikan pada akhir abad 19, dari seorang ibu yang bernama Halimah. Ayah Hasyim, Ahmad Asyari, sebelumnya merupakan santri terpandai di pesantren Gedang. Karena kepandaian dan akhlaknya, Kyai Usman menikahkannya dengan putrinya, yaitu Halimah. Kyai Asyari sendiri kemudian mendirikan pesantren Keras di Jombang. Ayah Hasyim ini berasal dari desa Tingkir, yang masih keturunan dari Abdul Wahid Tingkir yang diyakini masih keturunan raja Muslim Jawa, Jaka Tingkir, dan raja Hindu Majapahit, Prabu Brawijaya VI (Lembu Peteng) (Khuluq, 2000: 14-15 dan Asad Shihab, 1994: 27).

Hasyim adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara, yaitu Nafiah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fathanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan. Sampai usia lima tahun, dia diasuh oleh orang tua dan kakeknya di Pesantren Gedang. Ketika ayahnya mendirikan pesantren baru di Keras pada tahun 1876, Hasyim ikut diboyong ke desa yang berada di sebelah selatan Jombang tersebut (Nazwar, 1983: 93 dan Noer, 1980: 249). Pada saat Hasyim telah memasuki usia 13 tahun, dia sudah mem-badal-i (mengganti) ayahnya untuk mengajar di pesantren tersebut (Dhofier, 1982: 93). Pada saat usianya mencapai 15 tahun, Hasyim memulai mengembara guna menuntut ilmu di berbagai pesantren di Jawa maupun di Madura. Pada tahun 1891, dia belajar di pesantren Kyai Yakub, Siwalan Panji Sidoarjo Jawa Timur. Pada tahun 1892, dia dinikahkan dengan seorang putri kyainya, yaitu khadijah (Khuluq, 2000: 17; Nazwar, 1983: 93 dan Noer, 1980: 250). Pada tahun itu juga, dia bersama istrinya pergi ke Mekah. Selama tujuh bulan tinggal di Mekah, Hasyim harus pulang sendirian ke tanah air, karena istrinya telah meniggal dunia ?€“usai melahirkan anaknya yang bernama Abdullah, yang juga meninggal dunia saat baru berusia dua bulan (Khuluq, 2000: 17).

Pada tahun 1893, Hasyim kembali ke Mekah dengan ditemani saudaranya, Anis, yang kemudian juga meninggal. Kali ini dia tinggal di Mekah selama tujuh tahun. Di antara guru-gurunya ialah: Syekh Mahfudz Termas, Syekh Mahmud Khatib al-Minangkabawy, Imam Nawawi al-Bantany, Syekh Syatha, Syekh Dagistany, Syekh al-Allamah Abdul Hamid al-Darustany, dan Syekh Muhammad Syuaib al-Maghriby. Di antara sekian guru, yang paling berpengaruh dalam wacana pemikiran Hasyim adalah Syekh Mahfudz (w. 1920), yang merupakan ulama pertama Indonesia yang dipercaya untuk mengajar kitab Shahih Bukhari di Mekah, karena memang ahli dalam ilmu hadis. Keahlian inilah yang kemudian diwarisi oleh Hasyim. Bahkan Hasyim telah mendapatkan ijazah untuk mengajarkan kitab Shahih Bukhari tersebut dari Syekh Mahfudz tersebut yang merupakan pewaris terakhir dari pertalian sanad hadis Nabi dari 23 generasi penerima karya ini. Di bawah bimbingan Syekh ini juga, Hasyim mempelajari Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang diperolehnya dari Syekh Nawawi al-Bantany dari Syekh Khatib Sambas (Adnan, 1982: 26 dan Khuluq, 2000: 24).

