Penulis : Cak Zein
Ada sebuah pertanyaan esensial yang perlu kita renungkan, bagaimana Islam sebagai agama yang rahmatan lilalmiin menata hidup manusia melalui syariat (fiqhnya)?
Islam merumuskan bahwa kehidupan adalah amanat yang harus digunakan untuk pencapaian saadatun daroini (kesejahteraan dunia dan akhirat). Pemenuhan kebutuhan spiritual jelas menjadi tujuan utama, karena kebahagiaan akhirat yang bersifat permanen dapat diwujudkan hanya bila manusia mampu memenuhi kebutuhan spiritualnya. Tapi bersamaan dengan itu, manusia dihadapkan pada kenyataan bahwa dia harus tunduk pada hukum-hukum riil yang mengikat kehidupan dunianya pada saat ini. Karena itu, maka kehidupan dunia yang bersifat temporal dan maya berhubungan secara integrative dan kausatif dengan kebahagiaanukhrawi yang kekal dan haqiqi. Meskipun sepintas tampak kontradiktif, sebetulnya tidak ada yang aneh dalam hal ini, karena akhirat hanya menyediakan satu-satunya jalan bagi pencapaiannya, yaitu kehidupan dunia
Sehubung dengan itu, kita mendapati Fiqh (penuntun kehidupan paling praktis dalam Islam) membicarakan empat aspek pokok kehidupan manusia. Satu diantaranya adalah UBUDIAH yang mengurus langsung hubungan transcendental manusia dengan penciptanya, sedangkan tiga yang lainnya mengurus aspek kehidupan yang berkaitan langsung dengan pengelolaan kehidupan matrial dan social yang bersifat duniawi, yaitu MUAMALAH, (hubungan professional dan perdata), MUNAKAHAH (pernikahan), dan JINAYAH (pidana).
Pertanyaan selanjutnya adalah : Sudahkah tujuan ideal dan misi fiqh kita tercapai? Jika kita masih mendapati banyak ketimpangan dalam praktek, itu berarti sebagian besar masyarakat telah meninggalkan fiqh secara keseluruhan, atau karena tidak memahami keutuhannya. Hal ini tentu diakibatkan oleh ketidak fahaman masyarakat terhadap fiqh. Jujur saja dan harus diakui bahwa mayoritas masyarakat kita yang agamis sekalipun belum mampu mengkomunikasikan kondisi ideal yang diharapkan melalui jalur fiqh.
Masalah selanjutnya adalah mampukah kita mengembalikan masyarakat kepangkuan Fiqh? Mengingat telah sedemikian mengakarnya pola fikir dan prilaku non fiqhy dalam masyarakat. Bagaimana pula caranya? Menjwap pertanyaan ini tentu tidak gampang, karena tentu bukan hanya sekedar konsep yang dibutuhkan, tetapi juga eksen. Saya senddiri (Cak Zein) tentu berlebihan jika menanggapi keraguan ini dengan optimism mutlak. Karena usaha mengembalikan masyarakt kedalam pangkuan fiqh _ atau sebaliknya_ berdasar pada kondisi saat ini memerlukan proses yang sangat panjang dan melelahkan
Proses panjang itu paling tidak harus melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
*Merubah wawasan masyarakat tentang fiqh secara utuh dan menyeluruh(Komprehenship) dan memposisikannya secara proporsional
*Memahami definisi fiqh sebagai Al-ilmu bi al-ahkami al-syariyyah almuktasabi min adillatiha al-tafshiliyyah, (mengetahui hokum-hukum syariat yang amaliyyah/terapan yang digali dari petunjuk-petunjuk yang tidak bersifat global). Ini artinya bahwa fiqh memiliki peluang dan cakupan yang sangat luas untuk dapat berjalan seiring dengan perkembangan zaman
*Definisi fiqih sebagai sesuatu yang digali Al-Muktasab, membuahkan pemahaman bahwa fiqh lahir melalui serangkaian proses sebelum pada akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis. Proses yang umum kita sebut dengan IJTIHAD
*Generasi terdidik harus memiliki kemampuan untuk paling tidak dapat membuka pemikiran yang dapat mencerahkan masyarakat agar keyakinan bahwa fiqh adalah sesuatu yang realistis dan dinamis, sesuai dengan watak proses ijtihadinya
*Santri harus memperjuangkan aktualisasi fiqh sehingga fiqh kita mampu melayani kebutuhan pokok masyarakat dengan pendekatan kontekstual yang dinamis
Wallohu alamu bi al-shawab
Selasa, 24 Mei 2011
AKTUALISASI FIQH DALAM ERA TRANSFORMASI SOSIAL
06.27
darussholah
No comments
0 komentar:
Posting Komentar