Penulis : Ani Fitria WS
Salahsatu sisi yang membuat dunia tasawuf terlihat nyentrik adalah keberagaman tokoh serta peranannya dalam mewarnai dunia Sufis itu sendiri. Tidak seperti halnya Ibn Faridh yang lebih dikenal dengan syair-syair sufinya, atau Shihabuddin al Suhrawardi dan Muhyidin ibn Araby yang mungkin lebih mengkomparasikan ritual-ritual sufi mereka dengan filsafat, ada pula seorang tokoh tasawuf yang dapat menggabungkan antara kepiawaiaannya dalam mengolah syair-syair sufi dan kemahirannya sebagai filosof.
Asal Usul dan Riwayat Singkat Perjalanan al Jiliy
Adalah Abdul Karim al Jiliy atau yang biasa disebut dengan al Jiliy salah seorang tokoh tasauf yang mewarnai tasawufnya dengan kedua hal diatas tadi. Sebagian riwayat mengatakan bahwa selain dijuluki dengan sebutan al Jiliy, Abdulkarim juga sering dijuluki dengan al Jailany atau juga al Kailany (Abdulkarim al Jailany/al Kailany). Julukan tersebut tidak lain dinisbatkan kepada Jilan, salahsatu daerah di Persia. Meski akhirnya julukan yang lebih melekat padanya hingga saat ini adalah al Jiliy. Para sejarahwan juga masih berselisih paham tentang asal muasal julukan al Jiliy ini. Sebagian lain mengatakan bahwa jika julukan al Jiliy tersebut dinisbatkan pada nama suatu daerah, maka seharusnya ia menjadi Jailany. Akhirnya, para sejarahwan menyimpulkan bahwa nama atau julukan al Jiliy tersebut tidak dinisbatkan pada nama daerah, melainkan dinisbatkan pada nama dari salah seorang anggota keluarga beliau. Dan mereka juga menyimpulkan bahwa Abdulkarim al Jiliy merupakan salahsatu keluarga dari syeikh Abduk Qadir al Jailany. Oleh karena itu, beliau dijuluki dengan al Jiliy, bukan al Jailany. Tidak lain hanya untuk menghindari kerancuan nama dari kedua tokoh tasawuf tersebut.
Al Jiliy terlahir di sebuah daerah atau sebuah desa di Baghdad pada awal bulan Muharram tahun 767 H ( 1365 M.). Sejak masa remajanya, ia sering berpindah tempat untuk mencari ilmu. Sebelum berumur 20 tahun, ia melanglang daerah Persia dan disana ia mempelajari bahasa Pesia hingga akhirnya mengarang satu kitab bertajuk “ Jannatul Ma’arif wa Ghayatul Murid al ’Arif ”. setelah itu, ia mengembara lagi ke negara-negara bagian timur hingga pada akhirnya sampailah ia di India. Di India, al Jiliy banyak sekali menemukan praktek-praktek ibadah yang menurutnya asing, tetapi ia tetap mencoba untuk mengetahui lebih jauh dan mendalami ritual-ritual para penduduk setempat.