Hasyim mempelajari fiqh madzhab Syafii di bawah bimbingan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawy yang juga ahli dalam ilmu falak, ilmu hisab dan al-jabar. Ahmad Khatib adalah ulama moderat yang memperkenalkan Hasyim untuk mempelajari Tafsir al-Manar. Hasyim mengagumi rasionalitas yang dikembangkan Muhammad Abduh dalam kitab tersebut. Namun demikian, dia tidak menganjurkan santrinya untuk membacanya karena dianggap merendahkan ulama tradisional. Dia sepakat dengan keharusan dalam meningkatkan semangat keberagamaan Muslim, tetapi dia menolak dorongan Abduh untuk membebaskan umat dari sistem bermadzhab karena penolakan terhadap madzhab. Hal demikian bagi Hasyim, akan memutarbalikkan ajaran Islam. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari dari terputusnya link and match intelektual Islam. Hasyim percaya bahwa tanpa mengenal wacana sebelumnya, tidak mungkin dapat dipahami secara benar maksud al-Quran dan al-Hadits (Khuluq, 2000: 26-27). Di luar kesibukannya menuntut ilmu, Hsyim juga menyempatkan diri untuk bertapa di Gua Hira. Terdapat juga laporan, bahwa dia sempat mengajar di Mekah sebelum akhirnya pulang ke tanah air.

Sekembali dari Mekah (tahun 1900), Hasyim mengajar di pesantren ayah dan kakeknya, sebelum mencoba mendirikan pesantren sendiri di rumah mertuanya, Plemahan Kediri Jawa Timur. Usaha pendirian pondok pesantren ini gagal, sampai akhirnya dia mencoba kembali untuk mendirikan pesantren yang hingga kini dikenal dengan Pesantren Tebuireng di Cukir Jombang. Pesantren Tebuireng tersebut terletak sekitar dua kilo meter dari pesantren ayahnya. Tiga bulan berikutnya, ternyata jumlah santri terus mengalami perkembangan, sehingga mencapai 28 orang (Khuluq, 2000: 29). Pesantren yang dibiayai secara mandiri oleh Hasyim ini, akhirnya menjadi pesantren yang paling berpengaruh dan berwibawa di seluruh Nusantara, khususnya pulau Jawa dan sekitarnya, juga menjadi rujukan pesantren-pesantren pada masanya

Pesantren Tebuireng selanjutnya lebih merupakan pesantren untuk pengajaran tingkat tinggi, menginagat kebanyakan murid yang datang adalah mereka yang sebelumnya telah nyantri di berbagai pondok pesantren. Seperti Kyai Abdul Wahab Hasbullah yang baru mengunjungi Tebuireng setelah menamatkan belajarnya di pesantren Kyai Khalil Bangkalan Madura (Dhofier, 1982: 25-26). Pada tiap bulan Syaban, para kyai biasanya mengunjungi pengajian KH. Hasyim Asyari untuk belajar hadis. Bahkan gurunya sendiri, Kyai Khalil Bangkalan juga pernah menyempatkan hadir dalam pengajian yang dibimbing oleh KH. Hasyim Asyari ini (Noer, 1980: 250 dan Nazwar, 1983: 93). Hal ini sekaligus menunjukkan adanya pengakuan kepada publik bahwa KH. Hasyim Asyari adalah salah seorang yang berhak secara muttashil mempunyai mata rantai (sanad) untuk mengajarkan hadis Shahih Bukhari

2.Geneologi Sufisme KH. Hasyim Asyari
Dalam sejarah pemikiran dan gerakan, baik yang menyangkut pemikiran perorangan, golongan, aliran maupun kelompok, telah nyata bahwa tidak ada suatu pemikiran yang lahir begitu saja tanpa adanya pengaruh waktu, ruang, maupun pemikiran yang berada di luarnya. Begitu pula yang dialami Kyai Hasyim. Dalam proses pemikiran dan gerakannya yang menyangkut tasawuf, dia banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran para tokoh yang dianggap sebagai pembimbing spiritualnya. Dengan kata lain, --meminjam istilah Zamakhsyari Dhofier--, para Kyai selalu terjalin oleh intellectual chains (rantai intelektual) (dhofier, 1982: 79). Dalam tradisi pesantren, rantai transmisi ini disebut dengan sanad.

