Kata Pengantar Penulis
Islam sebagai agama, sebagaimana agama lain, dihadapkan pada persoalan distorsi ajaran dan pewarisan ajaran. Pola baku yang senantiasa dihadapi oleh semua agama, termasuk Islam adalah bahwa ; Ia tampil bagus pada saat awal pertumbuhannya, bersamaan dengan kehadiran para rasul pembawa risalah agama tersebut. Pada saat inilah orisinilitas ajaran dari sebuah agama dapat terjamin, dan agama benar-benar mampu berperan dalam membongkar “kebobrokan” dari sebuah peradaban. Dalam Islam sendiri ada sebuah hadits yang mengatakan bahwa “Zaman terbaik dari pengalaman praktek beragama (Islam) adalah zaman Nabi, setelah itu zaman sesudahnya dan seterusnya”. Artinya praktik kehidupan beragama dari waktu ke waktu senantiasa menghadapi distorsi pemahaman, pengalaman dan ajaran. Hal ini menjadi sesuatu yang logis karena pada zaman Rasulullah Saw. inilah ummat bisa mendapatkan ajaran agama langsung dari sumbernya (Rasulillah), dan rasulpun dapat mengontrol secara langsung terhadap praktek-praktek kehidupan beragama yang dilakukan oleh ummatnya, sehingga terhindar dari penyelewengan yang diakibatkan oleh “pembiasan” terhadap ajaran agama yang sesungguhnya.
Namun tatkala Rasulillah Saw. wafat para “pengganti rasul” tidak mampu menjalankan tugas kenabian secara utuh dan sempurna. Ketidak sempurnaan peran dan fungsi kenabian yang dijalankan oleh generasi sesudah nabi, disamping karena kwalifikasi para penerus nabi yang relatif beragam, pada saat yang sama agama mulai dibebani dengan kepentingan dan ambisi para pemeluknya. Akibatnya agama Islam tidak lagi mampu tampil secara “prima” dalam menghadapi problem kemanusiaan. Karena tatkala seorang tokoh agama memberikan fatwa, beliau sebenarnya bukan sedang berada diruangan hampa, yang bebas dari kepentingan diri dan kelompoknya, tekanan penguasa serta nilai-nilai yang telah melingkupinya. Akibatnya bukan saja agama telah mengalami proses distorsi ajaran, namun pada saat yang sama telah dengan sengaja dikorup oleh mereka yang dianggap atau justru “mengidentifisir diri” ebagai “pewaris nabi” yang punya otoritas menerjemahkan dan menafsirkan ajaran agama.
Mengapa hal ini terjadi ? saya kira fenomena hidup dan kehidupan manusia, sekaligus ekses-ekses yang mengitarinyalah yang justru lebih kuat dan dominan dalam membiaskan proses degradasi jati diri kemanusiaan itu.
Dalam era globalisasi ilmu dan budaya, hampir semua sendi-sendi kehidupan umat manusia mengalami perubahan yang amat dasyat. Institusi sosial-kemasyarakatan, kenegaraan, keluarga bahkan tidak terkecuali institusi keagamaan tidak luput pula dari arus globalisasi itu. sebagai konsekwensinya, idiom, kosakata, pertanyaan yang mendasar, falsafah hidup, keprihatinan, pemikiran dan gagasan, pola tingkah laku dan mekanisme kerja, semunya ikut berubah. Pada saat yang sama, pengetahuan manusia tentang realitas jagad raya dan laju pertumbuhan perekonomian suatu bangsa juga ikut merubah cara pandang masyarakat bangsa tersebut terhadap realitas dunia.
Pada skalanya yang lebih mikro keberhasilan pembangunan di tanah air bukannya tidak membawa dampak terhadap kehidupan beragama dimasyarakat. Arus konsumerisme dan materialisme yang sedemikian deras kemudian menjadi tantangan besar bagi para agamawan dalam mengendalikan dan mengerem dekadensi moralitas melalui upaya nyata, dakwah bi al-hal mensosialisasikan aspek-aspek spiritual keseluruh lapisan masyarakat bangsa. Sebab, manusia di era industri, cepat atau lambat, tidak dapat mengelak dari pengaruh arus konsumerisme dan materialisme yang pada gilirannya membentuk budaya
“ HEDONISME”. Dalam hal ini, penolakan secara sepihak dari pihak agamawan saja, tanpa melewati proses dialog internal yang panjang, hanya akan membawa dan mengantarkan kepada bentuk kehidupan yang terbelah (split). Namun membiarkan mereka mengikuti arus konsumerisme tanpa batas dan kendali, jelas akan berakibat menanggung resiko yang lebih berat yakni runtuhnya sendi-sendi kehidupan.
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, telah menjadi suatu keniscayaan bahwa kita semua dituntut kiprah perjuangannya dalam ;
1. Mengembangkan pemahaman agama Islam sebagai sumber kesadaran makna hidup yang tangguh bagi masyarakat yang sedang mengalami perubahan pesat dan menjadi industrial. Perubahan dari masyarakat agraris yang berpola hubungan paguyuban, menuju kepada masyarakat industrial yang berpola hubungan patembayan, yang jelas akan menimbulkan kritis yang tidak kecil, dan ini memerlukan penanggulangan yang tidak mudah.