Tidak seberapa lama ia menetap di India. Ia memutuskan untuk terlebih dulu mengasah keilmuannya di negara-negara Arab. Sampailah ia di Zabid, salah satu daerah di Yaman pada tahun 796 H. Darisinilah petualangan tasaufnya dimulai. Di Zabid, ia bertemu dengan seorang sufi bernama Syarfuddin ibn Ismail al Jabraty. Dari beliaulah al Jiliy mulai mengenal tasawuf dan beliau pulalah yang akhirnya paling berpengaruh dalam perjalanan tasawuf al Jiliy. Setelah merasa cukup menetap di Yaman, ia meneruskan nyantrinya di Mekkah pada tahun 799 H. Di sana ia melihat praktek tasawuf yang berbeda dengan apa yang ia ketahui selama berada di Yaman. Meski begitu, hal tersebut makin menambah rasa rindu dan rasa ‘penasaran’ al Jiliy pada Dzat yang Maha Kekal. Hal itu terpancar dari syair-syairnya:
Saqaniy al Hawa ka’sal gharam wa lam yaku
‘Ala sahatil wijdani bil karmi mani’u
Faqatha’tu nidmaniy wa washaltu lau’atiy
Wa hajartu awthaniy fa banat marabi’u
Taraktu laha al asbab syughlan bihubbiha
Wa wajdan binarin qad hawtaha al adhali’u
Setelah dari Mekkah al Jiliy meneruskan perjalanannya ke Kairo, Mesir pada tahun 803 H. Disana ia menimba ilmu pada ulama-ulama al Azhar dan pada akhirnya mengarang sebuah kitab “ Ghaniyyatu Arbab al Sima’ “, didalamnya mencakup konsep-konsep tasawuf yang dikemas dalam syair-syair indah. Dari Mesir ia lalu menuju Palestina. Namun, tidak lama kemudian ia merasa rindu pada gurunya yang pertama, Syarfuddin ibn Ismail al Jabraty. Seakan-akan ia merasa bahwa gurunya tersebut tidak lama lagi akan meninggalkan ia untuk selamanya. Akhirnya, ia bertolak kembali menuju Yaman setahun sebelum wafatnya al Jabraty yaitu pada tahun 805 H. Menurut para sejarahwan, ada beberapa alasan mengapa al Jiliy berat untuk meninggalkan Yaman, khususnya Zabid. Pertama, Zabid merupakan tempat bertemunya al Jiliy dengan sang guru yaitu al Jabraty. Kedua, pada saat itu ia menganggap seakan-akan Yaman dipenuhi oleh orang-orang yang berniat mengenal tuhannya lebih jauh. Karena darisanalah muncul banyak tokoh terkemuka dalam tasawuf berikut kitab-kitab yang dikarangnya semisal al Syeikh al ‘Arif Jamaluddin yang biasa dijuluki dengan al majnun dan Bahauddin al Naqsyabandy. Alasan ketiga, selain itu Yaman juga merupakan tempat yang tepat bagi siapa saja yang rela menenggelamkan dirinya dalam dunia tasawuf. Keempat, al Jiliy menilai juga bahwa Yaman lebih banyak menerapkan kebebasan berpikir dan beritual tasawuf sesuai dengan apa yang ia yakini benar.
Setelah kewafatan al Jabraty, ia tidak lantas melanjutkan perjalanannya lagi. Disana ia masih menyempatkan untuk menimba ilmu pada murid-murid al Jabraty sampai pada akhirnya ia mengarang sebuah kitab “ al Insan al Kamil ”. jika pada kitab sebelumnya ia mengkolaborasikan konsep-konsep tasawuf dalam syair-syairnya, maka pada kitab ini ia lebih condong mewarnai konsep tasawufnya dengan filsafat. Dan kitab inilah yang kemudian mencuatkan namanya sebagai theosof sekaligus menjadi kitab pamungkas sebelum wafatnya.
Sebagian Kitab Karangan al Jiliy
1. al Kahf al Raqim, kitab ini berisi penjelasan tentang rahasia basmalah. Dari uraiaannya tentang hadis nabi yang membahas tentang basmalah, ia kemudian berkesimpulan bahwa basmalah merupakan esensi dari al Qur’an dan hal itu terletak pada titik didalam huruf ba’nya.
2. Jannatul Ma’arif wa Ghayatul Murid al ‘Arif, kitab ini ditulis pada waktu ia menetap dinegara Persia dan dalam bahasa Persi. Bisa dikatakan, kitab ini merupakan pengantar bagi kitab selanjutnya “al Kamalat al Ilahiyyah”.
3. al Manadzir al Ilahiyyah, kitab kecil yang merangkum pengalamannya tentang tauhid dan iman selama ia berkhalwah.
4. Ghaniyyatu arbab al Sima’, kitab tersebut ia karang sewaktu ia berada di Kairo, Mesir. Dicetak pada tempat yang sama pada tahun 803 H.