Kyai Hasyim lahir dan besar dari lingkungan keluarga berdarah biru, yaitu keluarga elite kyai Jawa, yang dikenal mempunyai tingkat sipiritualitas tinggi. Akan tetapi, secara intellectual chains (rantai intelektual), ada beberapa ulama yang dianggap sangat mempengaruhi jalan pemikiran, gerakan, dan perilakunya. Beberapa ulama tersebut adalah Syekh Mahfudz Termas, Syekh Mahmud Khatib al-Minangkabawy, Imam Nawawi al-Bantany, Syekh Syatha, Syekh Dagistany, dan Kyai Khalil Bangkalan.

Di samping itu, Kyai Hasyim adalah tokoh yang membidani lahirnya tradisi pemikiran yang menekankan pentingnya melestarikan nilai-nilai tradisi Islam ala Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah di bawah sebuah perkumpulan yang di beri nama Nahdlatul Ulama (NU), dan NU muncul dari nilai-nilai yang secara ideologis maupun kultural mengembangkan dan mengajarkan nilai-nilai tradisional yang menjadi panutan kebanyakan komunitas yang melahirkannya yaitu pesantren, termasuk di dalamnya adalah ajaran-ajaran dan perilaku-perilaku tasawuf. Hal demikian bisa ditelusuri melalui kitab-kitab yang diajarkan di pesantren dan para Kyai dan gurunya. Sehingga secara substansial dan kultural bahkan para ahli menilai bahwa NU itu adalah pesantren besar, sedang pesantren adalah NU kecil (Bisri, dalam AULA, 1973: 65; Muchit, dalam AULA, 1994: 82 dan Haidar, dalam AULA, 1995: 59). Artinya NU dan pesantren tidak bisa dipisahkan bukan saja secara historis, tetapi juga dilihat dari perspektif nilai-nilai, norma-norma maupun paradigma pemikiran yang diikuti dan dikembangkannya (Mujamil, 2001: 38; 2002: 62).
Paradigma pemikiran NU yang mengklaim dirinya pengikut dan pembela paham Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah adalah sudah mempunyai ketentuan dalam memahami dan menafsirkan nilai-nilai ajaran Islam. Hal ini tidak saja menyangkut pada aspek akidah (Imam Abu al-Hasan al-Asyari dan Imam Abu al-Manshur al-Maturidi) dan fiqih (Madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali), namun juga aspek tasawuf. Sebagaimana disebutkan dalam anggaran dasar NU bahwa aspek tasawuf mengikuti antara lain Imam al-Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali, serta imam-imam yang lain (Haidar, 1998: 74).

Konsep tasawuf al-Junaid dan al-Ghazali merupakan kritik yang menggugat radikalisme dan liberalisme tasawuf yang pernah dikembangkan Abau Yazid al-Bustami (128 H/746-877 M) dan Husain ibn Manshur al-Hallaj (244-309 H/858-921 M). Radikalisme dan liberalisme pemikiran tasawuf mereka sampai menafikan realitas konkret manusia sendiri dalam konsep maqamat (tingkatan), fana (kehancuran), dan baqa (kekekalan) (al-Qusyairi, 1999: 67), ittihad (kemanunggalan), dan hulul (penitisan) (al-Sarraj, 1960: 541). Proses pematangan kesadaran spiritual menurut mereka dimulai dengan peniadaan kesadaran konkret manusia (fana) untuk sampai ke kesadaran metafisis yang abadi (baqa), dan selanjutnya ke tingkat yang lebih tinggi, kemanunggalan (ittihad), tidak ada lagi wujud keculai wujud Tuhan, sebab Tuhan telah mengambil tempat menitis (hulual) dalam diri manusia setelah sifat kemanusiaannya sirna. Konsep ini dikenal dengan istilah wihdat al-wujuad. Pandangan seperti ini akhirnya membawa akibat terbunuhnya al-Hallaj dengan hukuman mati dan al-Bustami dianggap sebagai orang gila yang ditinggalkan masyarakat.