2. Ikut serta mengembangkan prasarana sosio – kultural guna mendukung proses pembangunan menuju masyarakat industrial yang maju, masyarakat madani yang berkeadilan sosial dan tatanan masyarakat yang “Toto tentrem Karto Raharjo” di bawah ridlo dan magfiroh Allah Swt.
Suatu pemahaman keagamaan Islam itulah yang akan membuahkan kesadaran akan “makna hidup” yang sesungguhnya, dan selanjutnya membuat mereka “betah untuk hidup”, yaitu karena adanya dukungan berupa harapan-harapan yang bersumber kepada hakekat makna hidup itu sendiri. Dan dengan adanya harapan-harapan itulah yang membuat kita kuat dan tangguh dalam menempuh berbagai tantangan hidup.
Sebagaimana kata pepatah Arab mengatakan :
مـاأضـيق العـيش لولا وســعة الأمـل
“Alangkah sempitnya hidup ini seandainya tidak karena adanya luasnya harapan-harapan.”
Dalam rangka usaha menuju kepada kehidupan beragama yang lebih mendalam, prinsipal dan esensial, agaknya sangat perlu direnungkan dan diresapkan kembali, apa makna Islam sebagai pondasi idiologi yang “HAQ”, dan bagaimana mengimplementasikan konsepsi-konsepsi “KETAQWAAN” yang ‘Haqqo – Tuqootih’ dalam bentuk perilaku hidup dan kehidupan Riil. Melalui “Mutiara Khutbah Jum’ah Aktual Kontemporer” ini, penulis ingin ikut serta memercikkan “Urun rembuk”, menyapa segenap lapisan masyarakat melalui mimbar Jum’ah, sebagai satu bentuk perwujudan atau realisasi dari respon yang memberikan jawaban atas “gugatan” Al Qur’an melalui firman Allah :
ألم يأن للذين امنوا أن تخشع قلوبهم لذكر الله ومانزل من الحق . ألاية
“Belum tibakah saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk menjadi khusu’ hati mereka dengan ingat (berdzikir) kepada Allah. dan untuk merenungkan kebenaran yang telah turun ?!.” (QS. 57 : 16)
Keniscayaan yang kedua sebagai tuntutan kiprah perjuangan kita adalah ikut serta membangun sendi-sendi kehidupan bangsa ini. Pembangunan bangsa kita untuk menuju kepada taraf hidup yang lebih tinggi dan maju di segala bidang memerlukan prasarana sosial dan kultural tertentu yang bakal menopang terjaminnya keberhasilan proses-proses pembangunan itu sendiri. Prasarana itu juga harus bersifat mendukung pola-pola hubungan sosial yang menjadi akibat logis masyarakat industrial, yaitu pola hubungan patembayan (gesellschaft), mengembangkan segi-segi positifnya, dan meminimalkan ekses-ekses negatif pada pola hubungan sosial, seperti misalnya : mengendornya -“gotong royong” dan meningkatnya “individualisme”
Lalu pertanyaan yang kemudian muncul adalah : apakah yang kiranya dapat dilakukan oleh umat Islam dan para pemukanya berkenaan dengan partisipasi mereka dalam menciptakan prasarana sosio kultural ? paling tidak ada dua hal yang dapat kita ikhtiyarkan yaitu :
A. PENGEMBANGAN KESADARAN HUKUM
Tidak ada bangsa yang maju tanpa kesadaran hukum yang tinggi dari seluruh warganya. Berkenaan dengan ini, ada semacam optimisme pada bangsa kita, berdasarkan kenyataan bahwa ; sebagian bangsa kita adalah Muslim. Sebab Islam adalah yang sejak semula mengajarkan taat kepada hukum, dengan berpangkal kepada taat kepada hukum keagamaan, dan ketaatan kepada hukum dari Allah adalah bagian dari sikap pasrah (Islam) kepada-Nya. Semangat ajaran yang menaati hukum itu dapat dikembangkan secara modern, sehingga mencocoki tuntutan zaman sekarang dan yang akan datang. Untuk ikhtiyar itu, rangkaian khutbah jum’at ini, ikut serta memberikan Tassyi’e / support moril dalam rangka menegakkan supremasi hukum.
Untuk memperoleh orientasi hukum yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman namun tetap setia kepada semangat asasi ajarannya, umat Islam perlu menggali kembali perbendaharaan intelektual Islam dibidang hukum itu, untuk kemudian dijadikan bahan penyusunan produk hukum yang lebih relevan terhadap zaman, bersifat nasional dan universal (dalam arti dapat berlaku dan bermanfaat untuk semua orang dan kelompok, tanpa memandang perbedaan agama mereka). Hal itu dapat dilakukan dengan mempelajari segi dinamis perbendaharaan hukum itu, yaitu segi yang melatarbelakangi dan melandasi prinsip berfikir dan metodologinya dalam pendekatan kepada masalah-masalah kehukuman itu, yang dahulu telah dirintis oleh para Mujtahid besar seperti Imam Syafi’i dengan idenya “Ushul fiqh” (prinsip-prinsip yurisprudensi) dalam Islam.
