Penulis : Ani Fitria WS
Pada mulanya Aku adalah harta yang terpendam, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk. Dan melalui Aku, merekapun mengenalKu.(Hadits Qudsi).
Esoterisme dan ke-nyentrikan tasawuf memang seakan selalu mengundang kericuhan setiap individu beserta segenap warna-warni pengalaman mistiknya. Perjalanan sejarah tasawuf yang sampai saat ini belum menemukan kata akur dengan konsep teologi telah menuai label subjektivitas sejak ditengarai menjalin hubungan dengan filsafat. Pun hadirnya dengan berbagai corak dan gaya, baik itu melalui konsep wihdat al-wujd, wihdat al-adyn, al-syuhd dan lain sebagainya.
Adalah Muhyiddin Ibnu Arabi, seorang tokoh sufi berkebangsaan Andalusia lahir pada pertengahan abad ke-5 pengusung faham pantheisme pertama kali dalam ranah tasawuf yang meyakini adanya konsep-konsep tersebut sebagai salah satu tangga untuk menggapai kebenaran hakiki. Segenap pengalaman tasawuf yang dia jalani, akhirnya menelurkan konklusi pribadi yang menafikan adanya istilah ittihd dan hull dalam dunia mistikal seperti tasawuf, khususnya setelah pertemuannya dengan filsuf terkemuka, Ibnu Rushd. Tersketsa dalam salah satu syair tasawuf gubahannya yang dinilai kontroversial; Laqad shra qalb qbil-an kulla shrah, famar` li ghuzlan wadrun li rahbn wa bayt-un li awtsn wa ka`bah li thif wa alwh-u tawrat-in wa mushhaf-u quran-in adn-u bi dn al-hubb, ann tawajjaht-u rakibah-u, fa al-hubb dn wa mn". (Sungguh hatiku bisa menerima segala bentuk. Ia adalah padang bagi sepasang kijang, biara bagi biarawan, rumah bagi berhala, Ka`bah bagi orang thawaf dan ia adalah lembaran Taurat dan mushaf al-Quran. Aku memeluk agama cinta kasih. Kuhadapkan dan kuserahkan diriku pada pengendalinya. Cinta adalah agama dan imanku).
Kemanunggalan Ibnu Arabi dalam bertasawuf juga didasari oleh keyakinannya bahwa tiada sesuatu yang benar-benar ada selain keberadaan Tuhan. Dalam Fushsh al-Hikm, ia menjelaskan bahwa wujud hubungan dan keberadaan Tuhan beserta alam dapat terefleksikan laksana sebuah cermin yang menggambarkan suatu benda yang ada di depannya. Jadi, meski apa yang dicerminkan hanya satu benda saja, namun, jika memakai beberapa cermin dari berbagai sisi, maka akan terlihat sama. Karena hakekat keberadaannya memang hanya satu. Dalam persepsinya, kecintaan Tuhan terhadap makhluk-Nya hanya merupakan cerminan atas rasa cinta Tuhan terhadap dzat-Nya sendiri. Lebih lanjut lagi, penganut faham teosofi ini meneguhkan pendapatnya bahwa secara kasat mata wujud terbagi menjadi dua, al-Haqq dan al-Khalq atau Zhhir dan Mazhhir. Meski begitu, tetap sangat disayangkan, pendapat yang dia ajukan terkesan riskan. Pasalnya, meski yang ia konsepkan dinilai mengena secara subyektif, lagi-lagi pengalaman spiritual semacam tasawuf, khususnya dalam konsep wihdat al-wujd memang harus dan tetap membutuhkan praktek yang setiap individu akan merasakannya ketika mengalaminya sendiri dan sampai pada derajat fan. Karena menurutnya, akal tidak akan dapat menggapai capaian ini secara utuh. Segala sesuatu adalah Tuhan dan Tuhan adalah segala sesuatu. Suatu hal yang tidak akan pernah bisa digambarkan karena memang bukan suatu gambaran, begitu menurutnya.