Kritik al-Junaid dan al-Ghazali terhadap konsep tersebut mencoba ingin meluruskan kembali konsep tasawuf dengan tetap berpijak pada realitas konkret manusia sendiri. Mereka membatasi maqamat tasawuf hanya sampai kepada mahabbah dan marifah (al-Ghazali, 1929; al-Kalabadzi, 1968; Niam, 2001: 101; dan Nasr, 1980: 65). Suatu tahap maqamat yang masih tetap menempatkan manusia dalam kesadaran konkret dirinya sendiri. Menurut al-Junaid kesadaran tertinggi ialah untuk menerima derita (mulim) atau nikmat (ladzdzah). Dengan demikian, tetap adanya jarak antara manusia dengan Tuhan (Haidar, 1998: 77-78).

Konsep tasawuf seperti ini selanjutnya diadopsi oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, yang secara sosial-institusional terwadahi dalam sebuah wadah organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (NU). Sehingga tidaklah heran dan berlebihan bila NU menjadikan al-Junaid dan al-Ghazali sebagai nenek moyangnya dalam bertasawuf.
Konsep sufistikasi seperti ini juga berjalan sejak awal mula masuknya Islam di Indonesia ?€“misalnya di pulau Jawa--, bahkan ada yang menganggap bahwa proses Islamisasi di Indonesia bukanlah seperti yang dikatakan banyak orang, yaitu disebarkan oleh para pedagang. Namun Islam datang di Indonesia pertama kali itu dibawa oleh para guru sufi yang mengembara dari tempat satu ke tempat yang lain. Hal ini bisa dilihat dari sumber-sumber historis, hikayat, babad, dan lain sebagainya tentang penyebaran Islam di Indonesia. Modelnya pun seragam semacam model yang dibawa oleh para Wali Songo (Azra, 2002: 44 dan Shihab, 2001)

Ajaran-ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh para guru sufi ini selanjutnya terus mengalami transmisi dari generasi ke genarasi berikutnya, melalui pesantren-pesantren yang didirikan olehnya. Ciri yang paling menyolok dari tasawuf yang dikembangkan Wali Songo, yang kemudian ditransfer para generasi berikutnya adalah bercorak Sunni. Sampai akhirnya tasawuf Sunni menjadi idola bagi kebanyakan masyarakat Indonesia. Para pewaris tasawuf Sunni di Indonesia, bisa disebutkan, misalnya Syekh Nuar al-Din al-Raniri (w. 1685), Syekh Abd al-Samad al-Palimbani (w. kira-kira setelah 1203/1789), dan Syekh Muhammad Hasyim Asyari (w. 1947) (Shihab, 2001: 48-116).
Syekh Muhammad Hasyim Asyari adalah tokoh yang sangat berpengaruh di Indonesia. Dia termasuk pembela Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah dan tasawuf Sunni di Indonesia. Selain itu, ia mewarnai tasawuf dengan citra yang lebih positif untuk menghadapi aliran-aliran lain di Nusantara.

Transmisi tasawuf Sunni al-Ghazali ternyata mendapat tempat di kalangan umat Islam Indonesia. Karena corak ini dianggap oleh sebagian orang sebagai tasawuf yang meramu tasawuf Sunni/tarekat, madzhab Syafii, dan teologi Asyariyah diyakini mampu mempertahankan tradisi keislaman dan originalitas pemikiran Islam menghadapi gerakan-gerakan yang berupaya memisahkan umat Islam dari sumber-sumber agamanya yang murni (Shihab, 2001: 117).
Hal inilah yang barangkali menyebabkan tasawuf Sunni al-Ghazali dikenal sangat moderat, sehingga banyak berpengaruh di hati umat Islam Indonesia sejak dahulu hingga kini. Namun dalam perjalanan selanjutnya, tasawuf, khususnya tarekat yang diajarkan di nusantara (Indonesia), telah banyak mengalami distorsi, sehingga penyimpangan-penyimpangan dari aspek aqidah dan syariat seringkali terjadi, tidak lagi mengikuti ajaran-ajaran tarekat Sunni sebagaimana yang ditradisikan oleh ulama masa lalu (salaf al-salih). Dalam kondisi seperti inilah, Kyai Hasyim Asyari sadar dan ingin mengembalikan dan melestarikan misi Islam yang murni dalam aspek akidah, syariat dan tasawuf sebagai refleksi komitmen mengikuti tradisi salaf al-Salih tersebut