5. al Kamalat al Ilahiyyah, merupakan salahsatu dari sekian banyak kitab terkemuka al Jiliy. Kitab ini ia rampungkan di Zabid, Yaman pada tahun 805 H.
Dan masih puluhan kitab lagi yang ia karang semasa hidupnya. Kitab-kitab tersebut sekaligus menjadi magnum opus untuk setiap konsepnya dalam bertasawuf.
Konsep Sufistik Al Jiliy
Ritual Ibadah
Sholat
Dalam ibadah semisal sholat, ia lebih memaknai sholat tersebut dengan suatu ibadah yang melibatkan energi perasaan guna mencapai tujuan yang dicari yaitu bertemu dengan sang Khaliq. Sebagai contoh; bacaan al Fatehah pada waktu sholat diejawantahkan sebagai pembuka atau yang menguak segala ekstensi. Berdiri setelah sujud ia maknai dengan sampainya seorang sufi pada derajat baqa’.
Zakat
Dalam hal zakat, al Jiliy menganggapnya sebagai sebuah bentuk pengaruh dzat ketuhanan pada seorang hamba. Lebih jelasnya, ia sampaikan dalam uraian kitabnya yang berjudul “al Kahf wa al Raqim”.
Puasa
sejauh yang kita tahu, puasa adalah menahan diri dari makan, minum, berhubungan suami-istri dan sebagainya. Namun, al Jiliy sendiri lebih memaknai puasa sebagai upaya seorang hamba untuk beretika tuhan. Dalam bahasanya: “al Takhalluq biakhlaqillah” begitu juga seperti perkataan al Ghazali.
Haji
Al Jiliy beranggapan bahwa haji merupakan isyarat atau tanda bahwa seorang hamba akan terus mencari dan mengenal tuhannya secara terus menerus.
Selain membahas tentang hakekat ibadah, dalam kitab-kitabnya al Jiliy juga menguraikan apa sebenarnya hakekat agama dan terma insan kamil dalam ranah tasawuf.
Hakekat Agama bagi Seorang al Jiliy
Pada hakekatnya, sebuah ekstensi baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan tercipta dan lahir didunia secara otomatis akan menyandang predikat hamba dan dibebani dengan tanggung jawab untuk terus menyembah sang pencipta. Manusia khususnya, baik ia beragama, zindiq atau atheis sekalipun. Al jiliy tetap menganggapnya sebagai hamba Allah. Karena ia memaknai segala perilaku dari sebuah ekstensi kesemuanya hanya kembali pada Allah. Lebih jauh lagi, al Jiliy menganggap keberagaman ritual setiap agama hanya merupakan perbedaan yang sifatnya sebagai “bungkus”. Darisini dapat dilihat bahwa ada semacam pluralisme agama dalam pemikiran al Jiliy.
Insan Kamil
Menurut al Jiliy insan kamil merupakan salah satu fenomena dalam bertasawuf. Insan kamil adalah derajat dimana seorang salik akan mencapai sesuatu yang dicari-carinya dan pada saat itulah ia akan mengalami sebuah proses yang hanya salik tersebut dan khaliqnya yang tahu.
Itulah sebagian konsep tasawuf dan pemaknaan al Jiliy mengenai ritual ibadahnya. Al Jiliy memang merupakan tokoh tasawuf yang berhasil menggabungkan dua hal (tasawuf dan filsafat) yang awalnya seakan berlawanan. Ditambah lagi dengan kepiawaiannya menggubah syair-syair tasawuf seakan menambah warna atas indahnya tasawuf itu sendiri. Terlebih lagi, tasawuf memang tidak akan pernah lekang dari pergolakan dan obrolan seorang ‘abid pada ma’budnya. Wallahu a’lam
Rabu, 25 Mei 2011
Al-Jiliy: Theosof & Pujangga
00.28
darussholah
1 comment
1 komentar:
sahabat.... tasauf tidak pernah menganggap agama sama, sebelum menilai, pahamilah dg baik, atau berguru kepada guru kamil mukammil
Posting Komentar