Suatu temuan yang benar-benar kreatif dab orisinil, Ushul al-Fiqh dapat dikembangkan menjadi dasar teori tindakan praktis dan realistis. Berfikir dan bertindak dengan menuruti garis falsafah hukum seperti terumuskan dalam kaidah-kaidah ushul fiqh akan membuat umat Islam, khususnya para ahli hukumnya, menjadi dinamis dan progresif, serta senantiasa mampu menemukan jalan pemecahan bagi masalah-masalah sesulit apapun. Mudah-mudahan ........ !
B. PENGEMBANGAN ETOS KERJA
Kita memahami dan menyadari bahwa : Islam adalah “Agama Amal atau Kerja” (PRAXIS). Intinya adalah ajaran bahwa hamba mendekati dan berusaha memperoleh Ridlo Allah Swt melalui kerja baik atau Amal Sholeh, dan dengan sikap memurnikan penyembahan hanya kepada-Nya. Berkaitan erat dengan hal itu adalah penegasan tentang adanya tanggung jawab pribadi yang mutlak kelak di akherat tanpa adanya kemungkinan pelimpahan “pahala” atau “dosa” kepada orang lain, dan berdasarkan apa yang telah diperbuat oleh diri perorangan yang bersangkutan sendiri. Allah berfirman :
ولا تزروا وازرة وزر اخري وان تدع مُثـقلة الي حـملها لايحمل مـنه شيء ولو كان ذا قـربي (الفاطر : 18)
“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memanggil dosanya itu, tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya) itu kaum kerabatnya” (QS. Al-Fathir : 18)
Pada tempat yang lain Allah Swt kembali menegaskan melalui firman-Nya yang artinya :
“Belumkah disampaikan berita tentang apa yang ada di dalam lembaran-lembaran kitab suci Musa As, dan Ibrahim As yang setia ? yaitu bahwa tidak seorangpun yang berdosa bakal menanggung dosa orang lain, dan bahwa tidaklah seseorang mendapatkan sesuatu apapun kecuali yang ia sendiri usahakan”.
Jadi dalam jargon modern, Islam adalah “Achievement-Oriented”. Tetapi, berlawanan dengan itu semua, sering dikemukakan penilaian negatif bahwa bahwa umat Islam menderita penyakit “Fatalisme” atau faham nasib. Dan asumsi ini harus kita rubah agar menghasilkan pandangan yang hidup, yang lebih aktif kreatif dan dinamis, dan tidak fatalis.
Satu pandangan moderat dari rasulullah Muhammad Saw, disebutkan dalam sabdanya, yang artinya :
“Telah kuperintahkan kepada Umatku jangan sampai berpegang teguh kepada taqdir. Seorang sahabat menyahut : Apakah kami tidak berpegang kepada taqdir dan meninggalkan kerja ? “Rasulullah menjawab : Jangan, bekerjalah, setiap orang dimudahkan menuju taqdir dan kepastiannya”. (dituturkan oleh Imam Bukhari) ; kalau taqdirnya bahagia (masuk surga) maka dia mudah taat kepada Allah; kalau taqdirnya kaya, maka mudah usahanya, dan kalau taqdirnya miskin, maka sulit usahanya . . . Rasulullah Saw bersabda : “Mencari rizki yang halal itu wajib atas setiap orang Islam”.
Jadi hadits ini menunjukkan bahwa mencari rizki yang halal dengan cara usaha itu wajib, supaya tidak mengemis, sebab mengemis itu haram.
Walaupun buku ini tidak memberikan juklak yang jelas untuk upaya semuanya itu, dan karena penampilan tema-temanya masih sangat dangkal dan amat terbatas maka dengan segala kekurangannya, penulis hanya punya satu harapan, paling tidak esensi dan semangat yang tersirat dalam setiap mutiara khutbah Jum’at ini dapat menyentil “kesadaran” kita atas dua tugas besar ‘kekhalifahan’ kita di muka bumi ini yakni : “Ibadatullah” dan “Imaratil Ardh” juga untuk mewujudkan dua tujuan hidup yang menjadi cita-cita kita bersama yaitu “Sa’adatud-Daroini”, kebahagiaan di dunia saat ini dan kebahagiaan kelak di akherat.
Mudah-mudahan karya tulis ini menjadi bagian dari apa yang di sebut sebagai “AMAL SHALEH” dan “AMAL JARIYAH” Amin ...........
Jember, 5 Sept 2007
ttd
A. Zainul Hakim Ms
Selasa, 24 Mei 2011
Kata Pengantar Penulis
08.48
darussholah
No comments
0 komentar:
Posting Komentar