Dengan demikian, secara geneologis, dapat dilihat secara jelas bahwa sufisme KH. Hasyim Asyari adalah sufisme Sunni, sebagaimana sufisme yang telah diajarkan dan dikembangkan oleh para pendahulu dan guru-gurunya. Bahkan Kyai Hasyim sendiri pernah belajar tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah kepada Syekh Nawawi al-Bantany dari Syekh Khatib Sambas. Di mana mereka telah mewarisi sufistifikasi Sunni al-Junaid al-Baghdadi, al-Ghazali, dan yang dikembangkan oleh Wali Songo.

3. Kritik KH. Hasyim Asyari atas Tarekat, Konsep Kewalian dan Haul
Kyai Hasyim menuliskan pemikiran-pemikirannya tentang sufisme dalam dua kitabnya, yaitu al-Durar al-Muntathirah fi al-Masail al-Tisa Asyarah (Mutiara-mutiara tercecer tentang Sembilanbelas Masalah) dan al-Tibyan fi al-Nahyi an Muqathaat al-Arham wa al-Aqarib wa al-Akhwan (Penjelasan- mengenai Larangan Memutuskan Hubungan Kerabat dan Teman), yang beliau tulis pada tahun 1360 Hijriyah. Dalam buku ini beliau mengecam keras penyimpangan-penyimpangan ajaran sufi (Khuluq, 2000: 50)

Beberapa kritik kerasnya dapat disebutkan di sini, yang menyangkut perilaku yang berkembang dalam tradisi tasawuf yang dianggap oleh Kyai Hasyim Asyari sebagai sesuatu yang menyimpang dari syariat Islam. Misalnya, Kyai Hasyim tidak suka dihormati secara berlebihan, sehingga mengakibatkan adanya pengkultusan individu terhadapnya. Dia sangat mengecam perilaku seperti ini. Pengkultusan semacam ini biasanya berlaku pada dunia tarekat yang ditujukan kepada seorang mursyid tarekat, yang dianggap mampu menghubungkan manusia (jamaah) dengan Tuhan. Hal ini yang kemudian mengakibatkan munculnya anggapan bahwa seorang guru tarekat (mursyid) adalah orang keramat yang jauh dari kesalahan. Hal demikianlah yang ditentang oleh Kyai Hasyim. Karena dianggap telah menyimpang dari ajaran syariat Islam (Mujamil, 2002: 48 dan Mashum, 1998: 126). Inilah yang menyebabkan Kyai Hasyim melarang murid-muridnya memanggilnya sebagai syekh sufi dan melarang anak cucunya untuk memperingati hari kematiannya (haul). Akan tetapi, di kalangan NU sendiri acara haul telah mentradisi hingga saat ini. Para wali atau kyai yang meninggal dunia hampir tiap tahun di-haul-i dengan serangkaian kegiatan seperti: ziarah kubur, bacaan tahlil, dan ceramah agama untuk mengenang perjuangan mereka agar dapat dijadikan teladan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari (Mujamil, 2002: 50).