Sekilas dapat terlihat, bahwa konsep kesatuan wujud yang dibawa oleh Ibnu Arabi ini sedikit mirip dan mengguru pada al-Hallaj meski dasar falsafah yang ia jadikan sebagai pondasi tasawuf lebih kental, ditambah lagi dengan masuknya faham-faham lain seperti platonisme dan Asy`ariyah yang kemudian menjadi warna tersendiri dalam corak tasawufnya. Realisasi dari faham wihdat al-wujd ini selain bisa dirasa oleh orang yang mengalaminya langsung, secara ekstrinsik juga menumbuhkan semacam kesadaran sosial dan pengejawantahannya terlihat dari bagaimana interaksi sosial pada setiap pelakunya. Sebagai contoh, zuhud, yang sangat berperan dalam pembentukan pribadi yang sarat dengan nilai kemanusiaan. Toleransi kemudian menjadi simbol penting dari nilai wihdat al-wujd hingga sampai pada konsep berikutnya yaitu wihdat al-adyn.
Dalam tataran praksisnya, konsep wihdat al-adyn memberikan porsi sangat besar pada ranah sosial. Terpatri dari letak sosio-historis terlahirnya faham wihdat al-adyn ini. Bermula dari keadaan perpolitikan pada masa Ibnu Arabi yang tampuk kekuasaannya dipegang oleh dinasti al-Muwahhidun yang terlalu mencintai Islam dan memarginalkan agama lain hingga para pemeluk keyakinan lain itu tidak bersimpati lagi terhadap Islam. Bertolak dari sini, toleransi keagamaan Ibnu Arabi kemudian muncul di tengah hegemoni kekhalifahan waktu itu. Senada dengan para teosof lain yang juga menggaungkan konsep wihdat al-adyn, seperti Jalaluddin al-Rumi yang beranggapan bahwa semua agama meski berbeda dalam perwujudannya adalah satu dengan yang lain. Tetapi sejatinya, semua perbedaan itu terbenih dari formalitasme beragama. Antara kufur dan iman, lanjutnya, tidak ada perbedaan yang mendasar. Baik Yahudi, Nasrani, Majusi atau penyembah berhala sekalipun, secara esensial sama-sama menuhankan Dzat yang juga Esa menurut mereka. Dan dalam masing-masing kitab suci merekapun terkandung nilai-nilai perdamaian. Meski konsep ini juga mendapat label sesat dari sejumlah tokoh lain seperti Ibnu Taimiyah karena seakan menafikan Islam sebagai satu-satunya agama paling benar.
Jika kita coba menilik dengan kacamata obyektivitas, akan ditemukan beberapa nilai plus konsep wihdat al-adyn ala Ibnu Arabi ini. Terkait dengan kerancuan dalam mewujudkan kerukunan dan toleransi antarumat beragama, konsep ini telah memberi angin segar bagi upaya untuk merealisasikan asa tersebut. Permasalahan kompleks yang terjadi pada masa Ibnu Arabi tersebut dapat sedikit terselesaikan. Tarik ulur predikat paling benar dalam beragama sangat kentara, khususnya pada setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh khalifah Abu Yusuf Ya`qub al-Mansur yang pada saat itu memerintah. Contoh kecil yang membuat seorang Ibnu Arabi merasa miris melihat kondisi dan hubungan keagamaan yang benar-benar menghegemoni, adalah salah satu kebijakan khalifah yang memutuskan bahwa rakyat non-Muslim harus keluar atau dideportasi dari negara tersebut. Bersama dengan jargon memuliakan Islam, sang khalifah tetap melaksanakan keputusan tersebut meski Ibnu Arabi telah melakukan sebuah perlawanan internal berupa munculnya konsep wihdat al-wujd ini yang tanpa sengaja terejawantahkan dalam praktek serta ritual keagamaannya dengan segenap pengikutnya. Akhirnya, hal itu menjadi salah satu pemicu terjadinya perang antaragama yang lebih dikenal dengan nama perang salib.
Demikian, ternyata mistikusitas tasawuf, khususnya konsep wihdat al-wujd dan wihdat al-adyn yang diusung oleh Ibnu Arabi meski tak bisa lepas dari beberapa ritual dzawqiyyah, nilai-nilai dari serambi sosial yang menjadi prototype baru mampu membawa keindahan tersendiri serta membawa kesan inklusif dan ramah lingkungan dalam dunia sufistik setelahnya.
Senin, 23 Mei 2011
Ibn `Arabi; Keindahan Tasawuf dalam Ranah Sosial
21.32
darussholah
No comments
0 komentar:
Posting Komentar