Bila dalam tarekat, Kyai Hasyim masih selektif, namun pada pemberian predikat wali kepada seseorang atau guru sufi (mursyid), Kyai Hasyim sangat menentang dan tidak pernah kenal kompromi. Sikap demikian dapat dilihat melalui pernyataan-pernyataannya sebagai berikut, sebagaimana pendapat Musthafa Muhammad Arausi dalam Nataij al-Afkar, Kyai Hasyim berpendapat bahwa:

wali tidak akan memamerkan diri meskipun dipaksa membakar diri mereka. Siapa pun yang berkeinginan menjadi figur yang populer, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai anggota kelompok sufi manapun (Asyari, 1940: 8-9; Khuluq, 2000: 52; dan Mdjid, 1994: 479). Di antara cobaan (fitnah) yang merusak hamba pada umumnya ialah pengakuan guru tarekat dan pengakuan wali. Bahkan ada yang mengaku dirinya sebagai wali quthb dan ada pula yang mengaku dirinya Imam Mahdi (Asyari, tt.: 1). Barang siapa yang mengaku dirinya wali, tetapi tanpa kesaksian mengikuti syariat Rasulullah saw, orang tersebut adalah pendusta yang membuat-buat perkara tentang Allah swt. (Asyari, 1940: 4). Orang yang mengabarkan tentang dirinya itu wali Allah swt, orang tersebut bukanlah wali sesungguhnya, melainkan hanya wali-walian yang jelas salah sebab ia mengatakan sirr al-khusausiyah (rahasia-rahasia kekhususan), dan ia membuat kedustaan atas Allah swt.

Di samping pernyataan-pernyataan di atas, juga tampak dari sikapnya yang menentang orang yang menyatakan kewalian Kyai Khalil. Pertikaian antara Kyai Hasyim dan Kyai Ramli Peterongan Jombang tentang sikap mengultuskan dan memandang wali terhadap Kyai Khalil, amat terkenal di kalangan ulama Jawa Timur waktu itu. Padahal, Kyai Khalil adalah guru Kyai Hasyim Asyari sendiri (Mujamil, 2002: 49). Hal ini jelas menunjukkan bahwa Kyai Hasyim sangat menolak pernyataan kewalian seseorang. Bila ditelusuri ke belakang, ternyata Kyai Hasyim sangat terpengaruh oleh pandangan al-Ghazali, yang juga menolak pernyataan kewalian seseorang

Kyai Hasyim tidak serta-merta menolak tarekat, namun sangat selektif, walaupun dia sendiri tercatat sebagai pengikut tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Inilah yang mengakibatkannya menulis dua buah kitab, al-Durar al-Muntathirah fi al-Masail al-Tisa Asyarah dan al-Tibyan fi an-Nahyi an Maqalat al-Arham wa al-Aqarib wa al-Akhwan tersebut (Sodiq, 2000: 7). Dua kitab ini berisi petunjuk bimbingan praktis agar umat Islam berhati-hati dalam memasuki dunia tarekat (Mujamil, 2002: 49). Labelitas kewalian muncul dalam dunia tarekat, dan ini sebagai akibat dari pengkultusan individu yang berlebihan tersebut. Dalam tradisi tarekat hal demikian biasa terjadi, apalagi seorang guru spiritual (mursyid)-nya dianggap memiliki keanehan-keanehan. Sementara itu, para mursyid juga tidak menolak pemberian predikat wali itu, sebab dianggap menguntungkan posisinya

Bagi Kyai Hasyim, syarat menjadi seorang murid tarekat saja sangat sulit, apalagi menjadi seorang mursyid. Hal ini bisa dilihat dari persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang murid hakiki, persyaratan tersebut ada delapan, yaitu: 1) Niat baik (qasd al-shahih). Sebelum mengikuti jalan kesufian seseorang harus memiliki niat yang lurus dan ibadah yang benar; 2) Pembimbing yang benar (shidq al-syarif). Di sini murid harus mengetahui kemampuan khusus (sirr al-khusuasiyah) mursyidnya yang akan mengantarkannya kepada al-Hadrah al-Ilahiyah; 3) Tulus rela mengikuti jalan sufi (mardliyah). Mereka yang mengikuti jalan sufi harus melaksanakan seluruh etika yang dianjurkan oleh agama; 4) Menjaga kesucian jiwa (ahwal al-zakiyah). Untuk menjaga kesucian jiwa tersebut seseorang harus senantiasa mengikuti sunnah Nabi saw; 5) Menjaga kehormatan (hifz al-hurmah). Murid harus mengikuti mursyid dan saudara seagamanya baik di dunia maupun di akhirat, tabah mengahadapi sikap permusuhan dari orang lain, menghormati mereka yang lebih tinggi derajad kesufiannya dan mencintai yang lebih rendah; 6) Kemauan yang baik (husn al-himmah). Murid harus menjadi pelayan yang baik bagi Allah, bagi mursyid/syekh dan sesama Muslim dengan jalan melaksanakan yang diperintahkan Allah dan menjauhi yang dilarang. Sikap semacam ini akan mengantarkan murid pada tujuan akhir dalam bertasawuf; 7) senantiasa meningkatkan semangat raf al-himmah. Untuk menjangkau marifah yang sesungguhnya murid harus senantiasa menjaga usahanya dengan sungguh-sungguh. Sebab tanpa usaha yang serius dan kontinyu mustahil kemarifatan itu dapat dicapai; dan 8) Jiwa yang agung (nufuas al-azimah). Murid harus berjiwa agung meningat apa yang ia cari adalah marifat al-khashshah tentang Allah, demi kebaikan jiwanya bukan untuk dunia fana. Di samping itu, Kyai Hasyim memberikan tambahan empat lagi untuk bisa disebut murid tarekat yang hakiki, yaitu: 1) Mengambil jarak terhadap penguasa yang tidak adil (otoriter); 2) Menghormati mereka yang dengan sungguh-sungguh berusaha untuk mencari kebahagiaan di akhirat; 3) Menolong orang-orang miskin; dan 4) Melaksanakan shalat berjamaah (Asyari, 1940: 17; Khuluq, 2000: 53; dan Sodiq, 2000: 7-8)

Dari sini nampak jelas, betapa gigihnya Kyai Hasyim Asyari untuk membentengi Islam dan umatnya dari pengaruh-pengaruh luar yang dikhawatirkan menyimpang dari sumber-sumber Islam yang murni, yaitu al-Quran dan al-Sunnah. Kritik keras Kyai Hasyim Asyari terhadap ketiga persoalan di atas, yakni tarekat, konsep kewalian, dan haul adalah semata-mata Kyai Hasyim ingin mendudukkan posisi tasawuf pada tempat yang semestinya. Dia ingin melihat tasawuf dari aspek substansinya bukan aspek kulturalnya, agar tasawuf tidak lepas kendali ataupun berjalan secara liar, yang lepas dari syariat. Barangkali ini sebagai jawaban dari mengapa justru ketiga aspek tersebut sangat ditradisikan kalangan Nahdliyin (NU)

KESIMPULAN
Akhirnya kita dapat memahami bahwa dalam bidang tasawuf, KH. Hasyim Asyari mengikuti faham sufi ortodox (sesuai dengan prisnip-prinsip Islam) sebagaimana yang telah dirumuskan al-Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali bukan hiterodox (sesat). Sufi jenis ini menekankan pada peningkatan nilai-nilai moral dan kesalehan dengan jalan melaksanakan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw. sufisme ini bukanlah yang menjurus ke panteistik dan syirik. Tetapi, dengan ajaran Islam Sunni. Beliau mencoba mengurangu akibat negatif dari praktek sufi dengan menekankan adanya persyaratan-persyaratan tertentu bagi orang-orang yang ingin mempraktekkan ajaran tasawuf

DAFTAR PUSTAKA
Adnan, Basit. Kemelut di NU: Antara Kyai dan Politisi. Solo: CV. Mayasari, 1982.
al-Ghazali. Ihya Ulam ad-Dan. Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1929.
Al-Kalabadzi, Abua Bakr Muhammad. at-Taarruf li Maahabi Ahli at-Tasawwuf. Kairo: Isa al-Babi al-Halabi wa Syurakah, 1968.
Al-Qusyairi, Abua al-Qasim an-Naisabari. ar-Risalat al-Qusyairiyah, terjemahan M. Lukman Hakiem, Risalatul Qusyairiyah: Induk Ilmu Tasawuf. Surabaya: Risalah Gusti, 1999.
Asyari, Hasyim. ad-Durar al-Muntasyirah fa Masail at-Tisa Asyarah. Tp., 1940.
. Taburan Permata yang Indah Membahas 19 Masalah. Terj. Kudus: Menara, tt.
At-Tusi, Abau Na?r as-Sarraj. al-Luma. Mesir: Dar al-Kutub al-Hadaaah, 1920.
Azra, Azyumardi. Banyak Salah Paham Terhadap Tasawuf. Sufi, No. 21/Th. II (Maret, 2002).
Bisri, A. Musthofa. Pesantren sebagai Lahan Tumbuh Kader Nahdlatul Ulama. AULA: Risalah NU (Surabaya: PWNU Jatim, Desember 1973), No. 12.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1982.
H.A.R. Gibb. Shorter Encyclopadiae of Islam. New York: University Press Itacha, tt..
Haidar, M. Ali. Pengembangan Amal Sosial NU. AULA (Surabaya: PWNU Jatim, Pebruari 1995), No. 02.
. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998.
Khuluq, Lathiful. Fajar Kebangunan Ulama: Biografi K.H. Hasyim Asyari. Yogyakarta: LkiS, 2000.
M. Solihin. Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Mashum, Syaifullah (ed.). Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU. Bandung: Mizan, 1998.
Madjid, Nurcholish. Islam, Imam dan Ihsan sebagai Trilogi Ajaran Islam. Budhy Munawar Rahman (ed.). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994.
Mujamil. Pemikiran Islam Tradisional di Indonesia: Melacak Situasi Pemikiran, Tradisi dan Deneologi. Laporan Penelitian. Tulungagung: STAIN, 2001.
.. NU Liberal: dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam. Bandung: Mizan, 2002.
Muzadi, A. Muchit. Nahdlatul Ulama di Tengah Pergolakan Sejarah. AULA (Surabaya: PWNU Jatim, Maret 1994), No. 03.
Nasr, Sayyed Hossein. Living Sufism. London: Paperbacks, 1980.
Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 62.
Nazwar, Akhria. Syekh Ahmad Khatib: Ilmuan Islam di Permulaan Abad ini. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Niam, Syamsun. Cinta Ilahi Perspektif Rabiah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi. Surabaya: Risalah Gusti, 2001.
Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1980.
Rakhmad, Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1989
Salam, Solichin. KH. Hasyim Asyari, Ulama Besar Indonesia. Jakarta: Depot Pengajaran Muhammadiyah, 1962.
Shihab, Alwi. Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia. Bandung: Mizan, 2001.
Shihab, Muhammad Asad. Hadlratus Syaikh Muhammad Hasyim Asyari: Perintis Kemerdekaan Indonesia. Terj. KH. A. Musthafa Bisri. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1994.
Sodiq, Akhmad. Makalah, Karakteristik Pemikiran Keagamaan KH. Hasyim Asyari. Jakarta: IAIN Syraif Hidayatullah, 2000.
T.H. Thalhas. Alam Pikiran KH. Ahmad Dahlan & KHM. Hasyim Asyari: Asal-Usul Dua Kutub Gerakan Islam di Indonesia. Jakarta: Gelura Pase, 2002.
Wahid, Abdurrahman. KH. Bisri Syansuri: Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat, dalam Humaidy Abdussami dan Ridwan Fakla AS (ed.). Biografi 5 Rais Am Nahdlatul Ulama. Yogyakart: LTn-NU Yogyakarta bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, 1995 



Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates